KPU Belum Tentukan Jadwal Pemilu Ulang di Malaysia
Sampai Senin (26/2/2024), KPU belum menentukan jadwal pemungutan suara ulang di Kuala Lumpur, Malaysia.
JAKARTA, KOMPAS — Ketua Badan Pengawas Pemilu Rahmat Bagja mengatakan, pemungutan suara ulang atau PSU luar negeri di Malaysia belum terlaksana meski batas waktu telah berakhir pada Sabtu (24/2/2024). Komisi Pemilihan Umum menyebut PSU di Kuala Lumpur, Malaysia, akan digelar dengan perlakuan khusus karena masih ada masalah yang harus diselesaikan, yaitu pemutakhiran data pemilih luar negeri.
Saat ditemui di kantor Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Bagja mengatakan, Bawaslu berharap proses pemungutan suara ulang di Kuala Lumpur, Malaysia, dilaksanakan sebelum 20 Maret. Sebab, pada tanggal itu KPU sudah harus mengumumkan dan menetapkan hasil rekapitulasi penghitungan suara baik pemilu presiden, pemilu anggota legislatif DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan DPD.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
”Kami harapkan sebelum tanggal 20 Maret itu sudah ada pemungutan dan penghitungan suara di Kuala Lumpur,” kata Bagja.
Baca juga: Pemilu 2024 dan Peminggiran Pekerja Migran Indonesia
Terkait daftar pemilih tetap (DPT) di Malaysia, hasil temuan lapangan Bawaslu adalah banyak pemilih yang memegang nomor paspor baru tidak bisa masuk ke dalam DPT luar negeri. Setelah dicoba dimasukkan nomor paspor lama, baru yang bersangkutan bisa masuk ke dalam DPT.
”Jangan-jangan tidak ada pemutakhiran atau ada pemutakhiran, tetapi tidak lengkap,” ucapnya.
Kami harapkan sebelum tanggal 20 Maret itu sudah ada pemungutan dan penghitungan suara di Kuala Lumpur.
Bawaslu berharap KPU benar-benar memperbaiki pemutakhiran data pemilih di Kuala Lumpur meskipun waktunya sangat terbatas saat ini. Menurut Bagja, seharusnya DPT di Malaysia itu bisa mencapai 490.000. Namun, data yang terverifikasi dalam proses pencocokan dan penelitian (coklit) hanya sekitar 68.000.
”Pemutakhiran data pemilih ini penting untuk pembelajaran ke depan. Sebab, masalah ini berulang terjadi, pada saat Pemilu 2019 kasusnya juga sama,” kata Bagja.
Karena PSU di Malaysia dipastikan melebihi batas waktu 10 hari seperti yang diatur dalam Pasal 112 Peraturan KPU Nomor 25 Tahun 2023 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilu, menurut Bagja, memang ada potensi pelanggaran administrasi pemilu. Namun, jika kasusnya seperti pemungutan suara susulan (PSS) di Paniai karena alasan status keamanan, ada unsur daya paksa di mana suatu hal tidak bisa dilaksanakan sesuai perintah undang-undang karena adanya daya paksa alam, gangguan keamanan, dan sebagainya.
Sejauh ini, untuk pemungutan suara susulan atau lanjutan (PSS/PSL) juga ditetapkan paling lambat 10 hari setelah dilaksanakannya pemungutan suara seperti diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 25 Tahun 2023 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilu. Mengacu pada ketentuan itu, dengan mengingat pemungutan suara digelar 14 Februari, maka PSU dan PSL paling lambat digelar pada 24 Februari.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas, sejumlah TPS di Paniai melaksanakan PSS pada Senin (26/2). KPU juga mengungkap, ada delapan TPS di Kabupaten Simeuleue, Aceh, yang menggelar pemungutan suara ulang pada Minggu (25/2)
Untuk PSU di Malaysia ini, kan, Panitia Pemutakhiran Data Pemilihnya yang bermasalah. Karena itu, tidak mungkin dalam masa 10 hari dilakukan pemutakhiran data pemilih.
