Politisasi Bantuan Sosial untuk Kepentingan Elektoral Melukai Masyarakat
Bantuan sosial untuk menghadapi dampak Covid-19 amat dibutuhkan masyarakat. Namun, di tengah rencana pemerintah tetap menggelar pilkada di 270 daerah pada tahun 2020, bantuan sosial rentan dipolitisasi calon petahana.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO DAN NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepala daerah yang memanfaatkan bantuan sosial di tengah pandemi Covid-19 untuk kepentingan pribadi ataupun elektoral telah melukai masyarakat sekaligus merusak kepercayaan publik. Alokasi dana bantuan sosial yang besar di tengah rencana pemerintah tetap menyelenggarakan pilkada pada tahun 2020 butuh pengawasan ketat karena berpotensi diselewengkan.
Bupati Klaten, Jawa Tengah, Sri Mulyani mendapat sorotan di ruang maya karena pembagian hand sanitizer yang diberi stiker bergambar wajahnya. Pasalnya, setelah stiker dikelupas, tertulis bantuan Kementerian Sosial.
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Jawa Tengah Siti Farida saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (28/4/2020), mengaku menerima lebih dari 15 laporan terkait hal itu. Menurut dia, dari pemeriksaan laporan, ada dugaan penyalahgunaan bantuan sosial (bansos). Apalagi, Sri Mulyani berpotensi menjadi calon petahana di Pilkada 2020.
Sri Mulyani meminta maaf atas penempelan fotonya. Dia mengklarifikasi bahwa hal itu terjadi karena kesalahan di lapangan. Menurut dia, bantuan Kemensos hanya 1.000 botol, sedangkan bantuan yang dibagikan Pemerintah Kabupaten Klaten mencapai puluhan ribu botol. ”Di lapangan mungkin ditempeli semua,” katanya (Kompas.com, 27/4/2020).
Data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menunjukkan kasus Covid-19 ada di 34 provinsi dan 297 kabupaten/kota. Adapun Pilkada 2020 akan diselenggarakan di 9 provinsi dan 261 kabupaten/kota. Berdasarkan data yang dihimpun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), potensi calon petahana ada di 218 daerah.
Sementara itu, dana alokasi berasal dari APBN untuk jaring pengaman sosial, termasuk bansos Rp 110 triliun, dan dari realokasi anggaran pemda Rp 17,5 triliun untuk bansos (Kompas, 28/4/2020).
Anggota Badan Pengawas Pemilu, Ratna Dewi Pettalolo, mengingatkan, Pasal 71 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada melarang kepala daerah atau wakil kepala daerah menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon, baik di daerah sendiri maupun di daerah lain, dalam waktu enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai penetapan pasangan calon terpilih.
Kepala daerah yang melanggar bisa didiskualifikasi sebagai calon oleh Komisi Pemilihan Umum setempat. Selain itu, ada pula ancaman pidana penjara paling lama enam bulan dan denda paling banyak Rp 6 juta.
Sementara itu, Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan, potensi pemanfaatan realokasi anggaran untuk program jaring pengaman sosial di daerah yang belum terdampak Covid-19 oleh para petahana yang akan mengikuti pilkada perlu diawasi.
Menurut dia, saat ini terdata tidak sampai 300 pemda yang memiliki kasus Covid-19. Namun, dari 542 pemda, seluruhnya mengalokasikan anggaran untuk bansos.
”Bansos di wilayah petahana akan menjadi prioritas pemantauan KPK karena potensi korupsi cukup besar,” katanya.
KPK khawatir, anggaran untuk bansos digunakan untuk kepentingan pilkada. Menurut Pahala, petahana bisa menggunakan anggaran bansos untuk ditujukan ke basis suara mereka. Selain itu, untuk proses pengadaan, ada potensi kepala daerah bisa mengintervensi untuk menentukan pemenang tender tertentu supaya komisinya bisa untuk kampanye atau politik uang.
Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara Agus Pramusinto menambahkan, penyalahgunaan bansos untuk kepentingan politik sangat tidak etis. Ia berharap persoalan itu menjadi perhatian masyarakat di tengah dua fenomena besar negara ini, Pilkada 2020 dan wabah Covid-19. Masyarakat harus aktif mengawasi bantuan sosial jika terjadi penyalahgunaan wewenang.
Menurut sosiolog dari Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, bansos berasal dari APBD atau APBN, yang berasal dari pajak rakyat. Karena itu, penyalahgunaan atau pengatasnamaan bantuan menjadi kepentingan pribadi mencederai hak dan kepercayaan rakyat.
”Ini akan mengakibatkan distrust masyarakat. Pejabat publik yang memanfaatkan bansos untuk kepentingan politik akan mendapatkan sanksi negatif dari masyarakat,” kata Imam.