Biaya LRT Ratu Prabu Hampir Rp 1 Triliun Per Kilometer
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Biaya pembangunan LRT (kereta ringan) yang dibangun perusahaan swasta PT Ratu Prabu Energy Tbk sebesar Rp 405 triliun untuk panjang 420 kilometer relatif lebih tinggi dibandingkan biaya pembangunan LRT milik BUMN. Itu berarti biaya LRT Ratu Prabu per kilometer sekitar Rp 964 miliar atau mendekati angka Rp 1 triliun per kilometer.
Adapun biaya pembangunan LRT Jabodebek yang dibangun BUMN Adhi Karya per kilometer sekitar Rp 750 miliar. Ini berarti biaya LRT Ratu Prabu 1,5 kali lebih tinggi dibandingkan biaya LRT yang dibangun BUMN pemerintah.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi kepada Kompas, Senin sore, juga menyinggung biaya pembangunan LRT swasta itu setelah dia menggunakan hitungan pembanding LRT Jabodebek yang dibangun pemerintah. Namun, Budi Karya menegaskan, pemerintah mendukung swasta membangun LRT.
Menanggapi tingginya biaya LRT itu, Presiden Direktur PT Ratu Prabu Energy Tbk Bur Maras, Selasa (9/1), menjelaskan, ”Kualitas pembangunan LRT kami akan dijaga, mulai dari semen, besi, sampai mutu pekerjaan. Kereta ringan yang dibangun Ratu Prabu juga tanpa awak dan dikendalikan komputer.”
Lalu, dari mana modal pembangunan LRT itu, sementara saham Ratu Prabu Energy Tbk saat ini berkisar Rp 50 per lembar?
”Kami tidak menggunakan dana perusahaan terbuka ini. Pembangunan LRT ini 100 persen dibiayai dari pinjaman Bank Exim China yang sudah bersedia mengucurkan dana 30 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 405 triliun,” kata Bur Maras.
”Kami hanya membiayai studi kelayakan komprehensif yang dilakukan Bechtel Corporation sebesar 10 juta dollar AS,” kata Bur lagi.
Sebelumnya, Corporate Secretary PT Adhi Karya (Persero) Tbk Ki Syahgolang Permata menyatakan dukungannya pada proposal yang tengah dikaji pemerintah itu. ”Dilihat dari kebutuhan moda transportasi umum di Jakarta, proyek LRT yang diusulkan Ratu Prabu itu dapat berdampak positif,” katanya, Senin kemarin.
Menurut Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) LRT Kementerian Perhubungan Jumardi,pembangunan jalur tersebut harus selaras dengan proyek-proyek LRT yang sudah ada. Karena itu, rencana integrasi beberapa stasiun LRT tersebut sudah tepat.
Selain itu, Jumardi juga mengimbau Ratu Prabu agar memperhatikan pembangunan infrastruktur lainnya di kawasan Jakarta. ”Kalau pembangunannya besar-besaran, kemacetan tidak akan bisa dihindari. Ini perlu diantisipasi dengan perencanaan tahap-tahap pembangunan proyek,” ujarnya (Kompas, Selasa 9 Januari 2018).
Keberanian Bur Maras membangun LRT swasta itu karena dia yakin mampu mengembalikan modal kepada investor. ”Saya langsung membuat proyek skala besar dalam jaringan Jabodetabek, tidak tanggung-tanggung. Ada 16 jalur yang akan melintasi Jabodetabek dengan target 3 juta hingga 5 juta pengguna per hari,” kata Bur dalam wawancara khusus dengan Kompas, akhir pekan lalu (Kompas, Sabtu 6 Januari 2018).
Bur Maras menegaskan, perusahaannya tidak akan menggunakan anggaran pemerintah. Pengembalian modal berasal dari pengguna sejumlah 3 juta-5 juta orang per hari tersebut, targetnya mereka membayar tiket pergi-pulang per penumpang senilai 3 dollar AS (Rp 40.500). Lalu akan ditambahkan juga dari periklanan.
”Dalam 15 tahun, kami targetkan sudah mengembalikan semua modal dengan tingkat pengembalian investasi sekitar 10,9 persen dan bunga 6,7 persen. Namun, kami masih memiliki kemungkinan untuk menaikkan tingkat pengembalian investasi hingga kisaran 20 persen karena bunga pinjamannya dapat mencapai 2 persen,” ujarnya kepada Kompas. (KSP)