”Untuk PSU di Malaysia ini, kan, Panitia Pemutakhiran Data Pemilihnya yang bermasalah. Karena itu, tidak mungkin dalam masa 10 hari dilakukan pemutakhiran data pemilih. Tapi, bisa juga nanti masuk pelanggaran administrasi oleh Panitia Pemungutan Suara Luar Negeri (PPLN) karena pemutakhiran data awalnya ngasal seperti itu,” tuturnya.
Bagja menegaskan bahwa pada saat pemutakhiran data pemilih awal, Bawaslu sudah mengirimkan notifikasi terhadap PPLN Malaysia. Bahkan, salah satu PPLN Malaysia sudah dinyatakan melanggar pidana umum. Namun, PPLN tersebut malah mengundurkan diri, lalu menghilang tanpa diproses secara hukum.
”Padahal seharusnya dihukum, bukan mengundurkan diri. Sebab, kalau mengundurkan diri, tidak ada efek jeranya, bahkan bisa mendaftar lagi sebagai PPLN, KPU, atau bahkan Bawaslu,” ujarnya.
Perlakuan khusus
Secara terpisah, Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan, KPU, Bawaslu, dan Kementerian Luar Negeri pada Senin sore masih menggelar rapat koordinasi terkait PSU di Kuala Lumpur. Menurut dia, Bawaslu sudah merekomendasikan agar KPU mengulang pemungutan suara dengan metode pos dan KSK.
”Secara teknis, KPU sudah menyiapkan rancangannya, termasuk durasi waktu, dan kegiatan-kegiatan apa saja. Namun, karena yang pertama rekomendasi Bawaslu itu PSU harus dimulai dari pemutakhiran data pemilih, langkah KPU akan melakukan pemutakhiran data pemilih,” ujar Hasyim.
Hasyim menjelaskan pemutakhiran data pemilih dilakukan dengan basis data DPT yang dijadikan dasar untuk pemungutan suara di Kuala Lumpur. DPT akan dijadikan bahan awal untuk pemutakhiran dengan mencocokkan data yang tidak ada di DPT. Misalnya, daftar pemilih tambahan (DPTb) dan daftar pemilih khusus yang masuk ke DPT, tetapi menggunakan hak pilih dengan KSK, mereka akan dimasukkan datanya untuk penyusunan DPT PSU di Kuala Lumpur.
Data itu kemudian kami kroscek dengan daftar hadir untuk pemilu metode TPS, baik itu daftar hadir pemilih TPS yang berasal dari DPT, DPTb, ataupun DPK.
”Data itu kemudian kami kroscek dengan daftar hadir untuk pemilu metode TPS, baik itu daftar hadir pemilih TPS yang berasal dari DPT, DPTb, maupun DPK,” ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa KPU harus berhati-hati dalam pemutakhiran data pemilih ini. Sebab, bagi pemilih yang sudah hadir dalam pemilu metode TPS, dia tidak bisa lagi mencoblos di PSU karena sudah dilayani pada saat pemungutan suara sebelumnya.
Menurut dia, pemutakhiran data pemilih ini cukup rumit, tetapi KPU pernah memiliki pengalaman pada saat Pilkada 2020 di Nabire, Papua Tengah, dan di Sampang, Madura, pada Pilkada 2018. Pada saat itu, Mahkamah Konstitusi menyatakan DPT di kedua daerah itu tidak valid sehingga pilkada harus diulang dan pemutakhiran data pemilih harus diulang.
Hasyim menjelaskan bahwa data Bawaslu di mana DPT diperkirakan mencapai 490.000 sebenarnya adalah data DP4 atau data penduduk potensial pemilih. Setelah dicek kembali, DPT yang valid hanya sekitar 62.000. Sisanya, banyak yang alamatnya tidak dikenali. Alamat yang tidak jelas dan tidak dapat dikenali itu akan langsung dikeluarkan dari daftar pemilih sehingga menurut dia sangat mungkin jumlah DPT untuk PSU nanti justru akan turun atau berkurang secara drastis.
