KPK: Terbuka Kemungkinan Nurhadi Dijerat dengan Pasal Pencucian Uang
KPK membuka opsi menjerat Nurhadi dengan pasal pencucian uang selain pasal suap dan gratifikasi. Tak cukup hanya itu, penangkapan Nurhadi juga diharapkan membongkar dugaan mafia peradilan.
Oleh
Prayogi Dwi Sulistyo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi membuka kemungkinan menerapkan pasal pencucian uang kepada bekas Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi selain menjeratnya dengan pasal suap dan gratifikasi. Pasal pencucian uang akan diterapkan jika KPK menemukan bukti yang cukup bahwa Nurhadi menyembunyikan aset-aset korupsinya dalam bentuk lain.
”Itu sangat terbuka untuk dikembangkan ke TPPU (tindak pidana pencucian uang). Kalau ternyata dugaan hasil tindak pidana korupsinya kemudian dilakukan proses penyamaran, penyembunyian, ataupun apa pun caranya yang dilakukan untuk menyamarkan asal-usul hartanya yang berasal dari korupsi kemudian diproses supaya tidak kelihatan, maka itu bagian dari TPPU,” ujar Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam jumpa pers, di Jakarta, Selasa (2/6/2020).
Setelah menjadi buronan sejak 13 Februari 2020, Nurhadi ditangkap KPK pada Senin (1/6/2020) sekitar pukul 21.30. Ghufron mengatakan, tim KPK menangkap Nurhadi di sebuah rumah di Jalan Simprug Golf, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
”Sekitar pukul 18.00, tim penyidik KPK mendapat informasi dari masyarakat mengenai keberadaan dua tersangka yang berstatus DPO (daftar pencarian orang) tersebut,” katanya.
Dengan berbekal surat perintah penangkapan dan penggeledahan, penyidik KPK mendatangi rumah yang menjadi tempat persembunyian Nurhadi. Awalnya tim KPK bersikap persuasif dengan mengetuk pagar rumah, tetapi tidak dihiraukan. Kemudian, didampingi ketua RW dan pengurus RT setempat, penyidik KPK membongkar kunci pintu gerbang dan pintu rumah tersebut.
Setelah penyidik KPK berhasil masuk ke rumah itu, Nurhadi ditangkap di salah satu kamar, sedangkan Rezky Herbiyono, menantu Nurhadi yang juga berstatus buron dan tersangka dalam kasus yang sama dengan Nurhadi, ada di kamar lain. Keduanya pun langsung dibawa ke kantor KPK.
Selain kedua tersangka, KPK juga mengamankan istri Nurhadi, Tin Zuraida. Tin menjadi saksi dalam kasus yang melibatkan Nurhadi. Ia sudah dua kali mangkir dari panggilan pemeriksaan oleh KPK.
Nurhadi dan Rezky ditangkap terkait pengurusan perkara di MA tahun 2011-2016. Perkara ini merupakan pengembangan operasi tangkap tangan pada 20 April 2016 di Jakarta. Dalam operasi tangkap tangan tersebut, KPK telah menetapkan empat tersangka, yaitu panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution, Presiden Komisaris Lippo Group Eddy Sindoro, perantara suap Doddy Ariyanto Supeno, dan Lucas.
Nurhadi dan Rezky diduga menerima hadiah dalam pengurusan perkara perdata PT MIT melawan PT KBN (Persero) sekitar Rp 14 miliar. Selain itu, kedua tersangka juga menerima uang dalam perkara perdata sengketa saham di PT MIT sekitar Rp 33,1 miliar dan gratifikasi terkait dengan perkara di pengadilan sekitar Rp 12,9 miliar.
KPK memasukkan Nurhadi, Rezky, dan Direktur PT MIT Hiendra Soenjoto dalam DPO sejak Februari 2020. Saat ini, KPK masih memburu Hiendra. ”Kepada tersangka HS dan seluruh tersangka KPK yang masih dalam status DPO, kami ingatkan untuk segera menyerahkan diri kepada KPK,” kata Ghufron.
Nurhadi dan Rezky disangkakan melanggar Pasal 12 Huruf a atau Pasal 12 Huruf b subsider Pasal 5 Ayat (2) lebih subsider Pasal 11 dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Kembangkan kasus Nurhadi
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan, permasalahan ini tidak bisa dipandang selesai dengan hanya menangkap kedua buronan tersebut. ICW mendorong KPK untuk mengembangkan dugaan pencucian uang yang dilakukan Nurhadi. Selain itu, KPK pun harus menggali potensi keterlibatan Nurhadi dalam perkara lain.
ICW juga meminta KPK menelusuri keberadaan pihak lain yang diduga terkait dengan Nurhadi, seperti sopir Nurhadi, Royani; ajudan Nurhadi; dan anak Nurhadi, Rizqi Aulia Rahmi. ”KPK juga harus mengenakan obstruction of justice (menghalangi penegakan hukum) bagi pihak-pihak yang membantu pelarian Nurhadi,” ucap Kurnia.
Direktur Legal Culture Institute M Rizqi Azmi mengatakan, kasus Nurhadi merupakan pintu masuk kasus penelusuran dugaan mafia peradilan yang melibatkan jaringan besar di dunia peradilan, yakni hakim, panitera, dan pegawai di MA sampai pengadilan negeri. Karena itu, KPK didorong agar menelusuri kasus itu secara detail guna menemukan jejaring keterlibatan pihak lain.