”Melunak” Soal Joko Tjandra, Ada Apa dengan DPR?
Sikap DPR yang awalnya garang kepada aparat penegak hukum dan pemerintah soal buronan Joko Tjandra tiba-tiba melunak. Bahkan, rapat Komisi III DPR untuk membahas hal itu terpaksa dibatalkan. Ada apa dengan DPR?
Sikap garang DPR terhadap kasus bebasnya buronan Joko Tjandra berkeliaran di Indonesia bulan lalu berubah drastis. Kritik dan pernyataan pedas yang dilayangkan kepada otoritas seketika melunak dengan menjadikan aturan internal dan keputusan rapat ”elite” di DPR sebagai dalilnya. Ada apa dengan DPR?
Ketika Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengungkapkan Joko Tjandra kembali ke Indonesia bulan lalu, dalam rapat dengan Komisi III DPR, 29 Juni 2020, tak sedikit anggota Komisi III yang melontarkan kritik, bahkan pernyataan pedas, kepada kejaksaan.
Intelijen kejaksaan jadi salah satu sasaran kritik karena tak mengetahui buronan kasus pengalihan hak tagih utang atau cessie Bank Bali sejak 2009 itu melenggang bebas di Indonesia.
Kritik dan pernyataan pedas berlanjut di luar ruang rapat. Setiap kali ditanya wartawan atau setiap kali ada diskusi soal Joko Tjandra, sikap mereka garang terhadap otoritas penegak hukum. Pemerintah, terutama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), tak luput dari serangan kritik karena tak mengetahui Joko kembali ke Indonesia.
Baca juga : Kesaktian Joko Tjandra
Kegarangan anggota Komisi III DPR terhadap Joko Tjandra itu pun kembali ditumpahkan saat rapat dengan Direktur Jenderal Imigrasi Kemenkumham Jhoni Ginting, 13 Juli lalu.
Tak puas dengan jawaban Jhoni, sejumlah anggota Komisi III sempat melontarkan usulan pembentukan panitia khusus (pansus) untuk mengusut bagaimana Joko bisa kembali ke Indonesia tanpa sepengetahuan aparat penegak hukum dan pihak imigrasi. Namun, pada akhir rapat, akhirnya diputuskan Komisi III akan memanggil semua pihak yang ”bertanggung jawab” atas lolosnya Joko. Pihak dimaksud adlaah Polri, Kejaksaan Agung, dan Kemenkumham.
Keinginan untuk membongkar skandal Joko Tjandra itu pun tak terbendung sekalipun DPR akan memasuki masa reses mulai Jumat (17/7/2020). Ketua Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P Herman Herry mengajukan permohonan kepada pimpinan DPR agar rapat tersebut tetap bisa digelar di tengah masa reses.
Namun, yang terjadi selanjutnya, sikap DPR justru berubah drastis.
Semangat Komisi III DPR untuk menguak kasus Joko Tjandra tersebut seketika padam saat rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR, 15 Juli lalu. Bamus yang anggotanya para elite di DPR, yaitu pimpinan DPR, pimpinan fraksi, dan pimpinan alat kelengkapan DPR (AKD), mengeluarkan keputusan, rapat pengawasan AKD tak bisa digelar saat masa reses.
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Azis Syamsuddin lantas menjadikan keputusan itu untuk tidak menandatangani surat permohonan rapat Komisi III di saat reses.
Ia pun menguatkan keputusannya tersebut dengan menyampaikan aturan di Tata Tertib DPR yang menyebutkan, masa reses adalah masa DPR melakukan kegiatan di luar masa sidang, terutama di luar Gedung DPR, untuk melaksanakan kunjungan kerja.
Padahal, di masa reses sebelumnya, penerapan aturan Tata Tertib DPR itu longgar. Rapat AKD, termasuk dalam menjalankan fungsi pengawasan, tetap bisa digelar. Pimpinan DPR pun selalu mengizinkan rapat digelar, terlebih jika rapat itu penting. Ambil contoh, rapat Komisi II DPR membahas Pilkada 2020 yang digelar saat masa reses DPR, Mei lalu.
Maka, janggal pula ketika Bamus DPR mengambil keputusan larangan tersebut. Terlebih sekalipun setiap anggota DPR diharuskan turun ke daerah yang mereka wakili untuk menyerap aspirasi masyarakat saat reses, mereka tetap bisa menggelar rapat secara daring. Rapat daring ini sudah jadi kebiasaan DPR sejak pandemi Covid-19 merebak, April lalu.
Baca juga : Jejak Si Buron pada 8 Juni
Jadi, ada apa sesungguhnya dengan DPR?
