Revisi UU KPK Dinilai Jadi Faktor Utama Pegawai KPK Mengundurkan Diri
Pegawai KPK yang memiliki idealisme dinilai mulai kehilangan semangat setelah revisi UU KPK. Hal ini yang dinilai menjadi penyebab cukup banyaknya pegawai KPK yang mengundurkan diri di tahun 2020.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang terjadi pada 17 September 2019 dinilai menjadi salah satu faktor utama cukup banyaknya pegawai KPK mengundurkan diri pada 2020. Pegawai KPK yang memiliki idealisme dinilai mulai kehilangan semangat untuk memberantas korupsi dengan tetap berada di dalam KPK.
Mantan juru bicara KPK Febri Diansyah merupakan salah satu pegawai yang telah memutuskan mengundurkan diri dari KPK. Ia telah mengungkapkan bahwa alasan pengunduran dirinya karena kondisi politik dan hukum yang telah berubah bagi KPK. Perubahan tersebut terjadi seiring adanya revisi UU KPK.
Menurut Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto, mereka yang melamar bekerja di KPK pada umumnya memiliki idealisme, bukan sekadar mencari pekerjaan. Alhasil, mereka kehilangan semangat ketika KPK mengalami reduksi peranan dan ruang lingkup kerjanya, serta tidak lagi memiliki otonomi khusus untuk menangani kasus korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa.
”Mereka tahu mandatnya besar dan masyarakat mendukung mereka. Namun, setelah revisi UU KPK, mereka kehilangan passion-nya untuk ikut berjuang bersama rakyat menghentikan tindak korupsi, dari dalam lembaga yang paling berwenang. Mereka tahu betul bahwa dukungan masyarakat terhadap KPK besar sekali,” kata Sulistyowati, Sabtu (3/10/2020).
Ia mengungkapkan, revisi UU KPK meredupkan dukungan masyarakat sehingga meredupkan semangat mereka bekerja. Menjadikan pegawai KPK sebagai aparatur sipil negara (ASN) bukanlah hiburan hati yang mereka cari.
Menurut dia, ASN akan menjadikan mereka berada dalam konflik kepentingan. Sebagai pegawai yang dibiayai negara, mereka tidak akan bebas melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus yang dilakukan oleh ASN lain, apalagi berkedudukan sebagai pejabat publik.
”Bukankah salah satu unsur dalam definisi korupsi menurut UU korupsi adalah merugikan negara? Artinya, UU ini memang menyasar segala tindakan korupsi yang dilakukan utamanya oleh pejabat negara,” ujar Sulistyowati.
Pengajar Hukum Pidana di Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hajar, mengatakan, sejak revisi UU KPK, ada perubahan paradigmatis dan sistemik dalam KPK. Alhasil, sulit mengharapkan seperti KPK pada masa lalu.
Perubahan sistemik tersebut adalah status KPK yang dahulu berkedudukan independen sebagai penegak hukum. Sekarang, mereka ada di bawah kekuasaan eksekutif. Meskipun dikatakan bebas, mereka berada di dalam kendali pemerintah yang berkuasa.
Hal tersebut dibuktikan dengan status pegawainya yang ASN. Mereka harus tunduk pada birokrasi kepegawaian pemerintah. ”Jadi bisa dibayangkan (mereka) tidak pernah akan bekerja maksimal lagi seperti dahulu,” kata Fickar.
Ia mencontohkan, penegak hukum yang dibawah eksekutif sejak dahulu, yakni kejaksaan dan kepolisian, tidak pernah bisa independen. Banyak kepentingan di sana, termasuk kepentingan kelompok, sehingga berpotensi menjadi locus delicti atau tempat korupsi baru.
Contoh nyata lainnya, yaitu tindak pidana pencucian uang (TPPU) sejak dilahirkan pada 2002 belum pernah bisa digunakan untuk memberantas rekening gendut atau pelaku lainnya. Namun, sejak UU TPPU diubah dan KPK menjadi salah satu yang menerima laporan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), beberapa kasus sudah disidangkan.
Menurut Fickar, KPK sudah masuk pada rumpun kekuasaan eksekutif sehingga dapat diperkirakan tidak akan pernah bisa seprogresif dahulu. Apalagi, sekarang prioritasnya digeser ke pencegahan.
”Itulah wajah KPK hari ini. Itulah pula banyak pejuang yang keluar meninggalkan KPK karena merasa tidak bisa lagi bekerja maksimal, apalagi pimpinannya melanggar etika melulu,” ujarnya.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengungkapkan, sepanjang 2020 ini ada 34 pegawai yang mengundurkan diri. Berdasarkan surat permohonan diri yang disampaikan kepada biro sumber daya manusia (SDM), alasan pegawai mengundurkan diri karena kondisi politik dan hukum KPK ada dua orang.
Adapun alasan yang paling banyak digunakan, yakni pengembangan karier atau mendapatkan pekerjaan baru, yaitu 21 orang. Alasan lainnya, yaitu berakhir masa perjanjian kerja waktu terbatas dan tidak diperpanjang, kasus etik atau hukum, keluarga, kondisi kurang kondusif karena pandemi Covid-19, mengelola usaha pribadi, serta menikah sesama pegawai.
Alex mengungkapkan, pegawai adalah aset yang menjadi kekuatan KPK. Namun, KPK tetap menghargai pilihan yang dibuat para pegawai tersebut untuk memutuskan keluar.
”Kami juga mendorong para alumni KPK dapat menjadi agen penebar semangat antikorupsi di tempat baru sehingga bisa bersama-sama dengan KPK terus berupaya memberantas korupsi di negeri ini,” tuturnya.
Terkait status pegawai KPK menjadi ASN, Alex menegaskan, perubahan tersebut tidak mengubah pola kerja di KPK. Penyelidik, penyidik, dan penuntut KPK tetap bertanggung jawab kepada pimpinan KPK.