Melemahnya Pemberantasan Korupsi dan Peranan Sipil
Terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN serta penghapusan dwi fungsi ABRI atau TNI/Polri menjadi dua agenda yang dinilai melemah dalam 22 tahun peringatan Reformasi 1998. Apa solusinya?
JAKARTA, KOMPAS – Terciptanya pemerintah yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme atau KKN serta penghapusan dwi fungsi ABRI atau TNI/Polri menjadi dua agenda yang dinilai melemah dalam 22 tahun peringatan Reformasi 1998. Sempat antusias di awal reformasi, tetapi pada akhirnya seolah surut.
Melemahnya pemberantasan korupsi terjadi di antaranya disebabkan oleh hilangnya kemauan elit politik. Akademisi dan masyarakat sipil pun kemudian berpendapat revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi UU 19/2019 seolah seperti pembunuhan terhadap keberadaan KPK.
“Pertumbuhan ekonomi tanpa melihat efek samping pembajakan oleh elit yang korup. Ini mengkhianati amanat reformasi,” kata Manajer Penelitian dan Kampanye Transparancy International Indonesia Wawan Suyatmiko, baru-baru ini.
Selain revisi UU KPK, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo juga menyoroti proses pemilihan pimpinan KPK. Dua kebijakan yang dibuat dalam waktu berdekatan itu dinilainya merupakan kebijakan yang buruk, tertutup, menghilangkan partisipasi dan mengabaikan berbagai data.
Baca Juga: Jalan Terjal Memenuhi Janji Reformasi 1998
Adnan juga menilai, dua aktor utama yaitu politisi dan elit saling mendukung dalam dua kebijakan yang disebutnya mematikan KPK itu.
“Pertumbuhan ekonomi tanpa melihat efek samping pembajakan oleh elit yang korup. Ini mengkhianati amanat reformasi”
Koalisi pemerintah yang gemuk dinilainya berpeluang membuat kesepakatan bersama untuk mengamputasi KPK. Pasalnya, KPK melakukan penegakan hukum yang acak sehingga musuhnya semakin banyak. Menurut Adnan, ini jadi titik rawan KPK dan termanifestasi saat semua elemen kekuasaan sepakat menertibkan KPK yang dianggap mengganggu.
“Akan menjadi persoalan ketika komitmen politik lemah karena rongrongan para elit dan lembaganya pun melemah,” kata Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril. Dalam berbagai literatur pemberantasan korupsi, selain adanya lembaga yang kuat, juga perlu ada komitmen politik yang kuat dan regulasi yang memadai.
Indonesia memiliki beberapa regulasi yang cukup baik dan hanya perlu penyesuaian lebih lanjut. Akan tetapi, akhir-akhir ini Indonesia mulai kehilangan lembaga yang kuat dan komitmen politik dari para elit. Dalam berbagai studi dan disertasinya, Oce mengungkapkan, komitmen politik elit sangat dibutuhkan untuk membantu pemberantasan korupsi. Sebab, korupsi memiliki sejarah panjang di birokrasi Indonesia. Korupsi juga memiliki sejarah panjang di sistem ekonomi dan politik.
“Negara yang gagal memberantas korupsi karena gagal memanfaatkan momentum. Arus reformasi gagal memanfaatkan momentum karena tidak mempunyai komitmen politik dan lembaga yang kuat,” kata Oce.
Menurut Adnan, solusi untuk mencegah amanat reformasi agar tidak semakin kehilangan maknanya saat ini sulit dilakukan. Ia memperkirakan, akan ada satu pendulum yang suatu saat bisa menciptakan krisis besar. Terhadap negara, ia pesimistis karena banyak undang-undang yang dalam prosesnya tidak mengindahkan konstitusi sementara substansi dan prosesnya bermasalah.
Wawan yang melihat solusi ada di tangan para elit. Menurutnya, upaya pencegahan dan penegakan hukum terhadap korupsi harus berjalan seiring. Ketika upaya pencegahan korupsi dilakukan secara masif, maka penegakan hukum yang adil, transparan, dan akuntabel juga harus dilakukan untuk memenuhi komitmen dan harapan warga negara yang sudah gerah terhadap perilaku korup pejabatnya. “Solusinya, elit harus dipegang para negarawan yang ingin membangun untuk kesejahteraan rakyat, sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan amanat reformasi,” ujar Wawan.
Tak punya kesempatan
Sementara Oce melihat, cara untuk membawa pemberantasan korupsi ke jalur yang benar yakni dengan memperkuat KPK kembali. Sebab, dalam 20 tahun pascareformasi, telah terbukti bahwa lembaga yang kuat sangat dibutuhkan. Adnan berharap kepada Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan produk revisi UU KPK agar melahirkan keajaiban baru. “Semoga MK dapat mendengar hati nurani rakyat,” ujarnya.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menegaskan, kerja KPK bukan hanya diukur oleh seberapa banyak pelaku korupsi yang ditangkap dan penjarakan, tetapi sejauh mana para pejabat tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan korupsi. “Jangan didikotomikan kalau pencegahan diperkuat, maka penindakan melemah. Semuanya dikerjakan secara simultan,” kata Firli melalui pesan singkat di Jakarta, Senin (18/5/2020) lalu.
