Pelanggaran Desain Kapal Berakibat Fatal
JAKARTA, KOMPAS -Investigasi mengungkap banyak faktor yang membuat KM Sinar Bangun tenggelam di Danau Toba. Faktor penting yang luput dari pengawasan, desain kapal yang tak sesuai ketentuan ternyata berakibat fatal. Kapal menjadi mudah tenggelam.
Selain desain kapal yang tak sesuai ketentuan, penyebab tenggelamnya KM Sinar Bangun adalah cuaca buruk dan kelebihan muatan, termasuk puluhan sepeda motor yang diikat di kapal dan membuat kapal kayu itu cepat tenggelam ke dasar danau.
Akibat desain kapal yang melanggar ketentuan, kapal itu kehilangan keseimbangan hingga terguling dan tenggelam saat dihantam ombak setinggi 2 meter di Danau Toba, Sumatera Utara, pada 18 Juni 2018.
Sebagai kapal angkutan penumpang dengan daya tampung 35 Gross Tonage (GT), KM Sinar Bangun sebenarnya hanya boleh didesain dengan satu geladak untuk mengangkut 45 penumpang ditambah 3 awak kapal.
Ini sesuai dengan Sertifikat KM Sinar Bangun dengan nomor register GT 35 No. 117 yang diterbitkan Kepala Bidang Pelayaran Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Utara, Rochani Litiloly, yang menyebutkan bahwa kapal itu memiliki 1 geladak. Sertifikat itu diterbitkan pada 23 April 2018 dan berlaku hingga 23 April 2019.
Namun faktanya, desain kapal tersebut dimodifikasi sehingga memiliki 2 geladak dan 1 balkon. Dampaknya, kapal itu bisa mengangkut lebih dari 150 penumpang ditambah 60 sepeda motor, yang berarti jauh melebihi daya angkut yang diperbolehkan. Kelebihan daya angkut itu biasanya terjadi di saat liburan.
Saat dikonfirmasi terkait adanya ketidaksesuaian bentuk fisik kapal dengan sertifikat yang diterbitkan, sejumlah pejabat Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Utara yang didatangi ke kantornya di Medan, tak dapat ditemui. Saat dihubungi lewat telepon seluler pun tak ada yang merespons, termasuk Kepala Dinas Perhubungan Sumut Muhamad Zein Siregar.
Di Danau Toba, setidaknya ada 400 kapal tradisional milik rakyat yang dioperasikan sebagai angkutan penyeberangan. Selain itu ada 4 kapal ferry, 2 milik pemerintah dan 2 kapal milik swasta.
Kapal angkutan milik rakyat yang dioperasikan di Danau Toba itu umumnya memiliki desain yang hampir sama dengan KM Sinar Bangun, yakni memiliki 2 geladak dan balkon di atasnya.
Di sisi lain, buruknya pengelolaan pengangkutan penumpang di Pelabuhan Simanindo menyebabkan jumlah dan identitas penumpang KM Sinar Bangun yang tenggelam itu tak pernah diketahui secara persis akibat tak adanya manifes penumpang.
Kapal angkutan milik rakyat yang dioperasikan di Danau Toba itu umumnya memiliki desain yang hampir sama dengan KM Sinar Bangun, yakni memiliki 2 geladak dan balkon di atasnya
Terkait kecelakaan itu, nahkoda KM Sinar Bangun Poltak Soritua Sagala alias Yosi Tua Sagala ditetapkan sebagai tersangka.
Baca juga: Nakhoda Ditetapkan sebagai Tersangka
Selain itu 4 pegawai Dinas Perhubungan Kabupaten Samosir juga ditetapkan sebagai tersangka, yakni Kepala Dishub Samosir Nurdin Siahaan, Kepala Bidang Angkutan Sungai dan Danau Dishub Samosir Rihad Sitanggang, Kepala Pos Pelabuhan Simanindo Golpa F Putra, dan anggota Pos Pelabuhan Simanindo Karnilan Sitanggang.
Berdasarkan laporan orang hilang yang dihimpun Badan SAR Nasional, Pemerintah Kabupaten Samosir, dan Polres Samosir, diperoleh perkiraan kapal itu mengangkut penumpang 150 hingga 180 orang, dan sekitar 60 sepeda motor.
Hingga kini, dari seluruh penumpang KM Sinar Bangun, diketahui 18 orang selamat, 3 orang tewas, dan lebih dari 150 orang hilang. Dengan menggunakan robot bawah air, Basarnas akhirnya bisa menemukan KM Sinar bangun dan beberapa jasad yang diduga penumpang KM Sinar Bangun di dasar Danau Toba di kedalaman 450 meter.
Baca juga: Robot Bawah Air Berhasil Rekam Kondisi Kapal Sinar Bangun dan Korban Tewas
Pada Senin (2/7/2018), Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut B Pandjaitan menjelaskan, karena berbagai alasan, operasi pencarian korban tenggelamnya KM Sinar Bangun VI di Danau Toba resmi dihentikan.
Baca juga: Pencarian Korban Kapal Diakhiri
Pengakuan korban selamat
Dari pengakuan beberapa korban selamat, saking padatnya muatan KM Sinar Bangun, sebagian penumpang tidak memperoleh tempat duduk.
Herwando Lingga (24), salah satu korban selamat yang ditemui di rumahnya di Desa Pardamean, Kabupaten Deli Serdang, Sumut mengungkapkan, pada 18 Juni itu dia berangkat menumpangi KM Sinar Bangun dari Pelabuhan Simanindo menuju Pelabuhan Tigaras bersama tiga temannya.
Saat itu, menurutnya, kapal tak hanya dipadati penumpang, melainkan juga sepeda motor yang jumlahnya mencapai sekitar 60 unit, termasuk 2 sepeda motor yang dia bawa bersama temannya. Setidaknya ada 20 sepeda motor yang diparkir di ruang geladak penumpang di lantai 1.
Motor lainnya diparkir di lambung kanan-kiri kapal dengan disandarkan ke pagar kapal. Beberapa sepeda motor yang berada di buritan kapal, diikat ke pagar agar tak mudah tergelincir.
Saking sesaknya penumpang dan banyaknya sepeda motor yang diangkut, menurut Herwando, tak sedikit penumpang yang harus berdiri. “Kalau sedikit beruntung bisa duduk di jok sepeda motor,” ujarnya.
Saat kapal mulai berangkat, menurut Herwando yang duduk di geladak lantai satu, gulungan ombak danau belum tampak besar. Namun setelah setengah perjalanan, ombak danau mulai membesar dan cuaca mendung. Namun sebagian besar penumpang tetap tenang.
Herwando sempat melihat tumpukan jaket pelampung berwarna oranye di kapal, tetapi jumlahnya tidak banyak. Namun, tak ada penumpang yang mengambil jaket pelampung itu untuk dikenakan meskipun gulungan ombak mulai membesar dan angin terasa kencang.
Saking sesaknya penumpang dan banyaknya sepeda motor yang diangkut, tak sedikit penumpang yang harus berdiri
Berdasarkan catatan Basarnas yang diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, saat KM Sinar Bangun tenggelam, cuaca memang buruk. Saat itu kecepatan angin mencapai 12 knot atau 8 meter per detik, dan tinggi gelombang mencapai 2 meter.
“Saat di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal dihantam ombak besar, kemudian mesin kapal mati. Kapal pun oleng ke kanan hingga terguling tak lama setelah mesin mati. Kemudian banyak yang teriak minta tolong,” kata Herwando.
Baca juga: Pelajaran yang Tak Kunjung Selesai di Toba
Sementara Herman Turnip (27), korban selamat yang duduk di sisi kanan nahkoda kapal mengungkapkan, sebelum tenggelam, dia menyaksikan ombak setinggi 2 meter menghantam kapal dari arah kiri. Hantaman ombak itu membuat kapal oleng dan terguling ke kanan, sehingga akhirnya kapal itu terbalik.
“Ombak itu datang dari arah kiri, dan tingginya mencapai separuh tinggi kapal. Kapal kemudian oleng dan terguling, hingga akhirnya terbalik,” jelasnya.
Menurut Herman, saat terbalik, KM Sinar Bangun sempat terapung-apung selama 10-15 menit. Sejumlah penumpang ada berhasil keluar dari geladak dan berpegangan pada sisi kapal. Setelah 10 hingga 15 menit terbalik, kapal tersebut baru kemudian tenggelam bersama sejumlah penumpang dan sepeda motor yang berada di dalam geladak.
Kapal tidak stabil
Direktur Indonesian Maritime Center Universitas Indonesia Sunaryo mengungkapkan, secara teknis, desain dan bangunan kapal harus memenuhi standar stabilitas kapal. Untuk menjaga kestabilan kapal maka titik apung (Buoyancy/B) kapal harus berada di bawah titik beban (Gravitasi/G), dan keduanya harus berada di bawah titik Metasentrum. Jika dianalogikan dengan bandul, titik metasentrum itu merupakan titik tali bandul yang menjadi titik goyang.
Titik apung (B) merupakan daya tekan air ke atas, sedangkan titik beban (G) merupakan daya tekan beban ke bawah. Sebagai titik goyang, titik metasentrum merupakan perpotongan daya tekan ke atas dari air yang bertemu dengan gaya tekan beban ke bawah.
“Kalau titik Metasentrum di atas titik Gravitasi, ketika kapal oleng, maka akan menimbulkan momen untuk mengembalikan kapal ke posisi semula. Sebaliknya jika titik Gravitasi berada di atas titik Metasentrum, maka gaya oleng yang ditimbulkan akan meneruskan olengan kapal, sehingga kapal terbalik,” jelasnya.
Kecelakaan yang terjadi pada KM Sinar Bangun, menurut Sunaryo terjadi karena titik beban atau titik Gravitasi naik ke atas titik Metasentrum. Naiknya titik beban itu akibat banyaknya penumpang yang berada di geladak lantai 2 dan balkon.
“Kapal itu mengalami stabilitas negatif akibat titik Gravitasi naik ke atas titik Metasentrum, sehingga kapal itu mudah terguling saat dihantam ombak,” jelasnya.
Kecelakaan yang terjadi pada KM Sinar Bangun terjadi karena titik beban atau titik Gravitasi naik ke atas titik Metasentrum. Naiknya titik beban itu akibat banyaknya penumpang yang berada di geladak lantai 2 dan balkon.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari koleganya di Komisi Nasional Keselamatan Transportasinya, Sunaryo mengungkapkan bahwa lambung KM Sinar Bangun berukuran panjang 17,5 meter, lebar 4 meter, dan tinggi lambung dari dasar kapal 1,5 meter. Dengan ukuran kapal sebesar itu maka seharusnya kapal tersebut hanya berdesain 1 ruang geladak.
Sebagai angkutan penumpang, kapasitas ruang geladak harus pula memperhatikan standar pengangkutan penumpang yang manusiawi. Ruangan geladak bisa sebesar 10 meter kali 3 meter persegi, dan tinggi geladak lebih dari satu meter—sebagian tinggi bangunan geladak itu berada di badan lambung dan di atas permukaan lambung kapal.
Dengan demikian diperoleh volume ruang 30 meter kubik. Dengan volume ruang sebesar itu, kapal dapat diisi 60 penumpang. Bila dipasang 10 baris bangku, maka setiap baris diisi 6 penumpang.
“Satu geladak itu aman bagi pelayaran kapal pengangkut penumpang sebesar itu, dengan jumlah penumpang yang diangkut sebanyak 60 penumpang,” jelasnya.
Dengan konstruksi kapal dari kayu, lanjut Sunaryo, daya apung KM Sinar Bangun itu sebenarnya tinggi. Saat terbalik di tengah danau, kapal itu seharusnya dapat terapung-apung di permukaan danau mengingat massa jenis kayu lebih ringan dibandingkan air. Namun, lanjutnya, karena geladak dan permukaan lambung itu dipadati sepeda motor, maka kapal menjadi lebih berat sehingga mudah tenggelam.
