Nasdem dalam Genggaman Surya Paloh
Di usianya yang tak lagi muda, Surya Paloh tak surut. Kongres II Nasdem yang akan dimulai malam ini, 8 November 2019, hampir pasti akan memilihnya kembali menakhodai Nasdem. Dalam genggamannya, Nasdem kian gemilang.
Sejak menjabat ketua umum Nasdem pada 2013, belum ada sosok yang dapat menggantikan kharisma Surya Paloh. Kondisi itu terasa masuk akal mengingat di bawah kepemimpinannya, dia membuat Nasdem bersinar.
Sebagai partai pendatang baru di Pemilu 2014, misalnya, Nasdem langsung merebut kepercayaan publik. Tak hanya berhasil lolos ambang batas parlemen, raihan suaranya juga menempatkan partai di posisi 8 dari 12 partai politik peserta Pemilu 2014. Nasdem saat itu memperoleh 8.402.812 atau 6,72 persen suara, dan dari suara itu, partai menguasai 36 kursi di parlemen.
Pada Pemilu 2019, Nasdem kembali gemilang. Di antara partai yang sudah mengikuti Pemilu 2014, peningkatan suaranya paling tinggi. Nasdem di 2019 meraih 12.661.792 suara atau naik 9,05 persen dibandingkan 2014. Jumlah kursi di parlemen yang dikuasai praktis bertambah menjadi total 59 kursi.
Capaian itu membawa Nasdem ke papan atas atau bertengger di posisi kelima peraih suara terbanyak.
Baca juga: Membaca Manuver Nasdem
Nasdem adalah Surya, Surya adalah Nasdem. Demikian kesan yang tertancap di benak publik. Titahnya sudah dipastikan merupakan perintah yang harus dipatuhi para kader Nasdem. Sosok Surya kian menyerupai Megawati di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau Prabowo Subianto di Partai Gerindra.
Baca juga: Partai Nasdem Susun Strategi Pemenangan Pemilu 2024
Survei yang dilakukan Litbang Kompas pada 2014 menemukan, ada dua faktor yang cukup memengaruhi peningkatan suara Partai Nasdem. Kedua faktor itu adalah penetrasi media massa dan sosok Surya Paloh.
Kedua faktor itu saling berkelindan. Kepemilikan salah satu stasiun televisi dan surat kabar nasional oleh Surya Paloh sangat menentukan penyebaran informasi yang cepat kepada publik tentang Nasdem. Hasil survei mengungkapkan, di antara partai politik papan tengah, pemberitaan tentang Nasdem di media massa termasuk yang paling sering diikuti responden.
Faktor kedua adalah popularitas Surya Paloh, sang pendiri. Tiga perempat responden menyatakan mengenal Surya Paloh yang pernah menjadi kader Golkar dan politisi Senayan. Enam dari sepuluh responden bahkan tak hanya mengenal, tetapi juga mengakui kualitas kepemimpinan Surya Paloh.
Kedua faktor itu lantas diperkuat dengan puluhan pesohor yang menjadi calon anggota legislatif (caleg) Nasdem untuk Pemilu 2019. Total ada 39 caleg pesohor yang mencalonkan diri dari Nasdem. Meski kemudian hanya satu yang lolos ke Senayan, keberadaan puluhan caleg pesohor itu turut berkontribusi pada melejitnya suara Nasdem dan jumlah kursi parlemen yang dikuasai Nasdem.
Baca juga: Pesohor Pendongkrak Suara Nasdem
Dari ormas
Merujuk arsip Kompas, embrio pembentukan Partai Nasdem disemai melalui pendirian ormas bernama sama pada 1 Februari 2010. Sejumlah tokoh, seperti Sultan Hamengku Buwono X, Siswono Yudo Husodo, dan Syamsul Maarif tercatat pernah bergabung di ormas Nasdem.
Ormas ini berhasil memikat perhatian kalangan muda, aktivis mahasiswa, dan kelompok masyarakat sipil karena dinilai memiliki visi yang sama. Visi akan perubahan.
Dalam waktu tak terlalu lama, ormas Nasdem memiliki kaki di daerah-daerah. Kemudian tepat setahun setelah didirikan, Nasdem berubah menjadi partai politik. Meski perubahan membuat sebagian anggota ormas keluar dari keanggotaan, belasan anggota baru, baik yang berasal dari partai politik lain maupun nonparpol, menggantikan mereka.
Perjalanan Nasdem sebagai partai tak selamanya berjalan mulus. Gejolak internal sempat terjadi ketika konglomerat media, Hary Tanoesoedibjo, memilih keluar pada 2013. Hary kemudian bergabung dengan Partai Hanura.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Nasdem kala itu, Willy Aditya, mengatakan, keluarnya Hary Tanoe cukup memengaruhi sumber dana Nasdem.
Namun, Nasdem cepat bangkit. Saat verifikasi parpol peserta Pemilu 2014, Nasdem menjadi satu-satunya parpol baru yang lolos verifikasi administrasi oleh Komisi Pemilihan Umum.
Restorasi Indonesia
Hal lain yang tak berubah sejak awal Nasdem berdiri adalah cita-cita restorasi Indonesia. Bahkan, pada Kongres II Partai Nasdem yang dihelat 8-11 November 2019, tema yang dipilih adalah ”Restorasi untuk Indonesia Maju”.
