Menko Polhukam Mahfud MD menilai penurunan Indeks Persepsi Korupsi 2022 tak mengejutkan, tetapi tetap memukul. Ada tiga upaya pemberantasan korupsi yang akan dilakukan pemerintah.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO, REBIYYAH SALASAH
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menganggap penurunan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tidak mengejutkan karena korupsi memang masih terus terjadi. Untuk itu, pemerintah menyiapkan tiga upaya untuk mengatasi korupsi, yakni melalui penataan regulasi, pembinaan sumber daya manusia, dan digitalisasi pemerintahan.
Adapun, IPK 2022 yang diluncurkan Transparency International menunjukkan, Indonesia mendapat skor 34 dan berada di peringkat ke-110 dari 180 negara yang disurvei. Pada 2021, Indonesia mendapat skor 38 sehingga capaian pada 2022 disebut sebagai penurunan paling drastis sejak 1995. Skor tahun 2022 sama dengan skor IPK Indonesia pada 2014, yakni 34 poin (Kompas, 1/2/2023).
”Saya terpukul, tetapi saya sudah mengiranya. Melihat korupsi di mana-mana terjadi, OTT (operasi tangkap tangan) banyak dilakukan, saya sudah menduga kemarahan publik akan naik, persepsinya akan jelek atau turun,” kata Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, di Jakarta, Rabu (1/2/2023).
Ia menekankan bahwa skor IPK yang turun menjadi 34 itu merupakan angka terburuk sepanjang reformasi. Untuk memperbaikinya, pemerintah akan mengatur langkah-langkah pemberantasan korupsi agar persepsi masyarakat naik. Sebab, apabila kasus korupsi semakin banyak, persepsi publik dipastikan akan turun.
Mahfud menyebutkan, ada tiga upaya yang dilakukan pemerintah dalam penanganan korupsi di Indonesia. Upaya itu sesuai dengan arahan PresidenJoko Widodo, yakni memperbaiki birokrasi untuk menghilangkan korupsi di Indonesia. Tiga upaya tersebut meliputi sinkronisasi perundang-undangan atau penataan regulasi, pembinaan sumber daya manusia (SDM), dan digitalisasi pemerintahan.
Terkait penataan regulasi, Mahfud menyoroti banyaknya peraturan yang tumpang tindih di Indonesia. Peraturan itu, kata Mahfud, perlu diatur dalam satu wadah aturan, yaitu omnibus law. Metode atau sistem omnibus law merupakan salah satu cara yang dilakukan pemerintah dalam penataan regulasi atau sinkronisasi perundang-undangan di Indonesia.
Adapun upaya pembinaan SDM dilakukan agar masyarakat Indonesia mampu bekerja secara efisien dan efektif, serta mampu menguasai teknologi. ”Lalu yang ketiga digitalisasi, kalau yang ketiga ini jalan di pemerintah, korupsi itu bisa (dihilangkan),” ucap Mahfud.
Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan mengatakan, turunnya skor IPK menjadi catatan bagi seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah, pelaku usaha, maupun masyarakat secara umum. Upaya perbaikan bersama yang kolaboratif dan akseleratif diharapkan bisa menjadi komitmen dan terobosan baru dalam pemberantasan korupsi ke depannya.
Pahala mengatakan, butuh terobosan perbaikan pada sektor pengadaan barang/jasa dan perizinan. Data KPK menunjukkan modus korupsi pengadaan barang/jasa tercatat sudah menyentuh angka 277 dan perizinan di angka 25 perkara.
KPK juga memberikan catatan terkait tingginya keterlibatan politisi dalam tindak pidana korupsi. Salah satu permasalahannya adalah minimnya pendanaan partai politik (parpol). ”KPK telah sering kali mendorong penambahan anggaran parpol agar lebih mandiri. Sehingga pemerintah bisa meminta pertanggungjawaban laporan keterbukaan dari setiap parpol,” ujar Pahala.
Ia juga mengharapkan harmonisasi berbagai kebijakan antarkementerian, lembaga, serta pemerintah daerah yang tumpang tindih agar pelaksanaan operasional di lapangan tidak lagi terhambat dan berpeluang menimbulkan potensi terjadinya korupsi.
KPK juga menyampaikan pentingnya penguatan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Ada empat poin yang harus didorong perbaikannya, yaitu ketersediaan sumber daya manusia, kewenangan, anggaran, dan kompetensi.
Ketua Indonesia Memanggil 57+ Institute Mochamad Praswad Nugraha mengatakan, penurunan skor IPK Indonesia mencerminkan terpuruknya performa kinerja pemberantasan korupsi di hampir semua aspek, termasuk daya saing yang digadang-gadang pada sektor investasi.
”Apabila kondisi ini didiamkan, akan ada dampak yang signifikan pada sektor lainnya. Hal tersebut mengingat antikorupsi adalah faktor yang memungkinkan bagi perlindungan HAM, sehatnya ekonomi, perlindungan lingkungan dan keberlanjutan,” kata mantan penyidik KPK tersebut.
Menurut peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, jika Presiden Jokowi ingin meninggalkan warisan yang bisa dikenang dengan baik oleh rakyat, perlu ada perbaikan di bidang hukum karena indikator ini mendapatkan nilai paling rendah. Perbaikan dapat dilakukan dengan mereformasi hukum di Indonesia, mulai dari institusi dan aparat penegak hukum hingga peraturan perundang-undangan.
Kepolisian, kejaksaan, dan sistem hukum harus direformasi. Caranya dengan mereformasi dasar hukumnya, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang selama ini memberi kewenangan yang sangat besar kepada aparat penegak hukum sehingga banyak penyalahgunaan kekuasaan, termasuk korupsi. Selain itu, dilakukan reformasi dalam rekrutmen, promosi, mutasi, dan memperbaiki kesejahteraan bagi aparat penegak hukum.
”Perbaiki pengawasannya, yaitu dengan membuat institusi pengawasan yang independen. Tingkatkan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Kejaksaan (Komjak) menjadi lembaga yang independen yang dapat melakukan kontrol terhadap kepolisian dan kejaksaan,” kata Zaenur.
Untuk mempercepat pemberantasan korupsi, kata Zaenur, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dan RUU Pembatasan Transaksi Penggunaan Uang Kartal harus segera disahkan. Ia mengingatkan, selama institusi penegak hukum dan sistem hukumnya belum bersih, maka penegakan hukum tidak akan pernah bisa adil dan korupsi akan terus terjadi.
Ia berharap, Presiden Jokowi memimpin pemberantasan korupsi dengan melakukan reformasi hukum di sisa waktu masa jabatannya. Dengan cara itu, IPK Indonesia bisa baik dan sejajar dengan negara-negara yang bersih dan maju.