Pemanfaatan teknologi membuat DPR tetap dapat berfungsi di tengah pandemi Covid-19. Namun, ada keraguan legalitas di dalamnya. Plus, ruang berpendapat jadi terbatas, juga pengawasan publik.
Oleh
RINI KUSTIASIH/NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 memaksa perubahan cara kerja yang tidak lagi mengharuskan kehadiran fisik. Tak terkecuali di Dewan Perwakilan Rakyat. Sepanjang masa persidangan ketiga DPR 2019-2020, 30 Maret-12 Mei 2020, atau pascawabah Covid-19 merebak di Tanah Air, 150 rapat virtual telah digelar.
Dalam metode rapat yang baru itu, hanya beberapa pemimpin alat kelengkapan Dewan (AKD) dan anggota DPR yang harus hadir secara fisik di ruang-ruang AKD di Kompleks Parlemen, Jakarta. Adapun puluhan anggota AKD lainnya diminta untuk mengikuti rapat secara virtual.
Untuk melegalkan rapat virtual itu, DPR merevisi Tata Tertib DPR di awal masa persidangan ketiga. Hasil revisi yang salah satunya mengakomodasi rapat virtual sebagai metode rapat di DPR itu tertuang dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
Rapat virtual jadi solusi agar fungsi DPR tetap berjalan sekalipun di tengah wabah Covid-19. Fungsi pengawasan, legislasi, dan anggaran yang dimiliki DPR dibutuhkan tetap berjalan guna menopang jalannya pemerintahan.
Jadilah selama masa persidangan ketiga rapat-rapat virtual AKD dengan mitra kerja di pemerintah digelar untuk mengawal program pemerintah. Begitu pula untuk penyusunan rancangan undang-undang.
Sejumlah keputusan penting diambil pula. Salah satunya persetujuan DPR atas penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 menjadi UU. Perppu yang diterbitkan pemerintah akhir Mei itu mengatur soal kebijakan keuangan negara dalam penanganan pandemi Covid-19. Selain itu, persetujuan pengesahan RUU Pertambangan Mineral dan Batubara.
Legalitas rapat virtual
Sekalipun rapat-rapat virtual itu berjalan mulus, keraguan akan keabsahan dari rapat tersebut terus membayangi.
Pasalnya, UU No 12/ 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU No 13/2019 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD mengharuskan kehadiran fisik anggota DPR dalam rapat yang membahas UU atau dalam pengambilan keputusan. Dengan arti kata lain, Tatib DPR terbaru yang dijadikan payung hukum rapat virtual berpotensi melanggar kedua UU tersebut.
Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Negeri Jember Bayu Dwi Anggono mengemukakan hal itu.
Menurut Bayu, Tatib DPR merupakan peraturan internal yang substansinya seharusnya mengacu pada aturan yang lebih tinggi, dalam hal ini UU No 12/2011 dan UU No 13/ 2019. Maka, jika ingin rapat virtual jadi salah satu metode rapat DPR, kedua UU itu mesti direvisi terlebih dulu.
”Jika tidak, pembahasan UU secara virtual, termasuk pengambilan keputusannya, berpotensi cacat formil pada UU yang dihasilkan,” katanya.
Implikasinya, produk UU yang dihasilkan DPR berisiko digugat dan dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Begitu pula keputusan-keputusan DPR, rawan digugat ke pengadilan.
Namun, keraguan itu coba dipatahkan oleh Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Netty Prasetiyani. Ia melihat pengaturan rapat virtual dalam Tatib DPR sudah kuat dan sah. Begitu pula menurut anggota DPR dari Fraksi PDI-P, Arif Wibowo. Ia menambahkan, situasi pandemi memaksa DPR untuk menggelar rapat virtual.
Ruang anggota DPR
Meski yakin keabsahan rapat virtual tak perlu diragukan, mereka memandang ada kelemahan dari rapat virtual.
Menurut Arif, tak jarang saat rapat, koneksi internet tiba-tiba terputus sehingga mengganggu jalannya rapat. Kemudian ruang bertanya, berpendapat, atau berdebat anggota DPR juga terbatas.
”Betapapun rapat secara langsung akan menghasilkan keputusan yang lebih maksimal,” kata Wakil Sekretaris Jenderal PDI-P itu.
Adapun Netty kangen dengan ruang berdiskusi secara langsung di antara anggota DPR atau dengan mitra kerja di pemerintah setiap kali rapat secara fisik tuntas digelar. Kini dengan rapat virtual, ruang berdiskusi itu hilang.
”Begitu selesai rapat, selesai pula pendalaman dan diskusi. Padahal, adakalanya anggota perlu mempertajam dalam suasana informal sebelum atau setelah rapat berakhir. Sering kali justru diskusi informal memberi kesempatan kepada mitra lebih terbuka,” katanya.
Dari sisi publik, pembahasan RUU secara virtual pun dikhawatirkan akan membuat masukan publik tak semuanya bisa didengar. Padahal, UU No 12/2011 mengamanatkan pentingnya partisipasi publik dalam setiap pembahasan peraturan perundang-undangan.
Ambil contoh RUU Cipta Kerja. ”Pembahasan secara daring tak akan memadai untuk membahas RUU Cipta Kerja yang demikian kompleks. Berapa orang yang dapat dimintai pendapatnya melalui virtual, sementara RUU ini mencakup spektrum yang sangat luas dan dibutuhkan pembahasan mendalam dengan membuka partisipasi publik seluas-luasnya. Hal itu kecil kemungkinan dapat optimal dengan rapat virtual,” kata Khairul Fahmi, pengajar hukum tata negara dari Universitas Andalas.
Selain itu, mekanisme pengawasan publik juga terbatas. Tatib DPR yang baru mewajibkan setiap rapat yang dinyatakan terbuka untuk publik bisa diakses publik melalui siaran langsung TV Parlemen, televisi internal yang dikelola Biro Pemberitaan DPR. Pihak Sekretariat Jenderal DPR juga memanfaatkan sejumlah medsos untuk lebih luas menyiarkan rapat-rapat di DPR.
Namun, gangguan internet dan kendala teknis, seperti suara yang tak keluar saat siaran langsung, kerap mengganggu akses publik terhadap rapat-rapat di DPR. Ini termasuk wartawan. Alhasil, setiap kali kendala teknis muncul, wartawan harus cepat-cepat menghubungi Biro Pemberitaan DPR supaya masalah bisa teratasi. Kalau tidak, substansi rapat tak akan dapat diterima dengan baik dan imbasnya publik yang dirugikan.