Rancangan Perppu Penundaan Pilkada Sudah Sampai di Presiden Jokowi
Penyusunan naskah perppu penundaan Pilkada 2020 sudah selesai dan sudah dilaporkan ke menteri terkait. Surat itu secara teknis sudah masuk ke Kementerian Sekretariat Negara dan akan diserahkan kepada Presiden Jokowi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu Penundaan Sisa Tahapan Pilkada 2020 sudah dikirim kepada Presiden Joko Widodo untuk diproses lebih lanjut. Salah satu substansi yang dibahas dalam perppu itu adalah penundaan pilkada dari 23 September menjadi 9 Desember 2020.
Sebelumnya, pilkada di 270 daerah yang sedianya dilaksanakan pada 23 September 2020 disepakati untuk ditunda akibat penyebaran wabah Covid-19 yang disebabkan virus korona baru. Dalam rapat itu, tiga pilihan yang dipaparkan KPU ialah 9 Desember 2020 sebagai opsi pertama, 17 Maret 2021 sebagai opsi kedua, dan 29 September 2021 sebagai opsi ketiga.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, Rabu (22/4/2020), mengatakan, Rancangan Perppu Penundaan Sisa Tahapan Pilkada 2020 sudah disusun Kementerian Dalam Negeri. Naskah sudah dikirim kepada Presiden.
Isinya adalah tentang penundaan pilkada dari 23 September ke 9 Desember 2020. Tapi, jika sampai Juni Covid-19 belum mereda, bisa dikeluarkan perppu penundaan lagi.
Naskah tersebut biasanya akan disinkronisasi oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Setelah itu, akan dimintakan paraf kepada semua menteri terkait, yaitu Mendagri, Menteri Sekretariat Negara, serta Menkumham.
”Isinya adalah tentang penundaan pilkada dari 23 September ke 9 Desember 2020. Tapi, jika sampai Juni Covid-19 belum mereda, bisa dikeluarkan perppu penundaan lagi,” ujar Mahfud MD secara tertulis, Rabu.
Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Bahtiar menambahkan, rancangan perppu itu disusun Direktorat Jenderal Otonomi Daerah dan Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum. Penyusunan naskah sudah selesai dan sudah dilaporkan kepada menteri terkait. Surat itu secara teknis sudah masuk ke Kementerian Sekretariat Negara dan akan diserahkan kepada Presiden. Saat ini, naskah tersebut sedang dalam proses pembahasan di level pimpinan.
Menurut Bahtiar, salah satu substansi perppu itu adalah menyangkut penundaan tahapan pilkada dan hari pemungutan suara. Sesuai usulan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam rapat dengar pendapat di Komisi II terakhir, pelaksanaan pilkada ditunda tiga bulan. Dalam perppu tersebut pun diputuskan pilkada serentak 2020 akan dilaksanakan pada Desember 2020. Namun, dengan catatan jika penularan penyakit akibat virus korona baru sudah selesai.
”Perppu akan mengakomodasi semua kemungkinan baik skenario optimis maupun terburuk. Sampai saat ini, kan, belum ada yang bisa menentukan Covid-19 selesai kapan? Nah, di perppu akan akomodasi dua situasi yaitu jika Covid-19 sudah selesai dan jika belum selesai,” ujar Bahtiar.
Dana pilkada
Saat disinggung soal usulan pengalihan dana pilkada serentak untuk penanganan Covid-19, Bahtiar mengatakan, hal itu tidak dibahas dalam perppu. Sebab, dana pilkada yang ada di APBD itu tidak mungkin dialihkan karena sudah ada lima tahapan dari 15 tahapan pilkada yang sudah dilaksanakan penyelenggara pemilu. Akibatnya, dana pilkada sudah tidak bisa dialihkan untuk membantu penanganan Covid-19.
Selain itu, menurut dia, keputusan terakhir yang diambil DPR, KPU, Kemendagri, Bawaslu, dan instansi terkait dalam rapat terakhir adalah pilkada diproyeksikan tetap dilaksanakan pada 2020. Dengan demikian, jika dana dialihkan untuk penanganan Covid-19, pemda justru akan kebingungan mencari sumber pendanaan.
”Dana pilkada serentak di daerah itu sudah dipakai sebagian karena lima tahapan sudah dilaksanakan. Jika dialihkan untuk penanganan Covid-19, bagaimana pertanggungjawabannya?” kata Bahtiar.
Terkait hasil kajian Pusako, Netgrit, Perludem, dan Rumah Kebangsaan yang mengusulkan agar perppu juga mengatur anggaran pilkada agar tidak lagi dari APBD, tetapi APBN, Bahtiar mengatakan, hal itu lebih cocok dibahas dalam revisi paket UU Pemilu. Hal itu kurang ideal dibahas dalam perppu karena sudah ada tahapan pilkada yang dilaksanakan.
Dalam jangka panjang, menurut dia, Kemendagri membuka opsi kemungkinan hasil kajian itu. Namun, hal itu membutuhkan diskusi yang panjang lintas instansi dan tidak mungkin dibahas dalam perppu penundaan sisa tahapan pilkada.
”Hal itu lebih ideal dibahas dalam revisi paket UU Pemilu yang sudah masuk dalam program legislasi nasional di DPR,” kata Bahtiar.
Sebelumnya, dalam hasil kajian Pusako, Netgrit, Perludem, dan Rumah Kebangsaan disebutkan bahwa pilkada serentak paling baik dilakukan setelah Juni 2021. Hal itu dengan mempertimbangkan anggaran, waktu, situasi sosial masyarakat, dan masa akhir jabatan kepala daerah. Kajian juga mengusulkan bahwa idealnya perppu mengatur anggaran pilkada agar tidak lagi dari APBD, tetapi dari APBN.
Direktur Pusako Universitas Andalas Padang Feri Amsari menjelaskan, usulan itu didasarkan pada putusan MK Nomor 55/2020. Dalam putusan itu disebutkan bahwa pilkada ditempatkan kembali pada rezim pemilu sehingga seharusnya sudah tidak ada lagi terminologi pilkada, tetapi pemilu kepala daerah.
Dengan konsekuensi hukum itu, pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota semestinya juga dapat menggunakan anggaran APBN. Dalam konteks ini, dapat disinambungkan pembagian porsi pendanaan antara APBN dan APBD. Jadi, pilkada tidak didanai dari APBD murni seperti saat ini.
Sebab, dalam praktiknya, proses penyelenggaraan pemilu kepala daerah di daerah kerap terhambat dengan proses pendanaan. Saat gubernur, bupati, dan wali kota tidak lagi terlibat dalam proses pemilu kepala daerah, proses perizinan anggaran itu sebagai kebutuhan anggaran prosesnya cenderung lambat. Hal itu akhirnya menghambat penyelenggara pemilu di daerah.