Perubahan status pegawai KPK menjadi ASN dikhawatirkan memengaruhi independensi pegawai komisi antirasuah tersebut. Kinerja pemberantasan korupsi dikhawatirkan sejumlah pihak kian melemah.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Independensi pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi mulai terancam dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara. Dengan adanya peraturan tersebut, KPK pun dinilai akan semakin lemah.
PP No 41/2020 telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 24 Juli 2020 dan diundangkan pada 27 Juli 2020. Dengan terbitnya peraturan tersebut, maka pegawai KPK berstatus ASN.
Komisioner KPK 2015-2019, Laode M Syarif, mengungkapkan, ketika KPK ditarik menjadi lembaga negara dalam rumpun kekuasan eksekutif yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, akibatnya semua anggota KPK adalah aparatur sipil negara (ASN).
”Ini menjadi salah satu kelemahan utama dari undang-undang ini dibandingkan dengan kelemahan-kelemahan lain,” ujar Laode dalam Diseminasi Penelitian bertajuk ”Proyeksi Masa Depan Pemberantasan Korupsi” yang dilakukan secara daring, Senin (10/8/2020).
Hadir juga sebagai pembicara dalam acara tersebut, yakni peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Agil Oktaryal; peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana; dan pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, M Nur Sholikin.
Laode mengungkapkan, alih fungsi pegawai KPK menjadi ASN tersebut telah mengubah pegawai KPK yang dulu independen. Ia juga dikejutkan dengan sistem penggajian yang diatur dalam peraturan tersebut. Terkait gaji dan tunjangan pada Bab IV Pasal 9 Ayat 2 disebutkan, dalam hal terjadi penurunan penghasilan, kepada pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi selain gaji dan tunjangan juga dapat diberikan tunjangan khusus yang ditetapkan dalam peraturan presiden.
”Dari dulu sejak KPK ada, sudah disoroti pentingnya single salary system. Gaji itu cuma satu, ya, gaji supaya gampang dikontrol,” kata Laode.
Dari dulu sejak KPK ada, sudah disoroti pentingnya single salary system. Gaji itu cuma satu, ya. gaji supaya gampang dikontrol. (Laode M Syarif)
Menurut Laode, sistem penggajian seperti yang ada di peraturan tersebut akan sulit dipertanggungjawabkan karena ukurannya tidak jelas. Akibatnya, akan muncul banyak sekali kepanitiaan demi mendapatkan imbalan. Ia kecewa karena selama ini sistem penggajian di KPK sudah benar, tetapi justru diubah dengan sistem baru yang bakal membuat akuntabilitasnya bermasalah.
Hal serupa diungkapkan Kurnia Ramadhana. Ia mengatakan, dengan adanya PP No 41/2020, maka nilai independensi KPK akan semakin terkikis. Peraturan ini menambah rusaknya KPK akibat UU No 19/2019.
Menurut Kurnia, ketika KPK sudah masuk dalam rumpun eksekutif, maka akan sulit diharapkan keberaniannya dalam menindak pelaku korupsi. Selain itu, penanganan perkara sewaktu-waktu dapat terganggu dengan adanya alih status ini. Sebab, ketika pegawai KPK menjadi bagian dari ASN, maka kapan saja mereka dapat dipindahkan ke lembaga negara lain.
Secara terpisah, Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari mengatakan, dengan lahirnya PP No 41/2020 ini, KPK bisa dikendalikan kepentingan politik karena mereka di bawah Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokasi (Kemenpan dan RB) atau di bawah Presiden secara langsung.
Dengan lahirnya PP No 41/2020 ini, KPK bisa dikendalikan kepentingan politik karena mereka di bawah Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokasi (Kemenpan dan RB) atau di bawah Presiden secara langsung.
Menurut Feri, peraturan ini merupakan salah satu cara upaya melemahkan KPK. Alhasil, masa depan KPK dalam pemberantasan korupsi akan buram.
Menanggapi peraturan tersebut, Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo mengakui, adanya PP No 41/2020 akan berpengaruh pada independensi KPK. Peraturan tersebut merupakan turunan dari revisi UU KPK.
”Saat ini, yang kita perlu konsentrasikan, yaitu efek dari peraturan ini perlu diminimalkan. Misalnya, pegawai KPK tidak bisa dirotasi/mutasi ke instansi atau lembaga lain tanpa persetujuan yang bersangkutan. Kemudian, KPK tetap bisa merekrut pegawainya sendiri,” kata Yudi.
Menurut Yudi, minimalisasi rotasi atau mutasi sangat penting bagi pegawai KPK, khususnya ketika mereka sedang menangani kasus korupsi yang sensitif dengan melibatkan tokoh nasional atau kasus korupsi yang besar.
PP ini tidak akan mengurangi sifat independen KPK, sebagaimana Pasal 3 UU KPK yang menyatakan KPK tetap independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. (Dini Purwono)
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, KPK sedang mempelajari lebih lanjut PP tersebut. Sesuai dengan Pasal 12, PP tersebut sudah berlaku sejak diundangkan pada 27 Juli 2020.
Untuk pelaksanaan tata cara pengalihan pegawai sesuai dengan Pasal 6 PP tersebut, KPK akan segera menyusun peraturan komisi (perkom) terlebih dahulu. Dalam penyusunan perkom, KPK akan melibatkan kementerian atau lembaga terkait.
Sementara itu, Juru Bicara Presiden Bidang Hukum Dini Purwono dalam siaran persnya mengatakan, PP No 41/2020 merupakan pelaksanaan amanat UU KPK, khususnya Pasal 1 Angka 6, Pasal 69B, dan Pasal 69C. Pasal-pasal tersebut pada intinya mengatur bahwa pegawai KPK adalah ASN dan dalam hal pegawai KPK belum berstatus sebagai ASN, maka dalam jangka waktu paling lambat dua tahun sejak revisi kedua UU KPK yang diundangkan tanggal 17 Oktober 2019, pegawai KPK tersebut dapat diangkat sebagai ASN sepanjang memenuhi syarat. PP ini diterbitkan dengan tujuan tertib administrasi negara.
”PP ini tidak akan mengurangi sifat independen KPK, sebagaimana Pasal 3 UU KPK yang menyatakan KPK tetap independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Sama sekali tidak ada niat pemerintah untuk melemahkan KPK dalam hal ini, sebaliknya ini adalah bagian dari memperkuat institusi pemberantasan korupsi di Indonesia,” kata Dini.