Mahkamah Agung, saat ini, dinilai terlalu banyak menangani perkara sehingga waktu untuk membuat pertimbangan (hukum) sangat pendek. Hal itu karena belum adanya regulasi untuk membatasi perkara yang bisa diajukan ke MA.
Oleh
NAD/PDS
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Mahkamah Agung, saat ini, dinilai terlalu banyak menangani perkara sehingga waktu untuk membuat pertimbangan (hukum) sangat pendek.
Hal ini terjadi karena hingga kini belum ada regulasi untuk membatasi perkara yang bisa diajukan ke MA.
Wakil Ketua MPR Arsul Sani, Kamis (12/3/2020), di Jakarta, mengatakan, pembatasan perkara seharusnya dapat diterapkan pada kasus perceraian, utang-piutang dengan jumlah yang tidak besar, atau tindak pidana ringan, seperti pencurian. Menurut dia, kasus-kasus seperti itu tidak perlu dibawa ke MA.
Berdasarkan buku Laporan Tahunan MA, sepanjang tahun 2009, MA mencetak rekor dalam memutus perkara terbanyak, yaitu mencapai 20.058 perkara. Sisa perkara hanya 217 perkara.
"Pembatasan perkara seharusnya dapat diterapkan pada kasus perceraian, utang-piutang dengan jumlah yang tidak besar, atau tindak pidana ringan, seperti pencurian. Menurut dia, kasus-kasus seperti itu tidak perlu dibawa ke MA"
Arsul mengakui, ada peningkatan di lembaga peradilan, tetapi hanya terkait hal-hal prosedural. Ini terlihat dari mudahnya rakyat dalam mengajukan gugatan, apalagi gugatan dapat dilakukan secara elektronik. Menurut dia, peningkatan seharusnya menyangkut hal-hal yang sifatnya substantif. Pasalnya, putusan pengadilan harus mencerminkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum. Hal tersebut dapat dicapai apabila tidak ada lagi suap.
”Putusan tidak semata-mata membunyikan undang-undang, tetapi harus ada aspek keadilannya,” ujarnya.
Mengenai beratnya beban para hakim agung menangani perkara, anggota Komisi Yudisial (KY), Aidul Fitriciada Azhari, mengamininya. Ia mengutip salah satu hakim senior yang mengatakan, cara hakim menangani perkara di era 1970-an atau 1980-an relatif lebih baik dibandingkan dengan saat ini.
”Kita belum bisa menemukan penyebabnya apa, tetapi salah satu yang kami rasakan dan juga dari hasil observasi kami, pembatasan masa pemeriksaan sering menjadi masalah dalam kualitas putusan karena seolah-olah terburu-buru,” kata Aidul.
Selain itu, tambah Aidul, beban perkara MA yang besar membuat hakim tidak memungkinkan untuk membuat putusan yang lebih berkualitas. MA lebih berorientasi pada jumlah perkara yang ditangani dan bukan pada kualitas. Tidak mengherankan jika selama ini ada kecenderungan kualitas putusan makin menurun.
Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah mengatakan, MA akan menghormati apa pun yang disampaikan masyarakat karena hal tersebut merupakan hak dari warga negara.
Keadilan restoratif
Dalam seminar ”Diseminasi Penerapan Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana”, di Jakarta, disebutkan bahwa konsep keadilan restoratif dalam penyelesaian tindak pidana dinilai akan memberikan keadilan bagi pelaku, korban, dan masyarakat. Meski secara umum aparat penegak hukum telah memahaminya, diperlukan upaya yang lebih komprehensif dalam penerapan di lapangan.
Deputi Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan Kementerian PPN/Bappenas Slamet Soedarsono mengatakan, konsep keadilan restoratif perlu diterapkan karena mengandung konsep keadilan sosial. Konsep itu telah diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan dinilai perlu untuk segera diterapkan juga dalam penyelesaian perkara pidana.
Beberapa kasus pidana ringan yang menimpa masyarakat kecil menjadi contoh bahwa penegakan hukum tidak harus diselesaikan dengan pidana penjara. Penyelesaian kasus semacam itu dapat dilakukan dengan menerapkan keadilan restoratif yang melibatkan korban, pelaku, masyarakat, dan aparat penegak hukum melalui mediasi atau rehabilitasi.
”Pendekatan keadilan restoratif sudah menjadi kebutuhan dalam penegakan hukum nasional. Kami melihat ada kesempatan untuk menerapkan keadilan restoratif”
”Pendekatan keadilan restoratif sudah menjadi kebutuhan dalam penegakan hukum nasional. Kami melihat ada kesempatan untuk menerapkan keadilan restoratif,” kata Slamet.
Di sisi lain, katanya, pemberian hukuman penjara pun berdampak negatif, di antaranya kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan.