DPR mendesak pemerintah segera mencairkan anggaran Pilkada 2020 tahap pertama paling lambat akhir Juni. Jika anggaran tak segera dicairkan, pilkada diusulkan ditunda lagi. Namun, hal itu ditolak karena kurang arif.
Oleh
RINI KUSTIASIH DAN NIKOLAUS HERBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat mendesak pemerintah segera mencairkan anggaran Pilkada 2020 tahap pertama paling lambat akhir Juni ini. Jika tidak segera ada pencairan anggaran yang dapat digunakan oleh penyelenggara di lapangan, nasib kelanjutan tahapan pilkada berada di dalam ketidakpastian. Muncul usulan agar pilkada lanjutan sebaiknya kembali ditunda apabila pemerintah tidak konsisten mencairkan anggaran tepat pada waktunya.
Desakan untuk segera mencairkan anggaran itu muncul dari kesimpulan rapat kerja antara Komisi II DPR dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Kamis (25/6/2020) di Jakarta. Rapat yang dipimpin Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia itu dihadiri oleh Ketua KPU Arief Budiman dan Ketua Bawaslu Abhan.
Kondisi ketidakpastian tahapan pilkada itu di depan mata karena, hingga Kamis siang, anggaran yang dialokasikan untuk pilkada di 270 daerah belum juga cair. Padahal, tahapan pilkada telah berlangsung sejak 15 Juni 2020. KPU juga memundurkan tahapan verifikasi faktual dukungan calon perseorangan, yang semula dilakukan pada 18 Juni menjadi 24 Juni, dengan tujuan agar dapat paralel dengan waktu pencairan anggaran. Pada kenyataannya, hingga Kamis, anggaran itu tidak kunjung diterima oleh KPU di daerah dan satuan kerja (satker) KPU lainnya sehingga tidak dapat digunakan untuk menjalankan tahapan.
”Terus terang kami risau. Saya sudah memerintahkan dalam rapat koordinasi dengan KPU daerah agar tidak melakukan kegiatan yang bertemu dengan banyak pihak tanpa menggunakan alat perlindungan diri (APD),” kata Arief.
Terus terang kami risau. Saya sudah memerintahkan dalam rapat koordinasi dengan KPU daerah agar tidak melakukan kegiatan yang bertemu dengan banyak pihak tanpa menggunakan alat perlindungan diri.
Laporan dari sejumlah daerah juga menunjukkan akibat fatal dari keterlambatan pencairan anggaran tersebut. Di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, menurut Arief, kantor KPU dirusak oleh pendukung salah satu calon karena tahapan verifikasi faktual belum bisa dijalankan lantaran tidak ada APD dan anggaran untuk melanjutkannya.
”Kantornya dirusak karena KPU tidak bisa memulai tahapan pada 24 Juni. Mereka belum rapid test, belum ada APD, sehingga ditunda. Akibatnya, calon tidak puas, dan beberapa orang merusak kantor KPU,” katanya.
Dari kondisi di lapangan, menurut Arief, pencairan anggaran yang tidak tepat waktu bisa berdampak fatal. Selain itu, kelanjutan tahapan pilkada juga menjadi tidak jelas. Sebab, tahapan pilkada ketika sudah ditetapkan dan dijalankan tidak bisa dilompati atau dilewati. Tahapan pilkada sebagai sebuah rangkaian proses kegiatan yang simultan harus bergerak sesuai dengan jadwal. Ketika ada satu tahapan ditunda, tahapan selanjutnya tidak dapat dilakukan.
Sebelumnya, dalam rapat kerja gabungan antara pemerintah, KPU dan Bawaslu, serta DPR, 11 Juni 2020, disepakati pemberian dana bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Rp 1,02 triliun untuk tahap pertama (Juni). KPU ketika itu meminta agar anggaran dicairkan sebelum 15 Juni sebab tahapan dijadwalkan mulai pada tanggal tersebut.
Namun, karena menilai pencairan dana itu memerlukan waktu, tahapan terdekat yang memerlukan petugas untuk turun ke lapangan, yakni verifikasi faktual dukungan calon perseorangan, 18 Juni, akhirnya diputuskan untuk mundur pada 24 Juni. Namun, hingga 25 Juni, dana itu juga belum cair di rekening satker KPU.
