Wahyu Setiawan Dinilai Tidak Layak Jadi ”Justice Collaborator”
Keinginan bekas anggota KPU, Wahyu Setiawan, menjadi saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum ditolak jaksa. Hal itu karena Wahyu pelaku utama dan berbelit-belit saat memberi keterangan di sidang.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bekas anggota Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan dinilai oleh jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi tidak layak ditetapkan sebagai justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum. Jaksa justru menuntut Wahyu hukuman 8 tahun penjara, denda Rp 400 juta, dan subsider 6 bulan kurungan. Mereka juga menuntut Wahyu dicabut haknya untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun.
Tuntutan tersebut disampaikan oleh JPU pada KPK pada sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (3/8/2020). Adapun para terdakwa mengikuti persidangan melalui telekonferensi.
Wahyu dituntut bersama dengan bekas anggota Badan Pengawas Pemilu Agustiani Tio Fridelina. Mereka diduga menerima uang sebesar 19.000 dollar Singapura dan 38.350 dollar Singapura atau total setara dengan Rp 600 juta dari Saeful Bahri.
”Menjatuhkan pidana terhadap Wahyu dengan pidana penjara selama 8 tahun dan pidana denda sebesar Rp 400 juta, dengan ketentuan apabila tidak dibayar, denda diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan.”
Uang tersebut diberikan dengan tujuan agar Wahyu selaku anggota KPU periode 2017-2020 mengupayakan KPU menyetujui permohonan penggantian antarwaktu anggota DPR periode 2019-2024 dari Partai PDI-P Daerah Pemilihan Sumatera Selatan 1, yakni Riezky Aprilia, kepada Harun Masiku.
Selain itu, Wahyu juga dituntut karena menerima uang sebesar Rp 500 juta dari Sekretaris KPU Papua Barat Rosa Muhammad Thamrin Payapo terkait proses seleksi calon anggota KPU Daerah Provinsi Papua Barat periode 2020-2025.
”Menjatuhkan pidana terhadap Wahyu dengan pidana penjara selama 8 tahun dan pidana denda sebesar Rp 400 juta, dengan ketentuan apabila tidak dibayar, denda diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,” kata jaksa Takdir Suhan seperti dikutip dari surat tuntutan JPU KPK.
Selain hukuman tersebut, jaksa juga menuntut Wahyu agar hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun. Pidana tambahan tersebut terhitung pada saat Wahyu selesai menjalani pidana.
Sementara itu, Agustiani dituntut pidana penjara selama 4 tahun 6 bulan dan pidana sebesar Rp 200 juta. Apabila tidak dibayar, denda diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan.
Terkait dengan saksi pelaku yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum yang diajukan oleh Wahyu melalui tim penasihat hukumnya pada sidang sebelumnya, jaksa menilai bahwa Wahyu tidak layak untuk dapat ditetapkan sebagai justice collaborator.
Adapun justice collaborator adalah pelaku kejahatan yang bekerja sama dengan penegak hukum membongkar kejahatan. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan mengatur Pengetatan Remisi bagi Terpidana Narkotika, Korupsi, dan Terorisme. Justice collaborator menjadi syarat mendapat remisi atau pengurangan masa pidana.
JPU melihat, justice collaborator yang diajukan oleh Wahyu tidak memenuhi persyaratan seperti ketentuan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 yang mengatur tata cara penetapan terhadap saksi pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator.
Jaksa Sigit Waseso mengatakan, seorang justice collaborator bukanlah pelaku utama atau perannya sangat kecil dan bersikap kooperatif dalam membuka tindak pidana yang melibatkan dirinya ataupun pihak lain yang mempunyai peran lebih besar.
”Berdasarkan fakta-fakta hukum persidangan, Wahyu merupakan pelaku utama dalam penerimaan uang suap dari Saeful terkait permohonan penggantian caleg DPR dari Riezky kepada Harun di KPU. Demikian pula telah dapat dibuktikan bahwa Wahyu merupakan pelaku utama dalam penerimaan uang suap dari Rosa terkait proses seleksi calon anggota KPU Provinsi Papua Barat periode 2020-2025,” kata Sigit.
Berbelit-belit
Selain terbukti sebagai pelaku utama dalam kedua perbuatan yang didakwakan tersebut, JPU menilai bahwa Wahyu tidak terlalu kooperatif. Menurut JPU, Wahyu memberikan keterangan berbelit-belit dengan sejumlah bantahan untuk mengakui perbuatan yang dilakukannya.
Wahyu mengaku hanya bercanda menuliskan ucapan 1.000, bantahan mengenai uang yang diterima Saeful tidak terkait dengan surat permohonan penggantian caleg Harun Masiku di KPU, dan bantahan mengenai uang yang ditransfer Rosa adalah untuk bisnis properti. Bantahan-bantahan tersebut tidak beralasan karena bertentangan dengan keterangan saksi ataupun alat bukti lainnya.
Saat dihubungi seusai sidang, Kuasa hukum Wahyu, Tony Hasibuan, menganggap, pertimbangan penolakan justice collaborator dari jaksa tidak mendasar. Sebab, tim kuasa hukum menilai Wahyu sebagai pelaku utama hanya karena sebagai pihak yang menerima uang.
”Bantahan mengenai uang yang diterima Saeful tidak terkait dengan surat permohonan penggantian caleg Harun Masiku di KPU dan bantahan mengenai uang yang ditransfer Rosa adalah untuk bisnis properti. Bantahan-bantahan tersebut tidak beralasan karena bertentangan dengan keterangan saksi ataupun alat bukti lainnya.”
”Menerima kan belum tentu sebagai pelaku utama karena terdakwa lainnya juga sama-sama menerima uang dan tidak dianggap pelaku utama,” kata Tony.
Terkait dengan tuntutan yang disampaikan oleh JPU, Tony menilai berbeda dengan apa yang didakwakan. Ia mengatakan, Wahyu didakwa menerima hadiah atau janji untuk pengurusan PAW, tetapi tuntutannya justru tidak jelas apakah PAW, pergantian calon terpilih, atau pengalihan suara ke Harun Masiku.
Menurut Tony, setiap hal tersebut berbeda-beda prosedur dan instansi yang berwenang. ”Kami merasakan keragu-raguan jaksa dalam merumuskan tuntutannya. Semoga saja yang kami rasakan sama dengan yang dirasakan majelis hakim dan mengambil putusan yang adil,” ujarnya.