Teguhkan Moderasi dan Toleransi Beragama
Saat menyampaikan amanat pada pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Forum Kerukunan Umat Beragama, Selasa, Presiden Joko Widodo mengungkapkan, moderasi beragama merupakan pilihan tepat dan selaras dengan nilai Pancasila.
JAKARTA, KOMPAS — Tantangan kehidupan beragama semakin berat dengan hadirnya media sosial yang berpotensi menjadi ajang untuk menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, serta ajaran ekstremisme. Karena itu, moderasi dan toleransi beragama perlu diteguhkan lagi untuk menjaga kerukunan antarumat beragama sekaligus menghindari perpecahan bangsa.
Presiden Joko Widodo, saat menyampaikan amanat pada pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Forum Kerukunan Umat Beragama, Selasa (3/11/2020), mengungkapkan, moderasi beragama merupakan pilihan yang tepat dan selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Moderasi juga tepat diimplementasikan di tengah tantangan kehidupan beragama yang semakin berat.
Bukan hanya gelombang ekstremisme yang muncul di berbagai belahan dunia, kehidupan beragama juga dihadapkan pada potensi perpecahan karena adanya hoaks dan ujaran kebencian yang tersebar melalui media sosial. Karena itu, Presiden mengingatkan agar kehadiran media sosial yang mewarnai kehidupan beragama tidak bisa diabaikan.
Baca juga: Cegah Politisasi Konflik Beragama, FKUB Nasional Digagas
Untuk menjawab berbagai tantangan itu dibutuhkan tokoh-tokoh agama yang mempersatukan, merangkul, dan piawai melunakkan perbedaan pilihan dan faham menjadi kekuatan. Nilai-nilai moderasi beragama perlu terus disemai untuk menghindarkan umat dari pandangan-pandangan ekstrem yang melegalkan kekerasan.
Saya berharap pertemuan penting ini akan melahirkan rumusan-rumusan visioner dan rencana-rencana program strategis untuk meneguhkan nilai-nilai moderasi dan toleransi beragama.
Oleh karena itu, Presiden mengharapkan, FKUB semakin optimal berperan dalam meneguhkan nilai-nilai moderasi beragama demi menjaga kerukunan antarumat beragama dan mencegah perpecahan bangsa. ”Saya berharap pertemuan penting ini akan melahirkan rumusan-rumusan visioner dan rencana-rencana program strategis untuk meneguhkan nilai-nilai moderasi dan toleransi beragama,” kata Presiden Jokowi.
Jembatan strategis
Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang menjadi pembicara kunci dalam Rakornas FKUB sependapat jika moderasi beragama perlu dikembangkan untuk menanggulangi munculnya intoleransi beragama, ketegangan umat beragama, penghinaan terhadap agama dan tokoh agama, serta kekerasan atas nama agama. Selain itu, moderasi beragama juga penting untuk menanggulangi berbagai isu yang disebabkan oleh pemahaman keagamaan yang radikal atau ekstrem, yang mengarah pada aksi kekerasan, bahkan terorisme.
”Moderasi beragama sesungguhnya merupakan kunci terciptanya toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Moderasi merupakan kebajikan yang mendorong terciptanya harmoni sosial dan keseimbangan dalam kehidupan secara personal, keluarga, dan masyarakat,” ujar Wapres.
Karena itulah, Wapres juga mendorong FKUB agar lebih berperan dalam meningkatkan penyebarluasan moderasi beragama di kalangan umat. Para tokoh agama juga diharapkan mampu menjadi jembatan strategis bagi umat untuk menggerakkan moderasi beragama, baik dalam keyakinan dan pemahaman keagamanan maupun tindakan konkret.
Hal yang juga penting dilakukan oleh FKUB dan para tokoh agama adalah pengarusutamaan moderasi beragama. Dengan begitu, diharapkan konflik antarumat beragama dan radikalisme beragama dapat dicegah.
Berperan penting
Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid mengatakan, Indonesia merupakan tempat terbaik di mana konsep masyarakat yang multikultural itu diterapkan. Untuk mendudukkan gagasan itu, keberadaan FKUB memainkan peran dan fungsi yang sangat penting. Lembaga itu memiliki peran memelihara dan merawat kerukunan beragama. Di Indonesia, ada 544 FKUB, yakni 510 FKUB kabupaten/kota dan 34 FKUB provinsi.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menambahkan, kemajemukan merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa kepada Indonesia. Berbeda dengan negara-negara lain yang terdiri atas beberapa suku, Indonesia terdiri atas ratusan suku bangsa. Kekayaan ini menjadi hal penting yang harus dirawat dan dipelihara sehingga dapat menjadi modal bagi bangsa untuk maju dan berkembang.
”Semua itu sebaiknya tidak kita terima begitu saja atau taken for granted. Dengan menganggap sesuatu yang ada itu tidak perlu dirawat, yang terjadi adalah segregasi antara satu yang berbeda dan yang lain, baik dalam suku, agama, ras, maupun latar belakang. Dengan demikian, keberagaman itu justru berpotensi menimbulkan konflik kerukunan berbangsa,” tutur Tito.