Terkait prosedur pencarian, Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Jenderal KPU Nanang Priyatna mengatakan, sejak 19 Juni, posisi akhir pencairan itu masih dalam proses pengunggahan ke Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN). ”Dari hasil pemantauan teman-teman di perencanaan sudah ada angka, tetapi masih belum bisa diunduh oleh satker. Ini semua terkait dengan aplikasi sehingga sudah tahu kalau masuk, tetapi belum bisa di-download. Artinya, belum masuk ke dipa satker sehingga belum bisa dieksekusi. Anggaran itu ada, tetapi belum bisa digunakan,” paparnya.
Usulan penundaan muncul
Usulan untuk menunda pilkada pun muncul dari anggota Dewan yang menilai pemerintah tidak berkomitmen dalam pencairan anggaran untuk pilkada. Dalam pembuatan kesimpulan rapat, sejumlah anggota menginginkan agar pilkada ditunda atau mengusulkan pemecatan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Sebaiknya diberi batas waktu sampai kapan KPU bisa memberikan toleransi itu supaya pilkada masih bisa dilakukan. Kalau sudah lewat dari batas waktu itu, sebaiknya pilkada ditunda saja.
Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Johan Budi, mengatakan, pemerintah seolah-olah tidak serius dengan penyelenggaraan pilkada karena dana tidak segera cair. ”Sebaiknya diberi batas waktu sampai kapan KPU bisa memberikan toleransi itu supaya pilkada masih bisa dilakukan. Kalau sudah lewat dari batas waktu itu, sebaiknya pilkada ditunda saja,” katanya.
Arief mengatakan, beberapa daerah cukup responsif untuk membantu KPU dalam pengadaan APD di daerah. Akan tetapi, ada daerah-daerah lain yang kurang responsif. Oleh karena itu, KPU meminta dukungan dari Komisi II DPR agar segera ada realisasi pencarian anggaran dalam waktu dekat ini. ”Kalau kami ditanya batas waktunya, kami berharap 26 Juni ini sudah bisa cair sebab teman-teman sudah bergerak di lapangan,” katanya.
Selain dana dari pusat belum turun, di sisi lain kendala juga ditemui di dalam pencairan naskah perjanjian dana hibah (NPHD). Kementerian Dalam Negeri diharapkan dapat bertindak arif dalam mengatasi persoalan anggaran yang dihadapi oleh pemerintah daerah saat ini. Pencairan dana naskah perjanjian hibah daerah untuk Pilkada 2020 mengalami keterlambatan karena kapasitas fiskal daerah sedang tertekan akibat pandemi Covid-19.
Berdasarkan data Kemendagri, per 24 Juni 2020 masih ada 32 pemda yang nilai transfernya ke KPU belum 40 persen. Adapun untuk Bawaslu masih ada 30 pemda.
Kalau misal gara-gara uang dan mereka diberhentikan sementara, itu tidak arif. Itu akan menimbulkan gejolak di daerah, apalagi daerah sedang fokus penanganan Covid-19, pilkada pula. Pasti akan menimbulkan kestidakstabilan di daerah.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan menambahkan, penerapan sanksi kepada kepala daerah yang telat mencairkan NPHD harus dipertimbangkan secara bijak agar tidak menimbulkan gejolak di daerah. Apalagi, penerapan sanksi itu bisa sampai pada pemberhentian kepala daerah.
”Kalau misal gara-gara uang dan mereka diberhentikan sementara, itu tidak arif. Itu akan menimbulkan gejolak di daerah, apalagi daerah sedang fokus penanganan Covid-19, pilkada pula. Pasti akan menimbulkan kestidakstabilan di daerah,” ujar Djohan
Sebelumnya, Kemendagri mengingatkan pemda bahwa pilkada termasuk kebijakan strategis atau prioritas nasional. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, jika tak turut menyukseskan agenda prioritas nasional, pemda bisa dijatuhi sanksi. Di Pasal 68 UU Pemda disebutkan, kepala daerah yang tidak mengikuti program strategis nasional dapat dikenai sanksi, mulai dari teguran tertulis hingga pemberhentian.
Daerah-daerah tersebut dianggap tidak mematuhi Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pendanaan Kegiatan Pilkada yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Di dalam aturan tersebut, pencairan anggaran pilkada tahap pertama, paling sedikit 40 persen dari nilai NPHD, harus dicairkan paling lama 14 hari kerja setelah penandatanganan NPHD. NPHD di total 270 daerah yang menggelar Pilkada 2020 telah ditandatangani pada Oktober 2019.