Keterbukaan dan pelibatan publik seharusnya sudah dilakukan sejak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja disusun pemerintah. Jadi tidak harus menunggu draf itu diserahkan oleh pemerintah kepada DPR.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di samping persoalan substansi, minimnya transparansi dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja membuka peluang regulasi itu diuji ke Mahkamah Konstitusi ketika kelak sudah disahkan. Apalagi keterbukaan dan partisipasi telah diamanahkan oleh Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, seharusnya keterbukaan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan sudah dikedepankan sejak aturan masih disusun. Jadi, bukan hanya saat draf rancangan undang-undang (RUU) sudah diserahkan pemerintah ke DPR untuk dibahas dengan DPR.
Ini seperti diamanahkan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 88 Ayat 1 menyebutkan, kewajiban penyebarluasan naskah akademik dan draf RUU dilakukan sejak penyusunan Program Legislasi Nasional, penyusunan RUU, pembahasan RUU, hingga pengundangan undang-undang. Kemudian Ayat 2 menyebutkan, penyebarluasan untuk memberikan informasi dan memperoleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan.
”Akibat tidak adanya penyebarluasan sejak tahapan penyusunan, Pasal 88 tidak terpenuhi,” kata Bayu saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (22/2/2020).
Pekan lalu, dalam kunjungan ke Redaksi harian Kompas, Ketua Satuan Tugas (Satgas) Omnibus Law Rosan Perkasa Roeslani mengatakan, pihaknya baru memulai menyosialisasikan draf dan substansi RUU Cipta Kerja setelah draf, naskah akademik, dan surat presiden diserahkan pemerintah kepada DPR.
Satgas tidak terlibat di dalam pembahasan substansi RUU itu. Bahkan, ada permintaan dari pemerintah kepada satgas untuk tidak menyosialisasikan draf itu sebelum ada kepastian draf itu diserahkan kepada DPR.
”Sebab, perkembangannya sangat dinamis ketika itu sehingga perubahan draf sangat mungkin terjadi. Isi pasal berubah-ubah terus. Oleh karena itu, daripada nanti disosialisasikan ketika belum tuntas, dan masih ada perubahan, maka disepakati agar draf itu disosialisasikan ketika sudah diserahkan kepada DPR,” katanya.
Bayu mengatakan, mekanisme semacam itu berpotensi dibawa ke Mahkamah Konstitusi setelah RUU tuntas disahkan. Sebab, itu tidak sesuai dengan tuntutan pembentukan perundang-undangan yang baik. Sejak awal, publik juga tidak cukup jelas mendapatkan informasi, kementerian mana yang bertanggung jawab dalam penyusunan RUU tersebut.
”Di sisi lain, target pembahasan 100 hari oleh pemerintah dinilai telah membatasi ruang masukan dari publik dan prinsip kehati-hatian dalam pembahasan. Padahal, UU No 12/2011 mengamanatkan asas kecermatan dan kehati-hatian,” katanya.
Bayu mengingatkan, metode omnibus law tidak selalu digunakan di negara asalnya yang menganut sistem hukum common law. Sebab, metode itu dinilai kurang demokratis, kurang partisipatif, dan kurang deliberatif.
Pada praktiknya, omnibus law mengganti dan mengubah norma beberapa UU yang memiliki niatan dan inisiatif politik yang berbeda. Dengan metode omnibus, pembentuk UU menjadi tidak peka terhadap kompleksitas kepentingan dan aspirasi fraksi-fraksi yang telah menyusun dan mengompromikan kepentingan-kepentingan dalam norma UU sebelumnya yang dihapus oleh UU omnibus.
Kurang demokratis
Catatan kritis juga disampaikan sejumlah fraksi di DPR. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat, Didik Mukrianto, mengatakan, pemerintah kurang transparan dan tidak memberikan ruang yang cukup bagi publik dalam penyusunan naskah akademik ataupun draf RUU. Imbasnya, hal itu menimbulkan resistensi dari publik, antara lain dari kalangan buruh, penggiat lingkungan, dan pers.
”Ada kesan kuat pemerintah tertutup saat perumusan RUU,” katanya.
Didik meyakini RUU Cipta Kerja memiliki manfaat tertentu. Namun, harus dipahami pembentukan omnibus law juga memiliki kelemahan, yakni praktik yang pragmatis dan kurang demokratis. ”Ada 79 UU yang disatukan dalam satu RUU, yaitu RUU Cipta Kerja, di mana UU masing-masing mempunyai politik hukum yang berbeda-beda. Konsekuensinya akan ada perubahan paradigma yang mendasar dalam konteks politik hukum,” katanya.
Didik mengatakan, akan terjadi pergeseran paradigma yang cukup ekstrem dari beberapa norma UU yang dimasukkan ke dalam omnibus law, seperti UU Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Kehutanan, UU Minerba, UU Tenaga Kerja, dan UU Pers. Semua UU itu alhasil akan diarahkan untuk memudahkan investasi dan menjamin usaha.
”RUU Cipta Kerja ini juga menjadi RUU yang berpotensi tidak demokratis. Jangan hanya atas nama target cepat, jangan atas nama investasi kemudian menafikan kepentingan masyarakat, partisipasi, dan masukan publik,” katanya.
Sebelumnya, pimpinan DPR berjanji pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR bakal transparan. Beberapa fraksi di DPR juga menyatakan hal yang sama. ”Kami akan bertarung di dalam pembahasan. Kalau ada yang belum benar, bukan hanya kami kaji, tetapi kami perbaiki,” kata Sekretaris Fraksi PDI-P Bambang Wuryanto.