Tito mengatakan, kerukunan agama menjadi sesuatu hal yang mahal harganya ketika timbul konflik yang dilatarbelakangi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Agama pun semestinya menjadi sarana untuk membangun tatanan dunia yang konstruktif. Akan tetapi, sering kali, ketika agama itu dipakai untuk kepentingan tertentu, agama dapat menjadi kekuatan yang menghancurkan. Bahkan, kekuatan destruktifnya jauh lebih besar daripada isu-isu lain, seperti perbedaan ras.
Semua itu sebaiknya tidak kita terima begitu saja atau taken for granted. Dengan menganggap sesuatu yang ada itu tidak perlu dirawat, yang terjadi adalah segregasi antara satu yang berbeda dan yang lain, baik dalam suku, agama, ras, maupun latar belakang. Dengan demikian, keberagaman itu justru berpotensi menimbulkan konflik kerukunan berbangsa.
Salah satu upaya preventif untuk menjaga kerukunan ialah mendekteksi dan mencegah konflik sedini mungkin, utamanya terkait dengan isu-isu keagamaan. Dalam hal ini, FKUB dinilai memiliki peranan sangat penting karena lembaga ini mestinya berperan memetakan gangguan, meredam, dan sembari membangun nilai-nilai kerukunan, termasuk menggaungkan implementasi kearifan lokal Indonesia, yakni Pancasila.
Tito mengatakan, untuk mendukung kinerja FKUB di daerah, Kemendagri mendorong setiap daerah melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) memberikan bantuan atau daba hibah bagi berjalannya lembaga FKUB di daerah masing-masing. Bahkan, Kemendagri tidak akan menyetujui anggaran daerah yang tidak memberikan anggaran bagi FKUB. ”Kalau seandainya tidak ada anggaran untuk hibah kepada FKUB, rencana APBD akan saya tolak,” ujar Tito.
Tito menyebutkan, ada beberapa daerah yang anggarannya untuk FKUB masih kecil, bahkan nol rupiah. Seperti Provinsi Bangka Belitung, Yogyakarta, dan Papua. Sementara itu, ada juga yang menganggarkan di atas Rp 1 miliar, seperti Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan yang tertinggi adalah Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah.
Selain itu, Kemendagri juga menagih komitmen empat daerah untuk segera membentuk FKUB. Ada empat daerah yang belum memiliki FKUB, yaitu Kabupaten Tanah Datar dan Pesisir Selatan di Sumatera Barat serta Kabupaten Puncak Jaya dan Nduga di Papua.
Sekularisasi konflik
Dalam sesi diskusi, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Rumadi Ahmad menuturkan, kerap kali orang menyangkal agama sebagai penyebab konflik. Sudah menjadi kebiasaan dan respons umum, ketika terjadi konflik, penyebabnya dianggap bukan dari agama.
”Kita seperti mencoba untuk melakukan proses sekularisasi konflik. Bukan karena agama, melainkan faktor-faktor di luar agama. Kenapa begitu, karena semua orang meyakini agama itu seruan kebajikan. Tidak mungkin melahirkan sesuatu yang kotor. Namun, kita tidak bisa menafikan sejarah-sejarah agama itu banyak diwarnai oleh konflik,” tuturnya.
Untungnya, Indonesia tidak mewarisi sejarah konflik agama itu. Indonesia dipandang tidak memiliki memori konflik agama, sekalipun di tempat lain ada sejarah perang Islam dengan Kristen, misalnya, yaitu Perang Salib, tetapi di Indonesia, lanjut Rumadi, tidak mewarisi memori itu. ”Ini modal sosial yang harus terus-menerus kita hidupkan. Ini modal luar biasa,” katanya.
Jadi, untuk menjaga keberagaman dan kemajemukan, tidak ada cara lain selain internalisasi Pancasila dalam perbuatan nyata.
Untuk merawat itu, tokoh-tokoh agama beperan penting. Mereka yang berada di dalam FKUB di daerah-daerah juga memainkan peranan strategis untuk menjadi penyampai warisan perdamaian. Sebab, mereka sehari-hari adalah tokoh yang memberikan pesan keagamaan kepada masyarakat. Oleh karenanya, jika potret keagamaan ingin harmonis, mau tidak mau harus diawali dari para tokoh agama.
Baca juga: Toleransi dan Kerukunan Diperkuat
Rohaniwan Benny Susetyo mengatakan, kunci untuk merawat kemajemukan atau multikuralisme ialah menjadikan Pancasila sebagai titik temu kebersamaan. Pancasila harus diinternalisasikan sehingga menjadi cara berpikir dan bertindak generasi anak-anak bangsa. ”Jadi, untuk menjaga keberagaman dan kemajemukan, tidak ada cara lain selain internalisasi Pancasila dalam perbuatan nyata,” ujarnya.
Di sisi lain, FKUB pun pada dasarnya adalah rumah keindonesiaan. Sebab, di dalam FKUB tidak ada dominasi. Semua orang yang menjadi anggota FKUB tidak mengedepankan identitas keagamaannya, tetapi bersikap sebagai negarawan yang bertujuan menjaga dan memelihara kerukunan antarumat beragama.