Terkait dengan kritik tentang melemahnya pemberantasan korupsi , Firli menganggap kritikan tersebut merupakan bentuk kepedulian kepada KPK. Terkait isu KPK lemah karena ada revisi UU KPK, menurut Firli, hal tersebut tidak terbukti. Sebab, tugas pokok bertambah, fungsi dan peran KPK tidak berkurang, begitu juga dengan kewenangan KPK tidak ada yang terkurangi.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Arteria Dahlan mengatakan, DPR tidak berniat untuk melemahkan KPK. Justru DPR ingin menguatkan kelembagaan KPK dengan memberikan jaminan kepastian hukum dari setiap upaya penegakan hukum yang dilakukannya. Saat ini bahkan KPK tidak melakukan festivalisasi penegakan hukum dan bekerja dalam hening. “KPK sebaiknya menangani kasus-kasus besar dengan potensi kerugian negara yang besar, tidak sekadar ratusan juta,” katanya.
Peran TNI/Polri
Terkait dengan kondisi keamanan, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani menikai, keterlibatan TNI dan Polri aktif di dalam pemerintahan dalam kondisi mengkhawatirkan. Sebab, hal itu akan berdampak pada mandeknya agenda reformasi keamanan, seperti revisi Undang-Undang tentang Peradilan Militer serta terciptanya TNI dan Polri yang profesional dan akuntabel.
Dampak buruk lainnya, menurut Yati, adalah melemahnya pemerintahan sipil karena ketergantungannya pada TNI dan Polri. Otoritas sipil tergantung pada TNI dan Polri dalam mengelola dinamika politik yang muncul maupun dalam pengelolaan birokrasi pemerintahan di berbagai sektor.
“(Ini karena) pemerintahan yang kompromistis. Hal ini terlihat dari pilihan-pilihan politik atau kebijakan yang dilakukan telah menyeret TNI dan Polri ke ranah sipil,” kata Yati. Hal ini mendorong Polri dan TNI semakin tidak netral dan tidak profesional.
Pengajar Ilmu Politik dari Universitas Paramadina Djayadi Hanan berpandangan, pihak sipil harus berbenah agar mampu menyelesaikan persoalan di ranah sipil sehingga tidak harus selalu melibatkan militer.
Dari sisi konsep tentang militer tidak mencampuri masalah politik, hal itu masih berada pada jalurnya. Meski demikian, Djayadi melanjutkan, kepolisian sampai saat ini belum betul-betul menjadi sipil. Sebab, struktur dan perilakunya masih militer. Hal itu dapat dilihat dari lembaga kepolisian yang berdiri sendiri dan bertanggung jawab kepada Presiden, sementara di negara lain kepolisian berada di bawah Kementerian Dalam Negeri. Demikian pula struktur kepangkatannya masih seperti militer.
“(Ini karena) pemerintahan yang kompromistis. Hal ini terlihat dari pilihan-pilihan politik atau kebijakan yang dilakukan telah menyeret TNI dan Polri ke ranah sipil”
Made Supriatma, Visiting Research Fellow, ISEAS - Yusof Ishak Institute, Singapura menilai, reformasi TNI gagal, demikian juga kegagalan mengontrol Polri. Kemunduran paling besar adalah reformasi terkait pemberanasan korupsi dan penggunaan alat-alat kekerasan seperti polisi dan militer sebagai alat politik. “Saya sering menyebutnya dwi fungsi kepolisian. Polri memang memperluas pengaruh politiknya saat ini,” kata Supriatma.
Baca Juga: Ganjalan Pascadua Dekade Reformasi
Untuk reformasi TNI, Supriatma melihat, masih adanya organisasi teritorial TNI AD dan masih terlibatnya TNI dalam bisnis lewat koperasi-koperasi menunjukkan mandeknya reformasi TNI. Menurutnya, organisasi teritorial TNI bisa menjadi pintu masuk kembalinya TNI dalam politik. Muhammad Haripin, peneliti LIPI mengatakan, agenda reformasi militer terhenti di tengah jalan karena pengesahan UU 34/2004 tentang TNI telanjur diartikan sebagai garis finis dari reformasi TNI. “Padahal UU ini harusnya jadi awal untuk meletakkan posisi TNI dalam sistem demokrasi,” kata Haripin.
Solusi yang disodorkan Haripin adalah penguatan kapasitas dan jaringan kalangan sipil sebagai aktor pengawas bagi para aktor keamanan lainnya mesti terus dilakukan.
Sementara Supriatma mengusulkan Polri yang didesentralisasi dan bertanggungjawab pada masing-masing kepala daerah. Untuk di pusat, Polri berada di bawah Kementerian Dalam Negeri.