Konfigurasi kekuatan politik pendukung pemerintah di era Jokowi-Amin dinilai sangat kuat. Hal itu memengaruhi kualitas demokrasi, di antaranya keputusan penting diambil tanpa partisipasi publik dan proses deliberasi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin terjadi konsolidasi politik di antara partai-partai politik pendukung pemerintah di parlemen. Konfigurasi kekuatan politik pendukung pemerintah itu dinilai sangat kuat. Hal itu memengaruhi kualitas demokrasi, di antaranya banyak keputusan penting diambil tanpa partisipasi publik dan proses deliberasi.
Saat diskusi Ironi Ruang Publik di Masa Pandemi Covid-19 yang digelar lembaga Public Virtue Institute, Yayasan Kurawal, dan Erasmus Huis-Kedutaan Besar Kerajaan Belanda, Jumat (4/9/2020), sosiolog dan Ketua Penasihat Public Virtue Institute Thamrin Amal Tomagola menyatakan, tak ada satu pun partai dapat memainkan peranannya sebagai oposisi murni yang berkualitas.
Sementara di sisi lainnya terjadi pula konsolidasi ekonomi, di mana banyak kepentingan oligarki masuk dan menyusup pada agenda kebijakan pemerintah.
Tak ada satu pun partai dapat memainkan peranannya sebagai oposisi murni yang berkualitas.
Di parlemen, kata Thamrin, rancangan undang-undang yang problematik, seperti RUU Cipta Kerja (Omnibus Law), tidak melalui proses deliberasi yang benar. Draf RUU dibahas dengan partisipasi publik yang minim karena di tengah pandemi Covid-19. Padahal, untuk mengambil keputusan dan kebijakan politis itu, diperlukan komunikasi agar opini-opini dapat diterima seluruh warga. Kritik dan revisi diperlukan agar kebijakan mengenai regulasi itu semakin memperoleh legitimasi.
Seri diskusi demokrasi itu juga menghadirkan narasumber, di antaranya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD; Kuasa Usaha (Charge d’Affaires Ad Interim) Kedutaan Besar Kerajaan Belanda; Profesor Sejarah Universitas Queensland, Australia, Profesor Gerry van Klinken; dan pendiri Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia, Anita Wahid.
”Dengan konfigurasi politik saat ini, di mana seluruh kekuatan parpol merupakan pendukung, dan juga tidak ada oposisi berbobot, sehingga sulit mengharapkan perbaikan kualitas demokrasi,” kata Thamrin.
Apalagi minimnya ruang partisipasi masyarakat tersebut. Perdebatan yang terjadi di ruang publik pun menjadi bising, tetapi tanpa substansi. Partisipasi dilakukan dengan diskursus yang tak konstruktif karena banyaknya hoaks, disinformasi, dan misinformasi berseliweran.
Otoritarian digital
Pendiri Mafindo, Anita Wahid, mengatakan, praktik otoritarianisme pun terjadi di ruang digital, di mana masyarakat memiliki kebebasan membuat konten apa pun. Ruang publik semakin dikerutkan dengan memanfaatkan propaganda komputer. Isu-isu publik dimainkan dengan memanipulasi emosi masyarakat. Metode seperti ini tak melahirkan diskusi substantif, tetapi kebisingan yang tak bermakna.
”Polarisasi masyarakat sejak pemilihan presiden terus berlanjut dan digunakan untuk memanipulasi emosi masyarakat. Masyarakat sulit menerima perbedaan sikap yang dapat membawa pada diskursus lebih substantif, tetapi justru terjebak pada hal-hal bersifat emosional,” kata Anita.
Dalam kasus revisi UU KPK, publik dijebak pada kacamata dikotomis dan propaganda bahwa ada ancaman radikalisme di tubuh KPK. Kemudian, di kasus Papua, masyarakat juga dipaksa melihat perkara secara dikotomis, yaitu mendukung keutuhan NKRI atau gerakan separatis. Tak ada yang dapat menjelaskan kepada publik apa sebenarnya yang terjadi.
Pemerintah harus tetap pada keputusan dan tugasnya agar masyarakat selamat dan negara tetap menjalankan sistem demokrasi.
Dalam kacamata Mahfud, praktik demokrasi justru berbeda. Demokrasi yang berkembang sekarang ini adalah demokrasi serba salah. Apa yang dilakukan pemerintah selalu dianggap salah oleh kelompok masyarakat sipil. Ketika pemerintah mengambil sikap berpindah haluan dan mengikuti pendapat masyarakat sipil pun, pemerintah masih dianggap salah.
Hal itu, menurut Mahfud, adalah konsekuensi dari sistem demokrasi. Apa pun selalu ada pertentangan antara pemerintah dan masyarakat. Bahkan, di antara masyarakat sipil sendiri pun kerap ada pertentangan.
”Oleh karena itu, pemerintah harus tetap pada keputusan dan tugasnya agar masyarakat selamat dan negara tetap menjalankan sistem demokrasi,” kata Mahfud.