”Kami harus pelan-pelan, hati-hati, tetapi juga harus ada target waktunya, yaitu rekapitulasi hasil penghitungan suara untuk PSU dan hasil TPS pada 14 Februari 2024 lalu sekaligus akan direkap tinggal menunggu hasil PSU. Sebisa mungkin hal itu diikutkan dalam rapat pleno secara terbuka rekapitulasi hasil penghitungan suara sebelum batas akhir 20 Maret 2024,” tutur Hasyim.
Kami harus pelan-pelan, hati-hati, tetapi juga harus ada target waktunya.
Ia juga menyebut bahwa KPU RI sudah menonaktifkan atau memberhentikan sementara tujuh anggota PPLN Kuala Lumpur karena ada masalah dalam tata kelola pemilu di sana. Sebagian pekerjaan PPLN Kuala Lumpur itu diambil alih oleh KPU Pusat yang didukung oleh Tim Sekretariat Jenderal. KPU juga akan berkoordinasi dengan kantor perwakilan KPU di Kuala Lumpur untuk itu.
Terkait dengan pelaksanaan PSU yang melebihi batas waktu yang diatur di PKPU No 25/2023, Hasyim menyebut situasi pemilu luar negeri berbeda karena dilaksanakan lebih awal daripada di Indonesia. Di luar negeri juga ada metode pos dan KSK yang dimulai jauh lebih awal daripada pemilu di TPS. Oleh karena itu, ada perlakukan khusus yang bertujuan agar warga negara Indonesia memiliki kesempatan untuk menggunakan hak pilihnya sesuai dengan prosedur.
”Karena ini ada prosedur-prosedur yang tidak sesuai sehingga perlu kita ulang supaya prosedurnya benar dan kemudian kemurnian suara dari pemilih yang ada di Kuala Lumpur bisa terjaga,” kata Hasyim.
Tata kelola buruk
Pemantau Pemilu Malaysia dari Migrant Care, Muhammad Santosa, menuturkan, saat ini PPLN Kuala Lumpur baru saja menyelesaikan rekapitulasi penghitungan suara pemilu dengan metode TPS. Rencana pelaksanaan PSU TPS dan KSK membuat para PPLN resah karena mereka khawatir kinerjanya selama pemilu kemarin tidak akan terpakai. Ia juga menyebut sampai saat ini belum ada pemberitahuan dari KPU RI ke PPLN Kuala Lumpur untuk jadwal PSU di Malaysia.
Situasi ini memperlihatkan ketidakcakapan KPU sebagai penyelenggara pemilu.
Pengajar Hukum Pemilu, Titi Anggraini, berpandangan, penyelenggaraan pemungutan suara ulang yang melampaui tenggat tidak bisa dianggap sepele. Hal itu merupakan indikasi sangat kuat bahwa KPU tidak profesional serta mengabaikan prinsip tertib dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilu.
KPU dinilai telah mengabaikan aturan main yang semestinya dipatuhi. Bawaslu harus lebih tegas terhadap tindak lanjut atas rekomendasi mereka untuk menyelenggarakan PSU.
Baca juga: Pelaksanaan Pemilu Luar Negeri Sarat Problem, Minat Pemilih Bisa Menurun
”Ketentuan mengenai pemungutan suara ulang di luar negeri berlaku secara mutatis mutandis atau sama dengan pemungutan suara ulang di dalam negeri yang diatur di Pasal 87 PKPU No 25/2023,” ujar Titi.
Menurut dia, pemilu demokratis ditandai oleh prosedur pemilu yang terukur dan pasti. Pemberlakuan khusus pada PSU di Malaysia menjadikan pemilu tidak tertib dan berkepastian hukum. Penggunaan perlakuan khusus itu semakin menunjukkan buruknya tata kelola administrasi Pemilu 2024 yang bisa menjadi preseden buruk bagi kredibilitas penyelenggaraan pemilu.
”Kerangka waktu atau kalender tahapan pemilu sudah sangat jelas. Berlarut-larutnya tindak lanjut KPU dalam merespons rekomendasi Bawaslu menunjukkan buruknya kapasitas dan komitmen kerja KPU dalam menyelenggarakan tahapan pemilu. Situasi ini memperlihatkan ketidakcakapan KPU sebagai penyelenggara pemilu,” kata Titi.