Penolakan RUU HIP Menguat
Penolakan dari publik terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang diinisiasi oleh DPR kian menguat. Kali ini penolakan lahir dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
JAKARTA, KOMPAS — Penolakan dari publik terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila atau RUU HIP yang diinisiasi oleh DPR kian menguat. Kali ini penolakan lahir dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Selain draf rancangan regulasi itu dipandang bukan kebutuhan publik yang mendesak harus dipenuhi saat ini, banyak materi di dalamnya yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan sejumlah undang-undang, terutama Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam pernyataan resminya, Senin (15/6/2020), Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah meminta DPR untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU HIP.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, Senin, mengatakan, rumusan Pancasila sebagai dasar negara disebutkan di dalam Pembukaan UUD 1945. Posisi Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum juga diatur di dalam UU No 12/2011. Oleh karena itu, Pancasila merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan.
”Pancasila dengan sila-sila yang ada di dalamnya mengandung nilai-nilai fundamental yang tidak dapat dan tidak seharusnya diubah atau ditafsirkan ulang karena berpotensi menyimpang dari maksud dan pengertian yang sebenarnya serta melemahkan kedudukan Pancasila sebagai dasar negara,” katanya.
Baca juga : Ormas Islam Tolak RUU HIP
Menurut Mu’ti, jika pembahasan dilanjutkan, hal itu berpotensi menimbulkan kontroversi yang kontraproduktif serta membuka kembali perdebatan dan polemik ideologis dalam sejarah perumusan Pancasila yang sudah berakhir dan harus diakhiri setelah tercapai kesepakatan luhur, arif, dan bijaksana dari para pendiri bangsa.
”Kontroversi RUU HIP akan menguras energi bangsa dan bisa memecah belah persatuan, lebih-lebih di tengah negara dan bangsa Indonesia menghadapi pandemi Covid-19 yang sangat berat dengan segala dampaknya. Tujuan undang-undang adalah untuk menciptakan tertib sosial, kedamaian, kesejahteraan, perlindungan, dan kepastian bagi setiap warga negara, bukan sebaliknya,” ungkapnya.
Muhammadiyah, antara lain, juga menyoroti tidak dicantumkannya TAP MPRS No XXV Tahun 1966 di dalam konsideran draf RUU HIP tersebut. Padahal, dalam TAP MPRS tersebut pada poin (a) tentang bagian menimbang secara jelas menyatakan, ”Bahwa paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme pada inti hakikatnya bertentangan dengan Pancasila”.
Demikian halnya dengan pemahaman Pancasila yang dapat diperas menjadi trisila dan ekasila sebagaimana disebutkan di dalam draf RUU HIP, menurut Muhammadiyah, sama dengan mereduksi Pancasila sebagai rumusan final pada 18 Agustus 1945 serta mengundang kontroversi dengan mengabaikan Piagam Jakarta 22 Juni 1955 sebagai satu kesatuan rangkaian proses kesejarahan.
”Kontroversi akan berkembang jika trisila dan ekasila maupun ketuhanan yang berkebudayaan dimasukkan dengan alasan historis, maka tujuh kata dalam Piagam Jakarta juga dapat dimasukkan ke dalam pasal RUU HIP dengan alasan historis yang sama,” ucap Mu’ti.
Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi Universitas Negeri Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, Pancasila merupakan materi yang penting dan mendasar untuk diketahui, dihayati, dan diamalkan oleh seluruh komponen bangsa. Upaya negara membudayakan dan mengimplementasikan Pancasila, termasuk mengatur aspek kelembagaan, yakni dengan adanya Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), dapat saja dilakukan.
Namun, terdapat sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh RUU HIP agar tidak terkesan menurunkan derajat status kedudukan Pancasila sebagai norma dasar negara (grund norm) atau norma fundamental negara (staatfundamental norm) yang kedudukannya di atas UUD 1945 menjadi berkedudukan setingkat undang-undang.
”Syaratnya, RUU HIP hanyalah mengatur strategi internalisasi Pancasila dalam pengambilan kebijakan atau pembentukan peraturan perundang-undangan oleh lembaga-lembaga negara, kemudian berbicara strategi pendidikan karakter berbasis Pancasila dikembangkan baik pendidikan formal maupun informal serta bagaimana kedudukan, organisasi, tugas, dan wewenang kelembagaan yang bertanggung jawab melakukan pembudayaan ideologi Pancasila, termasuk jaminan pendanaan dan partisipasi publik dalam pembudayaan Pancasila,” tuturnya.
Mengingat RUU HIP sangat terkait dengan kepentingan berbagai golongan dan aliran politik dalam masyarakat, menurut Bayu, pembahasannya harus dilakukan terbuka, dialogis, dan partisipatif dengan membuka peluang perbaikan terhadap naskah yang ada.
”Selain itu, sebaiknya pembahasannya tidak terburu-buru, tetapi terus memperluas dan memperlebar ruang masukan dari segenap elemen masyarakat,” katanya.
Baca juga : Penjabaran Pancasila di UU Dianggap sebagai Kekeliruan
Dinamika pembahasan
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi memastikan, DPR selaku pengusung RUU tersebut akan mendengarkan masukan dari publik.
Namun, saat ini, pembahasan lebih lanjut terkait RUU HIP belum dilakukan karena masih menunggu daftar inventarisasi masalah (DIM) dari pemerintah. ”Saat ini kami menunggu DIM dari pemerintah. Kalau pemerintah tidak mau melanjutkan, ya, RUU itu tidak akan dibahas. Kalau pemerintah mau melanjutkan, ya, kami akan menampung masukan dari masyarakat sebab ini menyangkut isu yang sensitif,” ujar Baidowi.
Baidowi mengatakan, saat pembahasan di dalam panitia kerja (panja) yang merumuskan RUU HIP, banyak usulan dan masukan dari sejumlah fraksi. Ia pun mengonfirmasi adanya masukan dari fraksi-fraksi agar TAP MPRS No XXV Tahun 1966 itu dicantumkan sebagai konsideran.
Dalam rapat panja, 22 April 2020, misalnya, ada catatan dari Fraksi PPP, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menginginkan agar TAP MPRS tersebut dicantumkan sebagai konsideran. Adapun saat rapat paripurna, 12 Mei 2020, dua fraksi, yaitu PKS dan Nasdem, mengajukan interupsi khusus terkait permintaan untuk mencantumkan TAP MPRS tersebut sebagai konsideran.
”Ada dinamika dan perdebatan soal itu di dalam fraksi-fraksi di DPR. Jadi, fraksi-fraksi juga sudah meminta itu untuk dimasukkan sebagai konsideran. Dengan adanya masukan dari masyarakat, tentu itu akan didengarkan dan diperhatikan saat dilakukan pembahasan dengan pemerintah,” katanya.
Alasan DPR menginisiasi RUU HIP itu, menurut Baidowi, untuk mengatur operasionalisasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selama ini, belum ada aturan yang jelas tentang bagaimana operasionalisasi Pancasila itu dilakukan. ”Kalau dulu zaman Orba ada P4. Tetapi, kami tidak mau membuat yang seperti itu. Kami ingin membuatnya lebih longgar,” ujarnya.