JAKARTA, KOMPAS — Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) para peserta Pemilu 2019, baik partai politik, anggota Dewan Perwakilan Daerah, maupun calon presiden dan calon wakil presiden yang wajib diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum, diharapkan tidak hanya sekadar formalitas. Pelaporan dana kampanye yang substantif bisa menjadi salah satu mekanisme pencegahan korupsi politik.
Mengacu pada Peraturan KPU Nomor 24 Tahun 2018 tentang Dana Kampanye, para peserta pemilu wajib menyerahkan Laporan Dana Awal Kampanye hingga 23 September 2018. Selanjutnya pada 2-3 Januari 2019 penyampaian penerimaan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye. Selanjutnya, para peserta pemilu wajib menyerahkan LPPDK untuk diaudit oleh akuntan publik hingga 25 April 2019.
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah di Jakarta, Minggu (21/4/2019), menyampaikan, titik rawan korupsi dalam proses pemilu terletak pada relasi penyumbang dana kampanye dengan peserta pemilunya.
”Pelaporan dana kampanye secara benar dan tepat waktu kami pandang dapat menjadi salah satu bagian dari upaya mewujudkan pemilu yang berintegritas,” ujar Febri.
Keberhasilan pemilu, lanjut dia, tidak hanya pada proses pemungutan suara dan penghitungan suara. Transparansi dan akuntabilitas dana kampanye juga merupakan bagian yang tidak boleh dilupakan mengingat lebih dari 60 persen kasus korupsi yang ditangani KPK merupakan korupsi politik yang terjadi akibat barter antara penyelenggara negara dan penyandang dana kampanye saat pemilihan.
Studi Benturan Kepentingan Pendanaan Pilkada yang dilakukan KPK juga mengindikasikan hal tersebut. Benturan kepentingan berhubungan dengan profil penyumbang. Donatur yang berlatar belakang pengusaha mengharapkan balasan berupa kemudahan perizinan bisnis, kemudahan untuk ikut tender proyek pemerintah, hingga keamanan dalam menjalankan bisnis.
”Karena itu, harapannya pelaporan dana kampanye sifatnya tidak hanya menekankan pada formalitas dan administratif. Ke depan, regulasi yang ada dan tools yang diberikan pada penyelenggara pemilu juga perlu diperkuat agar lebih menyentuh substansi,” kata Febri.
Secara terpisah, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menyampaikan, persoalan dana kampanye bukan hanya pada kepatuhan para peserta pemilu menyerahkan laporan dan bersedia terbuka terkait sumber penerimaan dana kampanyenya. Namun, keberanian penyelenggara pemilu untuk menindak bagi peserta yang tidak patuh.
Donal juga menyampaikan bahwa pelaporan dana kampanye cukup krusial dalam mencegah kolusi karena dalam beberapa kasus sumbangan dana kampanye berujung pada korupsi politik. Kerja sama penyelenggara pemilu dengan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dinilai Donal dapat membantu karena data dari PPATK dapat disandingkan dengan data yang dilaporkan, termasuk melihat asal aliran dananya.