Koalisi Masyarakat Sipil: Pilkada di Tengah Pandemi Pertaruhkan Keselamatan Publik
Masyarakat sipil menilai Pilkada 2020 di masa pandemi mempertaruhkan keselamatan publik dan kualitas pilkada. Namun, Ditjen Otda menekankan pilkada Desember 2020 agar daerah tak dipimpin pelaksana jabatan terlalu lama.
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Pemilu dan Demokrasi kecewa dengan keputusan Komisi II DPR, pemerintah, dan Komisi Pemilihan Umum yang tetap melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak pada Desember 2020. Dari berbagai tinjauan, memaksakan pilkada serentak di masa pandemi dianggap mempertaruhkan keselamatan publik dan kualitas pilkada.
Pernyataan sikap itu disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Pemilu dan Demokrasi, Kamis (28/5/2020). Ada sepuluh organisasi masyarakat sipil yang menyatakan sikapnya terhadap keputusan pelaksanaan pilkada serentak pada 9 Desember tahun ini.
Keputusan tetap menggelar pemilihan tahun ini diambil dalam rapat Komisi II DPR dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, dan pemerintah yang diwakili Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Rabu (27/5/2020).
Baca juga : Pilkada Tetap Digelar di Tengah Pandemi Covid-19
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta mengatakan, keputusan pemerintah, DPR, dan KPU untuk melaksanakan pilkada serentak 2020 bertentangan dengan asas keselamatan publik yang adalah hukum tertinggi di Indonesia. Melihat data sebaran dan penularan Covid-19 di Indonesia, saat ini kurvanya masih tinggi dan terus meningkat.
Data terbaru kasus Covid-19 di Indonesia pada 28 Mei 2020, tercatat 24.538 kasus positif atau meningkat 687 per hari dan 1.496 orang meninggal. Adapun mereka yang sembuh sebanyak 6.240 orang. Dengan kondisi tersebut, berlanjutnya tahapan pilkada 2020 pada pertengahan Juni berisiko tinggi. Sebab, paling tidak ada 10 kegiatan dalam tahapan pemilu yang menimbulkan berkumpulnya orang.
”Yang terjadi dalam RDPU kemarin adalah semacam pemaksaan bahwa pilkada harus dilaksanakan di 9 Desember 2020. Keputusan itu tidak dibarengi dengan data dan mitigasi penanggulangan yang baik. Akibatnya, kualitas pilkada dan demokrasi di Indonesia bisa terancam,” kata Kaka.
Sementara itu, Ketua Network for Indonesian Democratic Society (Netfid Indonesia) Dahliah Umar mengatakan, ada empat prinsip pemilu yang jujur dan adil dilanggar apabila pemilu dilaksanakan di masa pandemi Covid-19. Pertama, prinsip partisipasi penuh tanpa rasa ketakutan dan kekhawatiran. Ada banyak tahapan dalam pemilu, seperti tahapan pemutakhiran data pemilih dan verifikasi calon perseorangan, yang menimbulkan interaksi. Dalam tahapan tersebut, ada risiko keselamatan publik yang terancam.
Kedua, prinsip keadilan dalam kontestasi dan pertarungan juga dilanggar. Pilkada di masa pandemi akan merugikan calon nonpetahana sebab kampanye akan terbatas. Sebaliknya, calon petahana akan lebih diuntungkan karena sudah dikenal masyarakat. Calon petahana juga berpotensi memolitisasi dana bantuan sosial untuk kegiatan kampanye.
Ketiga, prinsip integritas dan kemampuan KPU dalam menyelenggaran pilkada serentak juga dipertaruhkan. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU dituntut melaksanakan pilkada dengan hasil dan legitimasi kuat. Namun, ketika pilkada dilakukan pada masa pandemi, KPU akan tertekan karena di satu sisi harus melindungi aparatnya dari bahaya pandemi. Di sisi lain, mereka tetap harus bekerja profesional mempersiapkan pemilu dengan protokol kesehatan ketat.
Semestinya KPU ada di garda terdepan untuk mendesak pelaksanaan pilkada berdasarkan aspek keselamatan publik dan kualitas demokrasi. KPU bisa menunda pilkada dengan persetujuan DPR dan pemerintah.
Terakhir, kata Dahliah, prinsip konsistensi terhadap aturan perundang-undangan juga dilanggar. Dalam Perppu No 2/2020 tentang Pilkada disebutkan bahwa syarat pemungutan suara Desember 2020 adalah setelah bencana non-alam selesai. Namun, faktanya, di saat kurva penularan Covid-19 masih tinggi, para pemangku kepentingan membuat keputusan kontradiktif. Mereka tetap memutuskan pilkada digelar Desember meskipun situasi yang dihadapi tidak pasti.
”Semestinya KPU ada di garda terdepan untuk mendesak pelaksanaan pilkada berdasarkan aspek keselamatan publik dan kualitas demokrasi. KPU bisa menunda pilkada dengan persetujuan DPR dan pemerintah,” kata Dahliah.
Politisasi anggaran
Peneliti Senior Indonesia Budget Center Arif Nur Alam mengingatkan bahwa dari kacamata politik anggaran, pilkada serentak pada Desember 2020 akan sangat menguntungkan calon petahana. Sebab, ada dana sekitar Rp 110 triliun dalam program jaring pengaman sosial yang berpotensi dipolitisasi.
Program jaring pengaman sosial itu diberikan kepada masyarakat miskin dan rentan miskin serta disalurkan pemda melalui dana non-APBD serta dana desa. Alokasi itu di antaranya berada pada Kartu Sembako Rp 43,6 triliun, Program Keluarga Harapan Rp 37,41 triliun, Kartu Prakerja Rp 20 triliun, dan bantuan tunai untuk warga di luar Jabodetabek Rp 16,2 triliun.
”Bantuan itu disalurkan mulai April hingga Desember di mana waktunya beririsan dengan penyelenggaraan pilkada serentak 2020. Ini sangat berpotensi dipolitisasi,” kata Arif.
Selain itu, sejumlah aturan yang dibuat kementerian seperti realokasi dana pengarusutamaan penanganan Covid-19 bisa menguntungkan calon petahana. Melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No 2/2020, misalnya, diatur tentang penggunaan belanja tak terduga, pembiayaan, dan uang kas daerah untuk antisipasi dan penanganan Covid-19.
Sementara itu, Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi No 6/2020 mengatur tentang bantuan langsung tunai (BLT) dan pembentukan komunitas desa tanggap Covid-19. Selain dana yang bersumber dari negara, bantuan dari luar, baik personal maupun perusahaan, juga berpotensi dipolitisasi. Sebab, di daerah, politisasi bansos dengan menempelkan stiker dan menjadi kampanye terselubung sudah terjadi.
”BLT, perubahan APBD akan menjadi panggung bagi petahana. Ini memberikan catatan bahwa apakah prinsip kompetisi yang adil dilakukan dalam demokrasi dalam pilkada 2020?” kata Arif.
Pernyataan sikap dari koalisi masyarakat sipil ini akan dikumpulkan dan dirumuskan langkah konkret yang akan diambil. Mereka mengakui proses advokasi aspirasi dalam penundaan pilkada 2020 ini terkendala di masa pandemi. Protes melibatkan massa tidak bisa dilakukan karena terhalang aturan pembatasan sosial berskala besar. Berbagai upaya akan tetap ditempuh, seperti lobi-lobi internal serta petisi daring yang digalang melalui laman daring Change.org.
Namun, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik mengatakan, seluruh aspirasi masyarakat, termasuk masyarakat sipil, sudah diserap pemerintah. Namun, di tengah masa pandemi yang tidak bisa diprediksi kapan akan berakhir karena belum ditemukan vaksin, pemerintah harus mengambil keputusan.
Keputusan itu, katanya, juga didukung oleh surat dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Karena keputusan sudah dibuat, Akmal meminta kepada semua pihak agar mendukung kelanjutan pilkada dengan mengutamakan keselamatan masyarakat.
”Dari kacamata Ditjen Otda, pilkada tetap harus dilaksanakan Desember 2020 karena kami tidak mau daerah dipimpin pelaksana jabatan terlalu lama. Jika pilkada dilaksanakan Desember 2020, pelaksana jabatan hanya bertugas sampai Maret sehingga dia tidak harus melalui pengambilan keputusan terlalu banyak di daerah,” kata Akmal.
Ketua Komisi Pemilihan Umum Arief Budiman menambahkan, keputusan sudah diambil sehingga KPU tidak bisa lagi mundur. KPU memiliki sisa waktu sekitar 15 hari untuk merampungkan Peraturan KPU tentang Tahapan Pemilihan Serentak 2020, menyusun usulan tambahan anggaran, dan melakukan sosialisasi PKPU ke daerah.
KPU sudah memiliki target waktu yang harus dicapai sehingga proses dan tahapan pemilu yang singkat tidak terganggu. Rancangan PKPU, misalnya, sudah disetujui Komisi II DPR dan segera diundangkan di Kementerian Hukum dan HAM.
Jika proses berjalan lancar, KPU harus segera memulai proses sosialisasi aturan baru tersebut. Demikian juga dengan alokasi anggaran, harus segera disetujui pemerintah dan DPR sehingga ada kepastian pelaksanaan tahapan pilkada dengan protokol kesehatan.
”Mudah-mudahan di masa sulit ini KPU dapat bersama-sama mewujudkan pemilu sesuai dengan prinsip penyelenggaraan yang baik,” kata Arief.