Bayi KQS tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan keluarganya. Namun, dia harus menerima tindak kekerasan dari ayahnya sendiri, hingga akhirnya ajal menjemput KQS di usia tiga bulan.
Oleh
Aditya Diveranta
·3 menit baca
Bayi KQS tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan keluarganya. Namun, dia harus menerima tindak kekerasan dari ayahnya sendiri, hingga akhirnya ajal menjemput KQS di usia tiga bulan.
Belakangan diketahui, kelahiran bayi perempuan itu tidak dikehendaki ayahnya, MS (23). KQS sudah berusia dua bulan di dalam kandungan saat MS menikahi S (22). MS merasa terpaksa menikahi S yang telah mengandung anaknya.
Psikolog Tika Bisono menilai, fenomena kekerasan pada KQS dipicu ketidaksiapan pasangan menghadapi pernikahan. Apalagi, salah satu pihak ada yang merasa berat hati untuk melakukan pernikahan. Lantas, pelampiasan itu ditumpahkan pada anak mereka yang tidak berdosa.
”Ada persiapan mental yang harus matang dalam pernikahan, sementara pasangan ini masih berusia cukup muda. Padahal, ada faktor kepribadian dan emosi pasangan yang juga perlu diperhatikan,” kata Tika.
Dalam usia yang cukup muda, menurut Tika, pasangan itu masih memerlukan pendampingan dari orangtua. Saat terjadi hal seperti ini, wajar apabila kita bertanya ke mana orangtua yang mestinya berperan memberikan nilai-nilai tentang kehidupan berumah tangga.
Tika mengatakan, hal yang juga perlu diperhatikan adalah faktor kepribadian pasangan. MS yang diketahui berkepribadian temperamen perlu ditelisik kehidupan masa lalunya. Tika menilai, seseorang yang tumbuh dewasa dengan sifat ini biasanya mewarisi didikan yang kurang baik di masa lalu.
”Didikan yang didapat oleh MS juga turut berperan penting. Kita perlu tahu masa lalu seperti apa yang dialami MS sehingga dia tega berbuat seperti itu,” ujarnya.
Komisioner dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Ai Maryati, mengatakan bahwa tindak kekerasan ini dilandasi kesalahan prinsip dalam meyakini hubungan pernikahan. Sejak awal, MS berpikiran bahwa KQS yang lahir di luar pernikahan akan membawa kemalangan.
Ai mengatakan, adanya sikap temperamental serta kesalahan perspektif dalam menyikapi kelahiran anak turut berkontribusi pada pola pengasuhan yang negatif. Terlebih lagi, S sebagai ibu korban terus menyalahkan diri sendiri atas kekerasan yang dialami korban.
”Dari keterangan S, KQS tidak hanya mengalami kekerasan pada saat peristiwa terjadi. Ketika KQS berumur satu setengah bulan, MS pernah mematahkan kaki dan tulang punggung KQS. Sejumlah kejadian ini seharusnya menjadi deteksi bahwa pihak orangtua perlu segera melapor kepada pihak berwajib,” tutur Ai.
Menurut Tika, setelah kejadian ini, pasangan MS dan S perlu menjalani program konseling dari ahli psikologi. Tujuannya adalah untuk menyelami masalah mereka, terutama dalam menjalani hubungan pernikahan.
Selain itu, perlu dipahami bahwa pernikahan membutuhkan kematangan mental dari pasangan. Apabila memang harus menjalani pernikahan di usia muda, berarti kedua belah pihak memerlukan pendampingan dari orangtua.
”Usia muda merupakan momentum untuk belajar mengambil keputusan pertama kalinya. Karena itu, kehadiran orangtua mereka juga turut berperan dalam mengatasi kegagalan dalam berumah tangga,” ujar Tika. Jangan sampai ada korban lagi karena ketidaksiapan orangtua.