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menyatakan tidak heran dengan perubahan sikap drastis DPR tersebut. Tak hanya dalam kasus Joko Tjandra, tetapi dalam banyak kasus sebelumnya.
”Biasa melembek di awal seperti itu karena belum berkembang dalam forum-forum elite partai. Itu membuat sikap fraksi bisa dengan mudah berubah,” ujarnya.
Perubahan sikap itu biasanya terkait dengan kepentingan DPR atau partai politik yang setiap anggota DPR wakili. Dalam kasus Joko Tjandra, Lucius menduga, perubahan sikap DPR itu karena ada kepentingan DPR atau partai politik yang terkait dengan Joko Tjandra. ”Itu dua kontras yang sulit dijelaskan, tetapi menjadi mudah kalau kita melihat sikap elite partai politik dan DPR seperti yang mereka tunjukkan sekarang ini,” ucapnya.
Peristiwa yang terjadi belakangan ini, menurut dia, mengindikasikan ada hubungan antara Joko Tjandra dan para elite politik di negeri ini. ”Sangat mungkin memang keterkaitan antara Joko Tjandra dan para elite politik itu yang membuat kasus ini mudah untuk Joko Tjandra, tetapi sulit untuk persoalan bangsa kita. Joko Tjandra sebagai pengusaha dikenal punya jejaring kuat ke politisi. Bisa jadi jejaring ini dimanfaatkan untuk membantu pelariannya saat ini,” tuturnya.
Dikutip dari pemberitaan harian Kompas saat skandal Bank Bali mencuat tahun 1999, Joko pernah mengelola perusahaan yang sama dengan Setya Novanto, yang juga terseret dalam skandal tersebut. Perusahaan dimaksud adalah PT Era Giat Prima (EGP). Joko sebagai pemilik dan Novanto selaku direktur utamanya.
Seperti diketahui, Novanto merupakan mantan politisi Partai Golkar yang pernah menjadi Bendahara Umum dan bahkan Ketua Umum Golkar, juga Ketua DPR dari Golkar. Ketika itu bahkan sempat ada dugaan aliran dana untuk kepentingan politik Partai Golkar.
Namun, hal ini kemudian dibantah. Belakangan, Novanto ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena terkait kasus korupsi proyek KTP elektronik dan saat ini mendekam di penjara karena terbukti melakukan korupsi tersebut.
Atas spekulasi yang muncul itu, Azis Syamsuddin tidak mau menjawab saat ditanya Kompas. Ia berkukuh bahwa tindakannya tidak mengizinkan rapat Komisi III DPR soal Joko Tjandra semata berdasarkan keputusan rapat Bamus DPR dan Tata Tertib DPR.
Baca juga : Langkah Setelah Pencopotan Ditunggu
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar Ace Hasan Syadzily pun menegaskan, tidak ada kaitan masa lalu kasus Joko Tjandra dan Novanto dengan keputusan Azis yang tidak memberikan izin rapat Komisi III DPR dan Partai Golkar. ”Pasti tidak ada kaitannya dengan itu,” ujarnya.
Tunggu reses berakhir
Selanjutnya, dengan Azis berkukuh pada sikapnya, Herman Herry ikut-ikutan melunak. Komisi III DPR, menurut dia, telah memutuskan menunggu masa reses berakhir, pertengahan Agustus mendatang, untuk menggelar rapat soal Joko Tjandra. Usulan Azis agar komisi melakukan pengawasan ke lapangan atau mendatangi langsung Polri dan Kejaksaan Agung guna menngecek perkembangan kasus Joko Tjandra ditolaknya.
”Saat ini, kami pribadi dan kebanyakan anggota sudah terjadwal acara kunker (kunjungan kerja) pribadi di dapil (daerah pemilihan) masing-masing. Kapolri sedang melakukan langkah penindakan dan penyelidikan internal. Kami percaya integritas Kapolri dan Kabareskrim. Biarkan mereka bekerja dulu dalam minggu-minggu ini sampai minggu depan,” ujarnya.
Baca juga : Sidang Janggal Joko Tjandra
Maka, tamat sudah kisah garang Komisi III DPR dalam menghadapi kasus Joko Tjandra. Apakah kisah itu akan kembali hidup dalam rapat yang direncanakan Komisi III DPR bulan depan? Bisa saja. Namun, bisa jadi rapat itu sudah tak ada gunanya, apalagi dalam menghadapi buronan ”cerdik” seperti Joko Tjandra. Waktu yang terbuang percuma hanya karena urusan prosedural menjadi kesempatan emas bagi Joko Tjandra untuk melanjutkan pelariannya.