Ombudsman Tutup Dugaan Malaadministrasi Terkait Komisaris Rossa
Setelah Komisaris Rossa kembali bertugas sebagai penyidik KPK, Ombudsman RI akan menutup kasus dugaan malaadministrasi dalam pengembalian Rossa ke kepolisian, beberapa waktu lalu.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi telah membatalkan pemberhentian dengan hormat penyidiknya, Komisaris Rossa Purbo Bekti, sehingga ia dapat kembali bekerja di KPK. Namun, kasus ini masih menyisakan persoalan karena diduga adanya malaadministrasi di dalamnya.
Persoalan dikembalikannya Rossa ke Kepolisian Negara RI cukup mengejutkan karena masa kerjanya baru berakhir pada September 2020. Kasus ini sempat membuat Ombudsman menduga ada malaadministrasi di dalamnya.
Meskipun sempat menduga ada malaadministrasi dalam kasus ini, Ombudsman tidak dapat memberikan sanksi. Ombudsman hanya bisa mengingatkan saja sekaligus berharap agar kasus seperti ini tidak terulang.
Akan tetapi, dengan dipekerjakannya kembali Rossa di KPK, Ombudsman akan menutup laporan terkait kasus ini. Anggota Ombudsman, Adrianus Meliala, mengapresiasi pembatalan pemberhentian Rossa di KPK. ”Laporan bisa kami tutup,” kata Adrianus melalui pesan singkat, di Jakarta, Jumat (15/5/2020).
Meskipun sempat menduga ada malaadministrasi dalam kasus ini, Ombudsman tidak dapat memberikan sanksi. Adrianus mengungkapkan, Ombudsman hanya bisa mengingatkan saja, sekaligus berharap agar kasus seperti ini tidak terulang.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengungkapkan, adanya malaadministrasi seperti yang diduga oleh Ombudsman dalam kasus pengembalian Rossa ke Polri oleh pimpinan KPK terjadi karena dilakukan secara sengaja. Hal tersebut menggambarkan arogansi kekuasaan dalam perspektif administrasi.
”Dalam organisasi modern yang didasarkan pada prinsip pengelolaan organisasi yang baik, maka keterbukaan dan keadilan merupakan bagian dari napas organisasi yang juga diwujudkan menjadi aturan serta mekanisme operasional organisasi,” kata Fickar.
Oleh karena itu, diangkatnya kembali Rossa harus dilihat sebagai pelaksanaan prinsip tersebut. Dalam konteks administratif, mekanisme internal penegakan aturan ada pada atasan Ketua KPK.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atasan Ketua KPK adalah Presiden. Alhasil, bentuk hukuman dari pelanggaran tersebut diserahkan kepada Presiden. Apabila mekanisme internalnya tidak jalan, baru muncul peranan hukum dalam perkara ini, yakni melalui putusan Peradilan Tata Usaha Negara.
Pengembalian Rossa ke Polri sempat menimbulkan kecurigaan karena ia merupakan penyidik dalam kasus suap yang melibatkan bekas anggota KPU, Wahyu Setiawan, dan politisi PDI-P, Harun Masiku, yang hingga saat ini masih buron.
Pelanggaran prosedur
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan, proses pengembalian paksa Rossa ke institusi asal yang dilakukan oleh pimpinan KPK mengandung pelanggaran prosedur serius. Pelanggaran tersebut terjadi karena Rossa tidak pernah melanggar kode etik dan sedang menangani perkara di KPK. Di sisi lain, pimpinan Polri menolak pengembalian Rossa ke instansi kepolisian.
Dewan Pengawas KPK diharapkan bertindak dengan memberikan sanksi yang pantas kepada pimpinan KPK atas pelanggaran administrasi terhadap proses pengembalian paksa Rossa ke instansi Polri.
Ia berharap, Dewan Pengawas KPK bertindak dengan memberikan sanksi yang pantas kepada pimpinan KPK atas pelanggaran administrasi terhadap proses pengembalian paksa Rossa ke instansi Polri.
Selain itu, perlu juga digali motif dari pimpinan KPK yang terlihat bersemangat untuk mendepak Rossa dari KPK. Sebab, Rossa tergabung dalam tim yang menangani perkara suap Wahyu dengan Harun.
Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo menyatakan, pengembalian Rossa pada posisinya sebagai penyidik di KPK sudah cukup. Apalagi, hak-haknya juga dipenuhi.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menyatakan, hak-hak kepegawaian Rossa telah kembali seperti sebelum diterbitkannya Keputusan Sekretaris Jenderal KPK Nomor 123 Tahun 2020 tentang Pemberhentian Dengan Hormat Pegawai Negeri yang Dipekerjakan pada KPK atas nama Rossa Purbo Bekti terhitung mulai 1 Februari 2020.
Dengan pembatalan keputusan sekjen tersebut, maka Rossa dapat bekerja kembali di KPK pada 6 Mei 2020. Pembatalan surat keputusan tersebut dilakukan berdasarkan Surat Kepala Polri pada 3 Maret 2020 perihal Tanggapan Atas Pengembalian Penugasan Anggota Polri di Lingkungan KPK. Rossa dapat bekerja kembali di KPK hingga 23 September 2020.