“Kapal ini tenggelam karena memperoleh beban berat dari sepeda-sepeda motor yang diangkut dan diikatkan ke kapal,” jelasnya.
Akan Ditertibkan
Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Kementerian Perhubungan, Budi Setiyadi pun tak menampik, fatalnya kecelakaan KM Sinar Bangun itu bukan semata akibat cuaca buruk, melainkan desain kapal yang dilanggar. Pelanggaran itu menyebabkan titik beban kapal naik ke atas sehingga keseimbangan kapal menjadi negatif.
Dia pun tak menampik, sebagian besar desain kapal yang dioperasikan di Danau Toba menyalahi desain kapal yang aman, karena umumnya memiliki 2 geladak dan 1 balkon dari semestinya hanya 1 geladak.
“Pada pemeriksaan berikutnya, akan kami buang lantai atas kapal itu. Seharusnya hanya satu lantai (geladak). Terlalu banyak lantai (geladak) mendorong terjadinya kelebihan kapasitas. Ini jadi bikin kapal tidak seimbang,” jelasnya.
Untuk menertibkan kapal-kapal di Danau Toba, Budi mengatakan, pihaknya menggandeng Direktur Jenderal Perhubungan Laut. Menurutnya, meskipun otoritas pengelolaan penyeberangan sungai dan danau ada di Ditjen Hubdar, pihak yang mengatur standar aman kapal berada di Ditjen Perhubungan Laut.
Terlalu banyak lantai (geladak) mendorong terjadinya kelebihan kapasitas. Ini jadi bikin kapal tidak seimbang
Direktur Perkapalan dan Kelautan, Ditjen Hubla, Dwi Budi Sutrisno menyampaikan, ada indikasi aparatur di Dishub Provinsi Sumatera Utara kurang kompeten dalam memeriksa standar keamanan kapal. Hal itu dibuktikan dengan tetap diterbitkannya Sertifikat KM Sinar Bangun dengan spesifikasi 1 geladak. Padahal secara fisik kapal itu memiliki 2 geladak 1 balkon.
“Patut dipertanyakan juga apakah pejabat Dishub Provinsi Sumut itu memeriksa atau tidak kondisi fisik kapal. Kalau dia memeriksa, tentu mereka tahu kapal itu tak sesuai standar,” jelasnya.
Baca juga: Pelayaran di Danau Toba Ditertibkan
Selain itu, lanjut Budi, kawasan Danau Toba belum memiliki dock atau bengkel kapal untuk perawatan kapal secara menyeluruh. Padahal untuk menjamin keamanan kapal, pemeriksaan harus dilaksanakan hingga ke dasar kapal.
Budi pun mengungkapkan, kapal tradisional milik rakyat tak dapat dibandingkan dengan kapal ferry dan kapal pesiar yang juga memiliki beberapa geladak. Sebab, pembangunan kapal ferry dan kapal pesiar sudah melalui persetujuan Ditjen Hubla, mulai dari perancangan hingga pengelasan.
“Pembangunan kapal ferry itu menggunakan perhitungan yang ketat, mengikuti standar konvensi internasional terkait konstruksi kapal yang aman, sehingga kestabilan kapal itu tetap terjaga,” jelasnya.
Sekretaris Daerah Provinsi Sumut, R Sabrina, yang ditemui di Medan, mengakui, ada kelemahan dalam pengelolaan kapal di Danau Toba. “Bisa saja memang selama ini pengawasan itu kurang. Jadi dari sisi kita memang ada kelalaian juga. Nggak bisa dipungkiri,” ucapnya.
Sabrina pun berharap agar Kemenhub juga dapat mengawasi kinerja Dishub Provinsi Sumut dalam mengelola penyeberangan sungai dan danau. “Semua harus berbenah. Termasuk pusat juga harus menegur kita,” jelasnya.
(NIKSON SINAGA/ADITYA PUTRA PERDANA)