KPU, Bawaslu, dan DKPP perlu memperbaiki kualitas koordinasi sehingga tak perlu muncul masalah yang bersumber pada perbedaan tafsir hukum/putusan pemilu
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemberhentian anggota Komisi Pemilihan Umum Evi Novida Ginting oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu seharusnya tak perlu terjadi jika ada kesepahaman di antara tiga lembaga penyelenggara pemilu dalam memaknai putusan Mahkamah Konstitusi. Sinkronisasi dan keselarasan dalam memahami hukum pemilu serta proses penyelenggaraan pemilu karena itu menjadi sangat penting.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, ada pelajaran di balik putusan DKPP yang dibacakan pada Rabu (18/3/2020).
”Pembelajaran dari kasus ini adalah bagaimana forum tripartit dan koordinasi di antara tiga lembaga penyelenggara pemilu harus diperbaiki kualitasnya, terutama antara KPU dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu). Mestinya kesepahaman dalam memaknai hukum pemilu bisa dibangun sejak awal sehingga perbedaan pemahaman dan penafsiran bisa dihindari,” ujar Titi, Jumat (20/3), di Jakarta.
Sebelumnya, DKPP memberhentikan Evi Novida karena dinilai terbukti melanggar etik penyelenggara pemilu terkait perkara yang diajukan Hendri Makaluasc, calon anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat.
Namun, Evi Novida tidak menerima putusan DKPP tersebut dan menilai putusan itu cacat hukum. Ia yakin keputusan KPU sudah tepat karena menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi. Ia pun akan menggugat putusan DKPP itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Titi pun menyayangkan putusan DKPP yang dalam penilaiannya tidak didasari dengan argumentasi pakar hukum tata negara. Padahal, apabila pakar dilibatkan, pertentangan atau konflik di antara penyelenggara pemilu dalam menyikapi putusan MK bisa dicegah.
”Jadi, memang ada kompleksitas yang dihadapi dalam kasus ini. Ini berkaitan dengan perbedaan penafsiran hukum,” ujarnya.
Pelaksana Tugas DKPP Muhammad mengingatkan bahwa putusan DKPP bersifat final dan mengikat sehingga harus langsung dijalankan Presiden. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Meskipun demikian, DKPP tak mempersoalkan langkah Evi yang akan menggugat ke PTUN.
”Kalau sudah diputus begitu, tak ada upaya hukum. Namun, sebagai warga negara, tentu itu pilihan. DKPP tak bisa mendorong atau menolak. Warga negara berhak (menggugat) jika belum dapat keadilan,” tutur Muhammad.
Muhammad menyampaikan, sebenarnya tindakan KPU sudah tepat ketika menjalankan putusan MK. Namun, dia menyayangkan KPU tidak menjalankan putusan itu secara komprehensif. Seharusnya, ketika masih ada alarm merah, KPU tak boleh serta-merta menetapkan hasil pemilu dan malah meminta KPU Kalimantan Barat mengabaikan putusan Bawaslu.
”Peringatan dini muncul bahwa ada angka yang tidak tepat, tetapi ditetapkan juga sebagai hasil pemilu. Padahal, putusan MK mengakui suara Hendri yang berkurang dan harus ditambahkan itu akan berkonsekuensi terhadap pengurangan suara caleg lain yang digelembungkan. Namun, KPU tidak mengurangi suara yang digelembungkan sehingga Hendri walaupun ditambahkan suaranya itu tetap bukan sebagai pemenang pemilu,” tutur Muhammad.
Titi menyayangkan adanya perbedaan penafsiran terhadap putusan MK. Sebenarnya, perbedaan penafsiran itu bisa dihindari dan kemudian diluruskan dengan menghadirkan pakar hukum.
Muhammad juga menepis anggapan Evi yang menyebut seharusnya rapat pleno pengambilan putusan DKPP ditetapkan oleh minimal sebanyak lima anggota majelis DKPP. Seperti diberitakan sebelumnya, di rapat pleno pemberhentian Evi hanya diikuti empat majelis DKPP.
Muhammad menjelaskan, pasca-pengangkatan Ketua DKPP Harjono menjadi anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantadan Korupsi, komposisi majelis hakim berkurang dari tujuh orang menjadi enam orang.
Dari enam majelis DKPP yang tersisa, dua di antaranya merupakan pihak teradu sehingga tak bisa menjadi majelis. Dua orang tersebut adalah Hasyim Asyari dari KPU dan Rahmad Bagja dari Bawaslu.
"Karena enam anggota, kuorumnya empat. Itu sudah bisa mengambil keputusan," ucap Muhammad.
Di sisi lain, lanjut Muhammad, DKPP memiliki keterikatan oleh aturan untuk memutus suatu perkara yang sudah disidang paling lambat 30 hari. "Nanti salah lagi kami kalau tak memutuskan perkara setelah lebih dari 30 hari. Kami menjaga supaya tidak melanggar aturan," katanya.