Belum ada aturan yang jelas mengenai perdagangan elektronik lintas batas negara setelah Perjanjian E-dagang Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) disepakati. Penetapan aturan perpajakan dan sistem pembayaran yang tepat menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah negara-negara ASEAN.
Dihubungi dari Jakarta, Sabtu (16/3/2019), Direktur Jenderal Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan mengatakan, pola arus impor dan ekspor melalui e-dagang tidak jauh berbeda dengan perdagangan konvensional. Tim Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan memeriksa barang e-dagang yang keluar atau masuk perbatasan seperti biasa.
”Dalam impor konvensional, penentuan pengenaan tarif didasarkan pada SKA (surat keterangan asal) barang. Ketentuan spesifik tentang tarif belum ditetapkan oleh DJBC untuk impor melalui e-dagang, sedangkan tarif untuk ekspor kita akan disesuaikan dengan ketetapan di setiap negara ASEAN,” tutur Oke.
Ekspor e-dagang komoditas yang diimpor dari negara di luar ASEAN pun tidak jauh berbeda. Oke mencontohkan, jika pelaku e-dagang menjual barang impor dari China ke negara ASEAN lainnya, aturan dalam Perjanjian Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China tetap berlaku sehingga tidak ada tarif yang dikenakan.
Perjanjian E-dagang ASEAN ditandatangani dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-33 ASEAN, di Singapura, 12 November 2018. Dalam kesepakatan ini, kesepuluh negara anggota ASEAN berkomitmen membuat aturan hukum untuk mengatur transaksi perdagangan elektronik yang dapat diterapkan dalam e-dagang internasional.
Negara-negara ASEAN didorong bekerja sama dalam pengembangan beberapa bidang, seperti infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi, keamanan transaksi elektronik, dan pembayaran. Perjanjian itu juga mendorong fasilitasi perdagangan digital, seperti formulir bea cukai dalam format digital.
Saat ini, Perjanjian E-dagang ASEAN menunggu tahap ratifikasi. Namun, belum ada peraturan tentang ekspor impor e-dagang selain Pasal 65 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Peraturan Pemerintah tentang Perdagangan melalui Sistem Elektronik pun masih berupa rancangan.
Saling lempar
Dihubungi secara terpisah, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag Iman Pambagyo mengatakan, tidak semua urusan perdagangan dengan ASEAN menjadi urusan Kemendag. ”Soal e-dagang, sebaiknya tanya kepada Kemkominfo dan Kemenkeu,” katanya.
Pelaksana Tugas Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Komunikasi dan Informatika Ferdinandus Setu menyebutkan, urusan ekspor impor melalui e-dagang dan formulir bea cukai elektronik berada di ranah Kemendag. Sejauh ini, belum ada pembahasan mengenai peran Kemkominfo terkait e-dagang di tingkat ASEAN.
Sementara itu, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu Heru Pambudi tidak merespons ketika dihubungi.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, mengatakan, peraturan e-dagang saat ini hanya mencakup perpajakan terhadap pedagang dan penyedia jasa di platform. Ke depan, DJBC bisa bekerja sama dengan platform untuk mengecek barang-barang impor yang dijual secara dalam jaringan (daring), termasuk ke luar negeri.
DJBC bisa bekerja sama dengan platform untuk mengecek barang-barang impor yang dijual daring, termasuk ke luar negeri.
Pembayaran
Meskipun mekanisme lalu lintas ekspor impor tidak jauh berbeda, terdapat perbedaan mendasar antara ekspor impor konvensional melalui e-dagang. Penjual dan pembeli dalam e-dagang tidak bertemu langsung dan volume transaksi cenderung kecil. Karena itu, ujar Oke, diperlukan metode pembayaran khusus untuk memudahkan e-dagang lintas batas negara di ASEAN.
”Pemerintah belum ada kesepakatan tentang saluran arus pembayaran, misalnya PayPal atau (platform) lainnya. Perlu koordinasi dengan BI (Bank Indonesia), Kemenkeu, dan Kemkominfo,” lanjut Oke.
Manajer Kantor Teknologi Finansial Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI Saryo mengatakan, belum ada pembahasan mengenai sistem pembayaran.
Menurut Bhima, kerja sama antarnegara anggota ASEAN perlu ditingkatkan. BI bisa bekerja sama dengan bank sentral negara-negara ASEAN lain untuk menciptakan sistem pembayaran yang terintegrasi.
”Apa pun perjanjian yang dibuat ASEAN, kontennya pasti positif dan normatif, termasuk tentang e-dagang. Makanya, perlu komitmen pemerintahan masing-masing dalam integrasi sistem pembayaran yang murah dan dapat dioperasikan dengan baik,” ucap Bhima.
Integrasi pasar e-dagang ASEAN dapat mendorong pertumbuhan e-dagang di Asia Tenggara. Pada 2018, nilai transaksi e-dagang di kawasan mencapai 23 miliar dollar AS dan diproyeksikan tumbuh hingga 102 miliar dollar AS pada 2025.
Pertumbuhan ekonomi kawasan cukup tinggi. Pada 2018, misalnya, ekonomi Vietnam tumbuh 7,08 persen, sementara Filipina tumbuh 6,7 persen. ”Kelas menengah di semua negara ASEAN sedang naik sehingga transaksi e-dagang juga meningkat,” kata Bhima.
Untuk menopang pertumbuhannya, lanjut Bhima, diperlukan penyetaraan kapasitas infrastruktur digital dan internet di tingkat regional. Mengutip laman ASEANBriefing.com, rata-rata kecepatan internet di Asia Tenggara 12,4 megabita per detik (Mbps). Singapura menempati posisi pertama dengan 61 Mbps, disusul Thailand (17,7 Mbps) dan Vietnam (13,1 Mpbs). Indonesia menempati posisi ke-7 dengan 4,1 Mbps.
Di lain pihak, Ferdinandus menegaskan, infrastruktur internet Indonesia sudah cukup siap dengan Palapa Ring. ”Palapa Ring Paket Barat dan Tengah sudah 100 persen sejak November 2018, sedangkan Paket Timur sudah 94,6 persen, tinggal sedikit lagi. Harapannya, pertengahan tahun ini sudah selesai secara keseluruhan,” kata Ferdinandus. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)