Saat ini proses penggantian bekas anggota KPU, Wahyu Setiawan, ada di DPR. Setelah proses di DPR tuntas, hasilnya diserahkan ke Presiden Joko Widodo. Presiden yang kelak melantik anggota KPU pengganti Wahyu.
Oleh
Rini Kustiasih/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hampir satu bulan setelah dijatuhi sanksi pemberhentian tetap oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, proses penggantian Wahyu Setiawan sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum belum juga tuntas. Lambatnya proses penggantian dikhawatirkan berdampak pada jalannya penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak 2020.
Saat ini, proses penggantian ada di DPR. Komisi II DPR telah menggelar rapat dan memutuskan pengganti Wahyu. Penggantian Wahyu mengikuti aturan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dengan demikian, pengganti Wahyu adalah pemilik suara terbanyak nomor ke-8 dalam proses pemilihan anggota KPU periode 2017-2022.
Pemilihan tersebut dilakukan secara voting oleh DPR pada 2017. Peraih suara terbanyak ke-8 diraih oleh I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi yang mendapatkan 21 suara. Saat ini, Wiarsa menjabat anggota Badan Pengawas Pemilu Provinsi Bali.
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Aziz Syamsuddin di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (12/2/2020), membenarkan bahwa proses di Komisi II DPR dan figur pengganti Wahyu telah tuntas. Namun, dengan tuntasnya proses itu, bukan berarti penggantian bisa segera dilakukan.
Menurut Aziz, hasil dari proses di Komisi II DPR perlu dibahas terlebih dahulu di Badan Musyawarah DPR.
”Secepatnya akan kami administrasikan untuk dibawa ke Badan Musyawarah DPR nanti,” katanya. Namun, kapan persisnya akan dibahas di Badan Musyawarah DPR, Aziz belum bisa memastikan.
Setelah proses di DPR selesai, nama pengganti Wahyu akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo. Selanjutnya, Presiden yang akan melantiknya.
Wahyu Setiawan ditangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, awal Januari lalu. Dia ditangkap karena diduga menerima suap untuk memuluskan proses pergantian antarwaktu anggota DPR dari PDI-P. Pertengahan Januari lalu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap terhadap Wahyu. Sanksi dijatuhkan karena dia terbukti melanggar kode etik penyelenggara pemilu.
Sebelumnya, pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, Radian Syam, khawatir lambatnya proses penggantian Wahyu akan berimbas pada penyelenggaraan pilkada tahun 2020. Pilkada akan digelar serentak di 270 daerah.
Dia juga menyampaikan keheranannya atas lambatnya proses penggantian Wahyu. Sebab, dari sisi hukum dan administrasi ketatanegaraan, sama sekali tidak ada hambatan bagi pengganti Wahyu untuk segera ditetapkan dan dilantik.
Perburuan Harun Masiku
Sementara itu, Harun Masiku, tersangka lain dalam perkara Wahyu Setiawan, hingga kini belum bisa ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan kepolisian.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Argo Yuwono mengatakan, polisi telah meminta seluruh kepolisian daerah dan kepolisian resor untuk ikut membantu mencari Harun. Namun, hingga kini, upaya pencarian belum berbuah hasil. ”Ini adalah wujud keseriusan Polri untuk membantu mencari HM (Harun Masiku). Itu kasusnya ada di KPK dan polisi hanya membantu,” kata Argo.