Ketika pertama kali tahun 2008, harian Kompas mengintrodusir penghargaan dengan nama cendekiawan, tidak ada maksud menyederhanakan makna frasa cendekiawan. Kompas juga tidak ingin terjebak dalam wacana pembedaan cendekiawan, intelektual, pengamat, pakar atau pemerhati, cendekiawan akademisi atau nonakademisi.
Pemrakarsa penghargaan ini, Jakob Oetama-Pemimpin Umum Kompas-awalnya hanya ingin mengucapkan terima kasih kepada para penulis, kontributor artikel di halaman 4-5 kemudian berubah di halaman 6-7 Kompas.. Penghargaan juga diberikan bagi mereka yang tekun dalam kepakaran masing-masing, jauh dari publikasi media, tetapi ingin berbagi kepada masyarakat.
Sejak tahun 2009, nama penghargaan itu berubah dari Cendekiawan Berkomitmen menjadi Cendekiawan Berdedikasi. Kriteria diperluas tidak hanya kontributor dan mereka yang bergelut dengan kepakaran masing-masing dan para pengisi kolom tetap, tetapi juga yang menjadi narasumber Kompas.
Disampaikan bersamaan setiap perayaan hari ulang tahun Kompas, sejak tahun 2008 sampai 2016, sudah ada 43 penerima penghargaan. Hingga hari ini ada yang masih aktif menulis, meneliti, dan menjadi narasumber, ada juga yang mulai surut, baik karena faktor usia maupun meninggal (buku: Penghargaan Kompas. Cendekiawan Berdedikasi 2008--2016, Jakarta: 2016).
Dari deretan nama besar pemikir Barat, ada yang kemudian mengaitkan definisi cendekiawan sebagai intelektual yang punya hati nurani-bukan sekadar naluri-terhadap situasi masyarakatnya (Roberto Mitchels, Intellectual, 1949). Pendapatnya tidak berbeda jauh dengan pemikir besar, seperti Benda, Vaclav, Gramsci, bahkan Kant. Perbedaannya terletak dalam hal cara menyampaikan, yakni lewat tulisan.
Menurut Daoed Joesoef, penerima penghargaan Cendekiawan Berdedikasi tahun 2012, kelompok intelektual pada asasnya adalah orang-orang yang kepedulian dan ide manusiawinya jauh melampaui batas profesi dan vokasinya sendiri. Mereka selalu terpanggil dan selalu siap menjadi pengkritik tata sosial budaya dan rezim pemerintahan (Kompas, 8 Januari 1999).
Berpijak dari paparan sangat sepintas tentang nuansa kecendekiawanan-intelektualitas di atas, terlihat posisi mereka selalu mengambil jalan sunyi, berseberangan dengan kekuasaan, memilih jalan berbahaya. Muaranya penghargaan harkat manusia dan kemanusiaan. Caranya tidak lewat kekerasan atau politik praktis melalui partai politik, tetapi lewat penyadaran bersama.
Kesimpulan sederhana ini menegaskan, Cendekiawan Berdedikasi Kompas tidak harus akademisi, tidak harus penulis produktif dan narasumber, tetapi juga berasal di luar kelompok tersebut.
Mereka adalah juga para birokrat, taruhlah contoh penegak hukum yang menegakkan keadilan (dalam arti sebenar-benarnya, dan bukan prosedural), mereka yang memberikan advokasi di tengah kebingungan masyarakat, ataupun peneliti yang tekun menegakkan demokratisasi atas dasar analisis yang bernalar dan berpihak pada manusia dan kemanusiaan.
Dalam kaitan itu, setelah melalui proses penilaian satu tim dengan kata putus Jakob Oetama, penghargaan Cendekiawan Berdedikasi Kompas tahun ini disampaikan kepada H Adi Andojo Soetjipto (85), Sawitri Supardi Sadarjoen (74), dan J Kristiadi (71).
Baca: