Penegak Hukum dalam Pusaran Kasus Pelarian Joko Tjandra
Penangkapan Joko Tjandra dapat menjadi momentum bagi pemerintah untuk menguak keterlibatan oknum aparat penegak hukum dan birokrasi yang membantu pelarian sang buron. Penelusuran aliran dana dari Joko menjadi kunci.
Sebelum akhirnya diringkus di Kuala Lumpur, Malaysia, Joko Tjandra sempat tak terjamah upaya hukum. Sejumlah oknum aparat penegak hukum dan pemerintahan yang seharusnya meringkus sang buron justru memberikan karpet merah saat Joko datang ke Indonesia untuk kepentingan mengajukan permohonan peninjauan kembali.
Tertangkapnya Joko Tjandra di Kuala Lumpur, pada Kamis (30/7/2020), dilakukan melalui skema kerja sama police-to-police antara Kepolisian RI dan Polis Diraja Malaysia (PDRM). Kerja sama itu dijalin sekitar dua pekan sebelum Joko Tjandra dibekuk.
Kepolisian ikut memburu Joko Tjandra yang merupakan buron kejaksaan menyusul skandal pelarian Joko yang menyeret tiga jenderal di Mabes Polri. Mereka adalah Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo, Sekretaris Divisi Hubungan Internasional Polri Brigadir Jenderal (Pol) Nugroho Wibowo, dan Kepala Divhubinter Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte.
Dari ketiganya, Prasetijo berperan paling besar dalam membantu pelarian Joko Tjandra. Prasetijo yang menerbitkan surat jalan untuk Joko Tjandra agar dapat melakukan perjalanan dari Pontianak, Kalimantan Barat, ke Jakarta dan sebaliknya. Terdapat dua surat jalan yang dikeluarkan atas nama Joko, untuk tanggal 6 Juni 2020 dan 19-22 Juni 2020.
Baca juga: Jalan Berliku Meringkus Joko Tjandra
Prasetijo juga yang membantu Joko mendapatkan surat keterangan kesehatan bebas Covid-19 dari kepolisian. Surat itu untuk memuluskan kedatangan Joko ke Indonesia dan dapat kembali ke Malaysia dengan cepat. Joko diduga masuk ke Indonesia dan kembali ke Malaysia melalui jalur perbatasan antara Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat.
Tidak hanya itu, Prasetijo bersama bawahannya, Komisaris Joni Andrianto dan pengacara Joko Tjandra, Anita Kolopaking, bahkan menjemput Joko di Bandara Supadio Pontianak pada 6 Juni 2020. Mereka kemudian bersama-sama ke Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, dengan menggunakan pesawat charter. Kedatangan Joko itu terkait dengan pengajuan permohonan PK pada 8 Juni.
Anita Kolopaking mengaku tak tahu pasti bagaimana Joko masuk ke Indonesia tanpa masuk dalam data perlintasan Imigrasi. Ia sempat bertanya, tapi tak dijawab oleh Joko. Ia hanya memperkirakan Joko masuk melalui jalan tikus di perbatasan Kalimantan-Malaysia.
Saat menjemput Joko ke Pontianak, seluruh dokumen perjalanan diurus Prasetijo. Belakangan diketahui seluruh dokumen tersebut palsu. Anita Kolopaking mengatakan, pembuatan dokumen itu atas inisiatif Prasetijo. Dalam surat jalan itu tertera Joko Soegiarto Tjandra merupakan konsultan kepolisian.
Anita sempat mempertanyakan penyebutan Joko Tjandra sebagai konsultan dalam surat jalan. ”Tapi Pak Pras bilang ah, aman. Begitu kata dia. Ya saya percaya saja,” ucap Anita saat ditemui di Jakarta, pekan lalu.
Menurut Anita, Prasetijo sudah memiliki kedekatan dengan Joko Tjandra sebelum dia turut membantu pelarian tersebut. Selain menerbitkan surat jalan untuk Joko, Brigjen (Pol) Prasetijo juga turut mengurusi kasus perdata sengketa sewa gedung Wisma Mulia 1 yang juga milik Joko Tjandra. Dalam kasus itu, Otoritas Jasa Keuangan melayangkan gugatan perdata terhadap PT Sanggarcipta Kreasitama, perusahaan pemilik gedung, ihwal persewaan gedung senilai Rp 412 miliar tersebut.
Jadi tersangka
Prasetijo akhirnya ditetapkan sebagai tersangka yang diumumkan pada Senin (27/7/2020) dengan dijerat pasal berlapis. Pasal yang disangkakan terhadap Prasetijo adalah Pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terkait pembuatan surat atau dokumen palsu, Pasal 426 KUHP terkait memberikan bantuan buronan melarikan diri, dan Pasal 221 KUHP karena mempersulit proses penyidikan dengan menghilangkan barang bukti.
Setelah Prasetijo, Anita Kolopaking juga ditetapkan tersangka oleh polisi pada Kamis (30/7/2020) lalu terkait dengan penerbitan surat jalan yang diberikan kepada Joko. Anita dikenai Pasal 263 Ayat 2 KUHP terkait penggunaan surat jalan palsu dan Pasal 223 KUHP karena memberikan pertolongan terhadap buron.
Baca juga: Brigjen Prasetijo Terbitkan Dua Surat Jalan untuk Joko Tjandra
Adapun Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen (Pol) Nugroho Wibowo dicopot dari jabatan mereka pada 17 Juli 2020 karena terkait dengan surat pemberitahuan penghapusan red notice atas nama Joko Tjandra yang dikirimkan ke Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.
Surat itu menjadi acuan Ditjen Imigrasi untuk menghapus nama Joko Tjandra dari sistem pelintasan imigrasi sebagai buron yang masuk daftar pencarian orang sejak 13 Mei. Pelintasan Joko sebagai buron diaktifkan kembali pada 27 Juni 2020 setelah ada permintaan dari Kejaksaan Agung.
Oknum jaksa
Tidak hanya kepolisian, skandal pelarian Joko Tjandra juga turut menjalar ke Kejaksaan Agung. Salah satu oknum jaksa diketahui pergi bersama pengacara Joko Tjandra, Anita Kolopaking, untuk menemui sang buron di Kuala Lumpur, Malaysia, pada pertengahan November 2019.
Anita mengakui, jaksa yang pergi bersamanya untuk menemui Joko Tandra mengklaim sebagai orang kepercayaan Jaksa Agung. Dalam pertemuan itu, ketiganya membicarakan rencana pengajuan peninjauan kembali oleh Joko Tjandra. Jika PK dapat diloloskan, Joko Tjandra tidak lagi berstatus buron dan dapat kembali kapan pun ke Indonesia.
Jaksa yang berangkat dengan Anita itu adalah Pinangki Sirna Malasari yang saat itu menjabat sebagai Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan. Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) melaporkan foto bersama Joko Tjandra, Pinangki dan Anita yang diambil di Kuala Lumpur tersebut. Foto itu kemudian tersebar di media sosial.
Pada Rabu (29/7/2020), Kejaksaan Agung menyampaikan pencopotan Pinangki dari jabatan strukturalnya karena terbukti melakukan pelanggaran disiplin pegawai negeri sipil dengan melakukan perjalanan ke luar negeri sembilan kali pada 2019. Namun, penyidikan terkait pertemuan Pinangki dengan Joko Tjandra belum diungkap.
Belakangan diketahui, Pinangki dengan Anita Kolopaking sama-sama mengenyam pendidikan program doktoral hukum di Universitas Padjadjaran pada masa 2008-2009. Berdasarkan laporan harta kekayaan pejabat negara dari Komisi Pemberantasan Korupsi per 2018, harta Pinangki Sirna Malasari tercatat Rp 6,8 miliar.
Aliran dana
Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Yenti Garnasih berpendapat, kepolisian perlu mengungkap aliran dana dari Joko Tjandra ke sejumlah oknum penegak hukum yang terkait skandal pelarian Joko saat berada di Indonesia. Sebab, tindak kejahatan karena ingin membantu orang lain biasanya karena didasari adanya imbalan uang atau hadiah tertentu.
Untuk itu, Yenti menilai, belum adanya sangkaan pasal suap maupun gratifikasi terhadap penetapan tersangka Prasetijo Utomo dan Anita Kolopaking merupakan hal yang janggal. Dengan kata lain, motif tersangka dalam membantu Joko Tjandra harus didalami penegak hukum.
”Belum adanya sangkaan pasal suap maupun gratifikasi terhadap penetapan tersangka Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo dan Anita Kolopaking merupakan hal yang janggal.”
Koordinator MAKI Boyamin Saiman menganggap, tidak mungkin oknum penegak hukum dan aparat pemerintahan membantu seorang buron, seperti Joko Tjandra, hanya dengan dalih ingin menolong. ”Mana ada hal itu dilakukan secara gratis, apalagi bukan saudaranya. Jangan sampai membuat masyarakat curiga lagi kepada polisi jika tidak ada aliran dananya,” kata Boyamin.
Selain jaksa dan polisi, menurut Boyamin, sejumlah oknum aparat lain yang diduga berkaitan dengan pelarian Joko Tjandra juga perlu diusut. Sebab, Joko leluasa mendatangi kantor pemerintahan dan keluar masuk Indonesia meskipun berstatus buron.
Baca juga: Periksa Semua Pihak yang Membantu Joko Tjandra
Sejumlah aktivitas Joko yang belum terbongkar adanya keterlibatan aparat, seperti penerbitan paspor atas nama Joko Soegiarto Tjandra di Kantor Imigrasi Jakarta Utara, terhapusnya nama Joko Tjandra dari red notice Interpol sejak 2014, serta keluar masuk Indonesia ke Malaysia melalui jalur perbatasan.
Sejauh ini, baru pengurusan kartu tanda penduduk elektronik atas nama Joko Soegiarto Tjandra di Kantor Kelurahan Grogol Selatan yang sudah diselidiki. Hasilnya, Lurah Grogol Selatan Asep Subahan dicopot dari jabatannya karena diduga membantu Joko dalam menerbitkan KTP-elektronik tersebut.
Lurah Asep Subahan yang mengantarkan Joko Tjandra ke ruangan biometrik dan mengawal sendiri proses perekaman hingga penerbitan. Mulai dari foto wajah, sidik jari, tanda tangan, hingga KTP-el Joko Tjandra dicetak hanya butuh waktu 1 jam 19 menit. Padahal, warga setempat mengakui, pengurusan KTP-el di Grogol Selatan biasanya memakan waktu berkisar 2-4 minggu.
Banyaknya pihak yang membantu pelarian Joko Tjandra mulai dari pengurusan KTP-elektronik, penerbitan paspor, pembuatan surat jalan agar dapat melakukan penerbangan dari Pontianak ke Jakarta, hingga masuknya Joko Tjandra ke Indonesia melalui perbatasan telah menyulitkan upaya penegakan hukum terhadap Joko Tjandra sebagai buron.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji menilai, siapa pun yang diduga membantu Joko Tjandra dalam pelariannya diduga telah menghalangi proses penegakan hukum (obstruction of justice) dan menyalahi proses hukum yang adil. Untuk itu, jika ada pihak yang mengetahui status Joko adalah buron dan tetap sengaja membantu sebaiknya perlu diperiksa.
Setelah diringkus polisi di Kuala Lumpur, Joko Tjandra diserahkan kepada Kejaksaan Agung pada Jumat malam. Namun, Joko akan ditempatkan di Rumah Tahanan Salemba Cabang Mabes Polri. Dengan demikian, penangkapan Joko juga dapat menjadi pintu masuk bagi polisi untuk mengusut pihak-pihak yang terkait dalam kasus Joko Tjandra.
Kabareskrim Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyebutkan, penempatan Joko di Rutan Salemba untuk memudahkan penyelidikan terkait kasus-kasus lain yang menyertai seperti keluar-masuknya Joko ke Indonesia, kasus surat jalan, dan terhapusnya red notice pada 2014, dan kemungkinan penyelidikan aliran dana ke sejumlah pihak (Kompas, 1/8/2020).
Sejumlah oknum aparat penegak hukum dan birokrasi yang terdapat dalam pusaran kasus Joko Tjandra telah mencoreng nama institusi dan negara. Jika keterlibatan mereka tidak diungkap dan ditindak tegas, kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia bisa runtuh.