Sejak awal berdiri, cita-cita restorasi Indonesia memang menjadi pilihan gerakan perubahan yang dijalankan Partai Nasdem. Gerakan perubahan dan restorasi Indonesia menjadi kata kunci Nasdem yang ditawarkan kepada publik.
Perubahan sebagai respons atas krisis multidimensi yang sedang melingkupi negeri ini. Restorasi Indonesia, menurut Partai Nasdem, tidak hanya melulu terpaut pada unsur-unsur di masa lalu, tetapi juga mengarah pada perkembangan dan pencapaian cita-cita bangsa.
Baca juga: Nasdem Sedang Menjalankan Komunikasi Politik yang Cair
Dalam konsep restorasi itu, seluruh komponen bangsa Indonesia diajak kembali pada semangat dasar atau asli konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. ”Perubahan konstitusi perlu dikembalikan ke semangat orisinal,” kata Sekretaris Jenderal Nasdem 2010-2012 Syamsul Mu’arif.
Syamsul mencontohkan, dalam bidang ekonomi, sistem ekonomi perlu dikembalikan dari pola-pola neoliberal kepada sistem ekonomi yang sesuai dengan semangat Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 (Kompas, 28 Januari 2011).
Tak tersentuh
Kongres II Partai Nasdem menjadi ajang rotasi kepengurusan organisasi partai. Namun, rotasi hampir dipastikan tak akan menyentuh posisi Surya Paloh.
Baca juga: Kongres Menjadi Ajang Rotasi Kepengurusan Partai Nasdem
Menurut Sekretaris Jenderal Nasdem Johnny G Plate, partai tak menutup pintu jika ada kader yang berniat mencalonkan diri menjadi ketua umum.
Namun, berdasarkan pemantauan Dewan Pimpinan Pusat Nasdem, 70 persen Dewan Pimpinan Wilayah Nasdem di provinsi masih menginginkan Surya melanjutkan kepemimpinannya. Dengan memegang suara mayoritas, hampir pasti Surya terpilih sebagai ketua umum.
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya berpendapat, sulit mewujudkan regenerasi dalam partai politik menjelang Pemilu 2024.
Saat ini, seluruh partai politik tengah fokus mengamankan konsolidasi internal menuju pertarungan yang sesungguhnya di 2024. Ini karena pada 2024, Presiden petahana Joko Widodo tak mungkin lagi mencalonkan diri.
Risiko melakukan regenerasi menjelang 2024 dinilai terlampau besar karena sebagian besar partai masih mengandalkan perolehan suara dari faktor ketokohan.
”Semua masih meraba-raba siapa yang bisa menjadi tokoh sentral baru di partai tersebut. Partai baru berani regenerasi ketika muncul tokoh politik muda yang teruji saat Pilpres 2024,” katanya.
Kecenderungan tren kepemimpinan partai-partai semakin kuat berorientasi pada figur sentral tertentu. Kondisi itu dikhawatirkan bisa menyuburkan politik patronase, mematikan proses demokratisasi, dan memperkuat oligarki di partai.
Indikasi pertama adalah tidak berubahnya pucuk pimpinan partai dalam waktu lama akibat minimnya kompetitor. Indikasi kedua, supremasi ketua umum yang semakin kuat dalam pengambilan keputusan sehingga menutup ruang pengambilan keputusan yang kolektif-kolegial.
”Keterlibatan semua anggota dalam keputusan strategis partai seharusnya menjadi cermin demokratisasi di internal partai,” ujar Peneliti Centre for Strategic and International Studies, Arya Fernandes.
Padahal, dalam kehidupan berdemokrasi negara, partai merupakan elemen penting yang seharusnya mencontohkan iklim demokrasi yang terbuka dan inklusif. Partai yang kekuasaannya dipegang segelintir orang mematikan iklim demokrasi yang sehat dan membuka celah penyalahgunaan kekuasaan.
Kondisi dilematis
Menurut pengajar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, partai-partai menghadapi kondisi dilematis. Di satu sisi, regenerasi seharusnya berjalan untuk kehidupan kepartaian yang lebih sehat. Di sisi lain, regenerasi kepemimpinan dianggap terlalu berisiko pada elektabilitas partai.
Ini berkaca pada stabilnya elektabilitas partai-partai besar yang dipimpin tokoh lama, seperti Gerindra dan PDI-P. Sementara partai lain, seperti Golkar, PAN dan PPP, yang tidak mengandalkan satu tokoh sentral di partainya, raihan suaranya cenderung stagnan atau fluktuatif menurun.
”Jadi, di sini ada dilema. Ketika melakukan regenerasi, partai justru menghadapi situasi sulit, apakah bisa mempertahankan status dan perolehan suaranya? Di sisi lain, justru ada partai yang terus-menerus mengandalkan tokoh tua yang sama, tetapi elektabilitasnya selalu terjamin,” tutur Adi.
Baca juga: Koalisi di Antara Sindiran dan Guyonan
Dihadapkan pada dilema itu, Nasdem sepertinya memilih untuk tetap mengandalkan figur Surya Paloh. Dengan demikian, partai setidaknya bisa meniadakan risiko kehilangan suara di 2024. Selama elektabilitas dalam pemilu masih diletakkan di atas kepentingan memunculkan calon-calon pemimpin baru, selama itu pula regenerasi akan sulit terwujud.