Surat Presiden tentang Omnibus Law Digugat ke PTUN
Surat Presiden tentang RUU Omnibus Law ke DPR digugat masyarakat sipil ke PTUN Jakarta. Surat pemberitahuan para menteri yang mewakili pemerintah bahas RUU Cipta Kerja jika dibatalkan bisa hentikan pembahasan di DPR.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sejumlah masyarakat sipil mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta atas surat presiden yang dikirimkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, 12 Februari 2020. Surpres itu digugat karena dianggap memulai niatan pembahasan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja yang perencanaan dan penyusunannya dinilai tidak partisipatif.
Masyarakat sipil yang mengajukan gugatan itu ialah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KFBI). Mereka mengajukan gugatan atas surpres yang berisikan pemberitahuan ke DPR nama-nama menteri yang ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo untuk mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU Cipta Kerja bersama DPR.
Sementara itu, hingga pekan depan, masih ada satu kali rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang akan diadakan oleh DPR dengan menghadirkan pakar atau ahli. Pakar dan ahli yang dihadirkan masih membahas soal konsideran yang berisi ketentuan tentang mengingat dan menimbang, serta Bab I soal Ketentuan Umum.
"Mereka mengajukan gugatan atas surpres yang berisikan pemberitahuan ke DPR nama-nama menteri yang ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo untuk mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU Cipta Kerja bersama DPR"
Anggota tim advokasi untuk demokrasi Arif Maulana mengatakan, gugatan itu telah dikirimkan pada 30 April 2020. Inti gugatan ialah meminta PTUN membatalkan surpres tersebut. Selain itu, penggugat juga meminta agar pengadilan menghentikan sementara pembahasan RUU Cipta Kerja yang dibentuk dengan omnibus law itu. Alasannya, perkara itu tengah diperiksa oleh pengadilan.
“Kami berharap pengadilan membatalkan surpres itu, karena surpres dibuat tidak dengan memerhatikan peraturan perundang-undangan, asas-asas pemerintahan umum yang baik, asas-asas kehati-hatian, asas partisipasi, dan asas kemanfaatan,” kata Arif, Minggu (3/5/2020), dalam konferensi pers jarak jauh.
Bisa Hentikan Pembahasan RUU
Menurut Arif, bila pengadilan membatalkan surpres itu, secara otomatis pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR akan terhenti. Sebab, tidak mungkin pembahasan diteruskan sementara surpres yang melandasi dilakukannya pembahasan itu antara pemerintah dan DPR dinyatakan cacat hukum atau batal demi hukum. Konsekuensi lain dari putusan PTUN ialah presiden harus mencabut surpres tersebut.
Gugatan ke PTUN, menurut Arif, dilandasi oleh fakta perencanaan dan penyusunan RUU Cipta Kerja oleh pemerintah yang tidak melibatkan partisipasi publik. Pihak-pihak yang terdampak oleh RUU Cipta Kerja, antara lain pekerja atau buruh, nelayan, petani, dan masyarakat adat, yang kepentingannya akan sangat terpengaruh akibat regulasi itu, pada kenyataannya tidak diajak bicara oleh pemerintaah saat merencanakan dan menyusun RUU Cipta Kerja.
Arif mengatakan, hal itu bertentangan dengan asas keterbukaan yang diatur di dalam UU nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU tersebut mengamanatkan agar pembentukan UU apapun harus melibatkan partisipasi publik, dan mempertimbangkan kebutuhan publik atas UU tersebut. Tanpa pelibatan masyarakat yang terdampak sebagaimana diatur oleh UU No 12/2011, RUU Cipta Kerja itu berpotensi cacat hukum.
“Seharusnya masyarakat ditanyai, apakah ini kebutuhan rakyat. Sejak awal pun rakyat harus diinformasikan, dan mereka diajak untuk terlibat. Tetapi, apa yang terjadi, kita tahu dan paham pemerintah justru menutupi rencana pembentuk RUU itu, dan masyarakat, terutama warga negara yang terdampak tidak dilibatkan di dalam pembahasan,” kata Arif menambahkan.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan, secara subtansi banyak aturan di dalam draf RUU Cipta Kerja itu yang bertentangan dengan semangat reformasi agrarian yang diatur di dalam UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria. Pengaturan tanah dan lahan di dalam RUU Cipta Kerja itu dinilai terlampau liberal dan memberikan akses seluas-luasnya kepada investor, sehingga berpotensi merampas ruang hidup masyarakat petani, dan masyarakat adat yang secara kultural menempati kawasan tertentu.
“RUU ini memang tidak secara langsung mengatakan mengubah UUPA, tetapi banyak di dalam substansi RUU ini mencabut susbtansi UUPA, bahkan pengaturannya lebih buruk daripada era kolonial. Bahkan, ada substansi RUU Pertanahan yang kami tolak pada 2019 lalu disusupkan kembali dalam pengaturan RUU Cipta Kerja ini,” kata Dewi.
KPA antara lain menyoroti pemberian hak guna usaha lahan yang langsung diberikan selama 90 tahun di dalam RUU Cipta Kerja. Hak guna usaha dengan jangka waktu snagat panjang itu dinilai berbahaya karena terlalu lama, dan memberikan kemewahan kepada investor, terutama di bidang perkebunan.
“Di dalam UUPA Tahun 1960 saja, HGU tahap pertama diberikan selama 25 tahun, dan untuk perpanjangan selanjutnya harus ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Tetapi, di dalam RUU Cipta Kerja, kini bisa langsung di muak diberikan selama 90 tahun. Ini kan sampai 3 generasi. Pengaturan semacam ini akan menghilangkan keluarga petani dan tanah pertanian,” tuturnya.
DPR Nilai Tak Berpengaruh
“Belum ada putusan hukum yang inkrah, sehingga tentu tidak ada dampaknya dalam pembahasan”
Secara terpisah, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya mengatakan, gugatan ke PTUN itu tidak berpengaruh terhadap jalannya pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR. “Belum ada putusan hukum yang inkrah, sehingga tentu tidak ada dampaknya dalam pembahasan,” kata Willy.
Pekan depan, DPR akan kembali menggelar RDPU, yakni dengan mengundang ahli hukum Universitas Padjadjaran I Gde Pantja Astawa. Menurut rencana, RDPU diadakan, Selasa pekan depan. RDPU itu akan menjadi RDPU terakhir pada masa sidang ketiga ini.
“Silakan saja kalau mau menggugat di PTUN. Itu hak warga negara. Tetapi daripada sekadar menolak, sebaiknya juga ada alternatif saran atau masukan lain yang bisa dilakukan,” katanya.