JAKARTA, KOMPAS – Dibandingkan dengan vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan tingkat pertama dan pengadilan banding, hukuman yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung di tingkat kasasi dalam perkara korupsi lebih berat. Rata-rata, MA memutus lima tahun penjara terhadap koruptor. Tingginya vonis yang dijatuhkan MA ini diharapkan terus konsisten kendati Ketua Kamar Pidana MA Artidjo Alkostar telah pensiun.
Hasil kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) sepanjang tahun 2017 terhadap 1.249 perkara korupsi menunjukkan, rata-rata vonis korupsi di pengadilan tingkat pertama dan pengadilan banding hanya 2 tahun 2 bulan. Vonis ini masuk kategori ringan. Rata-rata vonis tahun 2017 tersebut juga tidak bergerak atau stagnan bila dibandingkan dengan rata-rata vonis koruptor pada tahun 2016.
Namun, tren sedikit berbeda ditunjukkan dalam vonis kasasi di MA. ICW mencatat, MA rata-rata memutus 5 tahun penjara dalam perkara korupsi. Rata-rata vonis ini termasuk ke dalam kategori sedang, atau lebih berat bila dibandingkan dengan rata-rata vonis pengadilan tingkat pertama dan banding yang hanya 2 tahun 2 bulan.
Peneliti Divisi Monitoring Peradilan ICW Lalola Easter, Selasa (29/5/2018) di Jakarta menuturkan, tren positif dalam putusan kasasi MA ini diharapkan terus dipertahankan kendati Ketua Kamar Pidana Artidjo Alkostar memasuki masa pensiun efektif per 1 Juni 2018. Selama ini ada kesan hukuman berat yang dijatuhkan oleh MA kepada koruptor ialah karena faktor Artidjo. Artidjo dikenal kerap memberi vonis berat kepada koruptor.
“Memang ada dugaan tingginya rata-rata vonis di tingkat kasasi terhadap perkara korupsi sepanjang tahun 2017 ini dipicu oleh “Artidjo Effect.” Sosok Artidjo sebagai Ketua Kamar Pidana memberi warna kuat dalam sikap dan putusan MA terhadap korupsi. Artidjo juga kerap memegang kasus-kasus besar korupsi yang melibatkan elite-elite politik,” kata Lalola.
Kendati demikian, masyarakat sipil berharap MA sebagai lembaga tetap memertahankan tren vonis tinggi terhadap koruptor. Di tengah melemahnya kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan, vonis berat terhadap koruptor akan membantu menaikkan kembali kepercayaan publik kepada pengadilan. Hukuman berat oleh MA itu juga kian menegaskan kembali sikap negara melawan korupsi.
“Konsistensi MA dalam memberikan hukuman berat kepada koruptor amat diharapkan. Salah satu caranya ialah dengan membuat pedoman pemidanaan. Selama ini belum ada pedoman pemidanaan di MA, sehingga kerap kali putusan atas suatu kejahatan, termasuk korupsi, itu berbeda-beda. Disparitas putusan membuat publik kehilangan kepercayaan, dan rasa keadilan terlukai,” kata Lalola.
Upaya mengurangi disparitas putusan MA itu telah dirintis di masa Artidjo. Kamar Pidana MA antara lain menyepakati adanya pembedaan vonis antara Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU No 20/2001. Kerugian negara di atas Rp 100 juta akan dikenai Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor yang ancaman hukumannya minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. Adapun kerugian negara di bawah Rp 100 juta dikenai Pasal 3, yang diancam hukuman minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun.
Lalola mengatakan, ketua Kamar Pidana MA yang baru pun diharapkan membuat ketentuan lain guna terus mengikis potensi disparitas putusan di MA.
Kesempatan PK
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz menambahkan, pensiunnya Artidjo akan menjadi ajang pembuktian bagi MA, apakah lembaga pengadilan tertinggi itu konsisten dalam melawan korupsi, ataukah sekadar bergantung pada sosok seorang hakim semata.
“Jika tren vonis MA dalam perkara korupsi ternyata turun, ada kemungkinan konsistensi itu luntur. Kalau itu terjadi, publik bisa melihat bahwa selama ini MA tidak konsisten, dan sikap tegas dalam pemberantasan korupsi belum terlembaga dengan baik di MA, atau belum menjadi sikap institusi, melainkan tergantung kepada sosok hakim tertentu. Hal ini tidak baik bagi MA,” kata Donal.
Menurut Donal, ujian pertama konsistensi MA akan terlihat dari putusan-putusan kasasi dan peninjauan kembali (PK) yang dikeluarkan MA setelah Artidjo pensiun. ICW memprediksi akan terjadi peningkatan pengajuan kasasi dan permohonan PK dalam kasus korupsi setelah Artidjo pensiun.
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA Abdullah mengatakan, putusan-putusan kamar pidana di masa Artidjo tidak mencerminkan peran perseorangan hakim agung. “Keliru bila menganggap putusan atau vonis yang berat kepada koruptor itu hanya karena Pak Artidjo, sebab vonis itu diputus oleh majelis. Artinya, itu bukan putusan Pak Artidjo seorang, tetapi putusan majelis hakim kasasi,” katanya.
Dengan logika tersebut, menurut Abdullah, konsistensi putusan MA dalam perkara korupsi bisa terjamin. Hakim-hakim agung lainnya dalam kamar pidana diyakini memiliki visi yang sama dalam pemberantasan korupsi. Ketentuan yang telah disepakati di dalam kamar pidana selama ini juga akan terus digunakan. Namun, vonis hakim dalam perkara apapun tidak bisa digeneralisasi atau disamakan berat-ringannya. (rek)