Evaluasi penyebab Joko Tjandra yang buron sejak 2009 bisa tak terdeteksi mendaftarkan PK di PN Jaksel menjadi pekerjaan rumah penegak hukum. Renggangnya koordinasi jadi catatan.
JAKARTA, KOMPAS— Masuknya Joko Tjandra, narapidana kasus pengalihan hak tagih utang Bank Bali yang buron sejak 2009, ke Indonesia tanpa terdeteksi harus ditelusuri serius penegak hukum. Lemahnya koordinasi lintas instansi ditengarai membuat buronan kelas kakap melenggang bebas.
Koordinasi dan pertukaran informasi yang cepat dan terokestrasi antarinstansi terkait menjadi keniscayaan untuk mengejar buronan kakap. Sebab, mereka punya jaringan, sumber daya dan informasi memadai. Apalagi, Joko hanya satu dari sekian banyak buronan kelas kakap yang belum tertangkap.
Kepastian masuknya Joko ke Indonesia disampaikan ketua tim kuasa hukum Joko, Andi Putra Kusuma, dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (1/7/ 2020). Dia mengatakan telah bertemu Joko pada 8 Juni saat mendaftarkan peninjauan kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Menurut Andi, saat itu Joko terlihat sehat.
”Saya kurang tahu (Joko) tiga bulan di Indonesia atau tidak. Saya hanya tahu beliau ada di Indonesia pada saat pendaftaran PK tanggal 8 Juni. PK tersebut didaftarkan sendiri oleh Joko di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,” tutur Andi.
Namun, pada sidang perdana 29 Juni, Joko tak hadir. Menurut Andi, kliennya sakit berdasarkan surat dokter dari salah satu klinik di Kuala Lumpur, Malaysia. Menurut Andi, dia tak tahu di mana kliennya kini berada dan juga tidak tahu proses masuknya Joko ke Indonesia.
Sebelumnya, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menyebut Joko kembali ke Indonesia sejak tiga bulan lalu. Sementara itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly menyatakan, sistem keimigrasian tidak menemukan data masuknya buronan kasus pengalihan hak tagih utang atau cessie PT Bank Bali tersebut ke Indonesia (Kompas, 1/7/2020).
Dari arsip Kompas, Joko diketahui pergi ke Papua Niugini pada 10 Juni 2009 malam, sehari sebelum Mahkamah Agung memvonis Joko 2 tahun penjara, 11 Juni 2009.
Sebelum Joko, berdasarkan catatan Kompas, buronan Komisi Pemberantasan Korupsi, Harun Masiku, juga lolos dari data perlintasan Imigrasi, awal 2020. Saat itu, Imigrasi menyebutkan ada problem pada sistem keimigrasian mereka.
Persoalan koordinasi
Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sigit Riyanto mengatakan, penangkapan Joko Tjandra sebenarnya bukan persoalan sulit. Apalagi, Joko pernah mendaftarkan PK di PN Jakarta Selatan. ”Informasi itu pengacaranya tahu, masa negaranya tak tahu. Jadi tanda tanya. Harusnya sangat bisa diselesaikan kasus seperti ini,” kata Sigit.
Menurut dia, kasus buronan yang bisa bergerak bebas terjadi akibat lemahnya koordinasi antarinstitusi. Sebab, seharusnya perlintasan buron itu tercatat jelas di sistem keimigrasian. Selain itu, kejaksaan dan kepolisian seharusnya memiliki informasi kuat tentang mereka yang tersangkut hukum.
Jika kasus itu sudah sampai di pengadilan, orang tersebut seharusnya dalam pengawasan aparat hukum.
Apalagi, kata Sigit, ada rantai kendali kepolisian-kejaksaan dengan Imigrasi. Negara pun, katanya, memiliki Badan Intelijen Negara sehingga segala informasi seharusnya tersedia. Semua, kata Sigit, kembali ke kemauan politik.
Upaya menangkap buron yang bermodus lintas batas, kata Sigit, harus dihadapi bersama-sama. Semua institusi harus bisa bergerak dengan satu kendali. Sebab, buron seperti itu bukan pelaku kriminal konvensional, melainkan orang yang berjaringan, dilengkapi sumber daya, pengetahuan, kecakapan, dan akses di nasional ataupun di negara lain.
Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak berpandangan, jika terdapat buron Kejaksaan Agung (Kejagung) yang masuk Indonesia tanpa diketahui, secara teknis terjadi kelengahan. Semestinya, kelengahan ditindaklanjuti dengan menelusuri persoalannya.
Barita berharap Kejagung segera memastikan keberadaan Joko dan membukanya kepada publik. Selain itu, Kejagung mesti mengevaluasi mekanisme pelacakan buron agar lebih efektif menangkal atau menangkap.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono mengatakan, terkait Joko Tjandra, Kejagung belum bisa memastikan informasi Joko berada di Indonesia, termasuk belum bisa memastikan kebenaran kehadiran Joko saat mendaftarkan PK di PN Jakarta Selatan pada 8 Juni 2020.
Menurut Hari, secara umum, kejaksaan memiliki program tangkap buron. Beberapa kendala yang ditemui untuk menangkap buron, antara lain, faktor lokasi. Namun, bukan berarti lokasi terpencil akan lebih sulit dibandingkan perkotaan.
Selain itu, kata Hari, ada kesulitan kejaksaan ketika komunikasi buronan dengan keluarga terputus. Sebab, salah satu cara melacak buronan ialah melalui keluarganya. Tantangan lain ketika buron melarikan diri ke luar negeri yang negara tersebut tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.