Penundaan Tema Ketenagakerjaan Tak Banyak Berpengaruh pada Aksi Penolakan
Pemerintah dan DPR sepakat menunda pembahasan tema atau kluster ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja yang tengah dibahas DPR dan pemerintah. Namun, dinilai tak ada artinya karena kalangan buruh dan lainnya masih menolak.
Oleh
Las dan Edn
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan DPR sepakat menunda pembahasan tema atau kluster ketenagakerjaan dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang kini tengah dibahas DPR bersama pemerintah. Adapun untuk 10 kluster lainnya akan terus dibahas selama krisis Covid 19 ini.
”Saya ingin menyampaikan tentang omnibus law, tentang RUU Cipta kerja yang sekarang ini sudah berada di DPR. Kemarin pemerintah telah menyampaikan kepada DPR. Dan, saya juga mendengar Ketua DPR sudah menyampaikan kepada masyarakat bahwa kluster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja pembahasannya ditunda,” kata Presiden di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (24/04/2020).
Langkah DPR menunda pembahasan RUU Cipta Kerja tersebut, menurut Presiden, sesuai dengan keinginan pemerintah. Hal ini untuk memberikan kesempatan kepada seluruh pemangku kepentingan mendalami substansi dari pasal-pasal ketenagakerjaan sekaligus mendapatkan masukan dari para pemangku kepentingan.
”Saya ingin menyampaikan tentang omnibus law, tentang RUU Cipta kerja yang sekarang ini sudah berada di DPR. Kemarin pemerintah telah menyampaikan kepada DPR. Dan, saya juga mendengar Ketua DPR sudah menyampaikan kepada masyarakat bahwa kluster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja pembahasannya ditunda.”
Dengan pernyataan Presiden tersebut, berarti pemerintah dan DPR sepakat menunda pembahasan kluster ketenagakerjaan pada RUU Cipta Kerja. Sehari sebelumnya, Ketua DPR dari PDI-P Puan Maharani menyatakan, pimpinan DPR meminta Badan Legislatif (Baleg) DPR untuk memunda pembahasan kluster ketenagakerjaan pada RUU Cipta Kerja.
Pertimbangannya adalah bahwa saat ini semua pihak sedang fokus menangani Covid-19. Penundaan juga ditujukan agar DPR bisa lebih banyak menyerap masukan masyarakat, terutama dari kalangan buruh yang tak hanya terimbas Covid-19, tetapi juga kekhawatiran jika kluster ketenagakerjaan dapat mengurangi hak-hak para buruh dan pekerja.
Sebagaimana telah diberitakan sebelumnya, Ketua Baleg DPR yang juga Ketua Panitia Kerja RUU Cipta Kerja DPR, Supratman Andi Agtas, mengatakan, pembahasan kluster ketenagakerjaan memang sudah direncanakan baru akan dilakukan saat krisis Covid-19 telah berakhir. Ketua Kelompok Fraksi Golkar di Baleg DPR Firman Subagyo menambahkan, hal itu sudah menjadi kesepakatan di Baleg DPR.
Adapun pembahasan untuk kluster lain dalam RUU Cipta Kerja akan terus berjalan. Alasannya adalah pembahasan RUU Cipta Kerja di sejumlah kluster justru menjadi solusi untuk mengatasi dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19.
RUU Cipta Kerja terbagi dalam 11 kluster. Kluster yang dimaksud meliputi penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah, dan kawasan ekonomi.
Berdasarkan data Kementerian Hukum dan HAM per 23 Januari 2020, terdapat 8.451 peraturan pusat dan 15.965 peraturan daerah yang disinkronisasikan lewat pola sapu jagat (omnibus law). Kompleksitas aturan tersebut selama ini banyak membelenggu pemerintah-birokrasi dalam melakukan pelayanan kepada pemerintah sekaligus penyesuaian yang dibutuhkan menyikapi berbagai perubahan yang berlangsung cepat.
Mengutip situs resmi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian baru-baru ini, RUU Cipta Kerja diharapkan akan dapat mengurangi bahkan menghilangkan tumpang-tindih antarperaturan perundang-undangan (PUU), mengefisienkan proses perubahan atau pencabutan PUU, dan menghilangkan ego sektoral. Sebanyak 81 undang-undang akan terdampak RUU Cipta Kerja.
Presiden Jokowi juga berharap dengan RUU Perpajakan—salah satu RUU yang disusun dengan pola omnibus law dan terlebih dahulu diserahkan ke DPR sebelum RUU Cipta Kerja—dan RUU Cipta Kerja dapat meningkatkan investasi dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi lebih besar lagi dari yang sekarang ini hanya sekitar 5 persen.
Penolakan tetap akan ada
Pengacara dari LBH Jakarta, Citra Referendum, kemarin, mengatakan, penundaan pembahasan kluster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja tidak akan banyak berpengaruh terhadap penolakan RUU tersebut yang akan dilakukan berbagai kalangan termasuk buruh dan pekerja. ”(Sebab pendapat pemerintah dan DPR RUU Cipta Kerja) Hanya ditunda (sehingga nanti) akan tetap dibahas lagi,” katanya.
Citra mengatakan, pembahasan kluster tersebut akan tetap dibahas pada akhir sidang. Dalam rapat baleg dan pemerintah sudah disampaikan bahwa kluster yang dianggap sulit dibahas, dalam arti banyak mendapat penolakan, akan dibahas di akhir pembahasan.
”Omnibus Law RUU Cipta Kerja diklaim pemerintah dapat mengatasi tumpang-tindihnya regulasi ternyata tidak terbukti.”
Oleh karena itu, Citra menilai, penundaan ini tidak memberikan jaminan apa-apa. Bahkan, seandainya kluster ketenagakerjaan dicabut, tetap saja pekerja terancam karena dampak pasal-pasal lainnya terkait investasi dan lainnya, seperti penggusuran paksa dan pencemaran lingkungan hidup oleh RUU Cipta Kerja.
Citra mengatakan, pihaknya telah menyiapkan kertas kerja terkait alasan-alasan LBH Jakarta menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Omnibus Law RUU Cipta Kerja diklaim pemerintah dapat mengatasi tumpang-tindihnya regulasi ternyata tidak terbukti.
RUU Cipta Kerja justru menciptakan lagi 516 peraturan pelaksana baru. Peningkatan pembangunan yang digaungkan juga tidak sejalan karena substansi RUU ini justru merampas ruang hidup masyarakat melalui penggusuran paksa atas nama investasi. Salah satu aspek ketenagakerjaan, yang disorot salah satunya adalah RUU ini melegitimasi politik upah murah melalui penghapusan dan perubahan UU Ketenagakerjaan. Selain itu, terdapat juga penghapusan norma hukum pidana perburuhan, sistem kerja kontrak, sistem outsourcing (alih daya) yang menjadi polemik.