JAKARTA, KOMPAS – Banyaknya ruang sengketa yang digunakan peserta pemilu, sehingga menimbulkan tumpang tindih putusan merepotkan penyelenggara pemilu. Komisi Pemilihan Umum berharap di masa mendatang pengaturan mengenai sengketa bisa menjadi lebih tegas, serta lembaga peradilan bisa memahami batasan yang menjadi ranah kewenangannya.
“KPU sering dalam sebuah kasus diajukan ke banyak tempat, ke kepolisian, kejaksaan, pengadilan umum, pengadilan tata usaha negara, ke DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu). Di banyak tempat itu, putusannya bisa saling tumpang tindih,” kata Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman di Gedung KPU di Jakarta, Selasa (13/11/2018).
Dia mencontohkan, terkait proses pemberhentian anggota KPU di daerah, DKPP sudah menyatakan seseorang salah dan harus diberhentikan, ternyata digugat ke PTUN dan Mahkamah Agung. Padahal, hal itu terkait dengan persoalan etik. Setelah orang itu diberhentikan dan diganti jabatannya diisi oleh orang lain, gugatannya kemudian dikabulkan oleh PTUN.
“Ke depan pengaturan itu harus lebih tegas. Kedua, lembaga peradilan juga harus paham mana ranah mereka dan mana yang tidak,” kata Arief Budiman.
Dalam kasus pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Konstitusi dalam putusan uji materi menyatakan anggota DPD tidak boleh pengurus partai politik. KPU kemudian menjalankannya dengan merevisi Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan Anggota DPD. Ketua DPD Oesman Sapta yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Partai Hanura kemudian dinyatakan KPU tidak memenuhi syarat karena tidak mengundurkan diri sebagai pengurus parpol.
Keputusan KPU itu kemudian digugat ke Bawaslu melalui jalur pelanggaran administrasi dan sengketa pencalonan. Dua gugatan tersebut kemudian ditolak oleh Bawaslu. Setelah itu, Oesman Sapta mengajukan upaya hukum lanjutan ke PTUN Jakarta. Pada saat yang sama, juga menguji materi PKPU terkait Pencalonan Anggota DPD ke Mahkamah Agung. MA kemudian mengabulkan permohonan Oesman Sapta dengan menyatakan PKPU yang menindaklanjuti putusan MK tidak bertentangan dengan undang-undang sepanjang tak berlaku surut.
Arief Budiman menuturkan, KPU masih mempelajari putusan MA tersebut. KPU juga berencana mengundang ahli hukum tata negara untuk memberi sudut pandang bagaimana KPU seyogianya menyikapi putusan MA dan MK. Selain itu, KPU juga akan beraudiensi ke MK dan ke MA untuk meminta pandangan mengenai dua putusan tersebut.
Menurut Arief, dalam pandangan KPU, putusan MK menyebutkan ketentuan itu berlaku pada Pemilu 2019. Sementara itu, di putusan MA, PKPU tentang Pencalonan Anggota DPD juga tidak pernah dibatalkan. MA hanya mengatur mengenai waktu pemberlakuannya. Hal-hal ini yang juga akan dibahas dalam pertemuan bersama ahli hukum tata negara.
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Adelline Syahda menuturkan, KPU sudah seharusnya patuh terhadap putusan MK. Oleh karena itu, putusan MA tidak bisa dieksekusi oleh KPU. Apalagi, dia menilai putusan MA selain bertentangan dengan putusan MK juga sudah melampaui waktu pencalonan anggota DPD. “Secara kedudukan, mengikat secara hukum lebih kuat putusan MK karena sifatnya pengujian norma undang-undang terhadap UUD, tafsir konstitusionalitasnya,” kata Adelline.