Mei yang Sendu bagi Theresa May
Perdana Menteri Inggris Theresa May, Jumat (24/5/2019), mengumumkan mundur sebagai Ketua Partai Konservatif, berlaku efektif sejak 7 Juni 2019. Setelah ketua baru terpilih, ia pun meletakkan jabatannya sebagai PM.
Perdana Menteri Inggris Theresa May, Jumat (24/5/2019), mengumumkan mundur sebagai Ketua Partai Konservatif, berlaku efektif sejak 7 Juni 2019. Setelah ketua baru terpilih, ia pun meletakkan jabatannya sebagai PM, tetapi akan menjadi penjabat sampai PM baru terpilih.
Kegagalan May dalam kapasitasnya sebagai PM Inggris untuk mencapai kesepakatan Brexit merupakan pil pahit yang harus dia telan. Upayanya untuk meloloskan kesepakatan Brexit justru tidak mendapat dukungan dari parlemen. Tiga kali May mengajukan proposal Brexit, tiga kali pula parlemen menolaknya.
”Dalam alam demokrasi, jika Anda memberikan pilihan kepada rakyat, Anda bertanggung jawab untuk mengimplementasikannya. Saya telah berupaya semaksimal mungkin untuk melakukan itu. Kini saatnya perdana menteri baru yang akan mengupayakan itu,” tutur May, yang dengan suara tersendat menyatakan, menjadi PM adalah kehormatan bagi dirinya (Kompas, 25/5/2019).
Baca juga: Theresa May Gagal Meyakinkan Parlemen
Sosok May menjadi bahan pergunjingan internasional selama dua tahun ini. May, perempuan yang identik dengan rambut pendek bob berwarna putih, lahir pada 1 Oktober 1956 di Sussex, Inggris tenggara. Ia adalah anak dari pasangan pendeta gereja Inggris bernama Hubert Brasier dan Zaidee Mary.
May ketika bersekolah merupakan anak yang pemalu, tetapi rajin. Beranjak dewasa, ia dikenal sebagai sosok yang berambisi tinggi. Pat Frankland, teman kuliahnya di University of Oxford, pernah menyebutkan, May ingin menjadi perdana menteri perempuan pertama di Inggris sehingga sempat kesal ketika impiannya direbut Margaret Thatcher.
Setelah lulus pada 1977, May bekerja di Bank of England. Namun, panggilan dirinya selalu terarah untuk masuk ke politik. Setelah mulai menjajaki dunia politik pada 1992, May akhirnya terpilih sebagai anggota parlemen dari wilayah Maidenhead dalam pemilu 1997.
Karier politik May tumbuh pesat. Sebelum menjabat Ketua Partai Konservatif sejak Juli 2016 dan PM Inggris, May pernah menduduki jabatan penting sebagai Menteri Perempuan dan Kesetaraan serta Menteri Dalam Negeri.
Dalam alam demokrasi, jika Anda memberikan pilihan kepada rakyat, Anda bertanggung jawab untuk mengimplementasikannya.
Puncak karier May adalah menjadi perdana menteri pada 13 Juli 2016, menggantikan David Cameron. Ia merupakan perempuan kedua yang menduduki posisi PM Inggris.
Mengutip New York Times, Cameron mewariskan misi sulit untuknya, yaitu memutuskan apakah Inggris perlu keluar dari Uni Eropa (UE) atau tidak. Rencana itu dikenal dengan istilah Brexit, sebuah sebutan paduan dari kata ”Britain” atau ”British” dan ”exit” (keluar).
Isu Brexit diperkirakan muncul sejak 1975 atau hanya dua tahun sejak Inggris bergabung dengan UE. Jika Inggris keluar, hubungan negara itu dengan negara-negara UE dalam perdagangan, keamanan, dan imigrasi akan berubah.
Pada 2013, Cameron menjanjikan referendum nasional untuk menuntaskan perdebatan mengenai Brexit. Akhirnya, survei dilakukan pada 23 Juni 2016 yang kala itu isu imigrasi hangat dibicarakan di Eropa. Alhasil, hasil survei menyatakan 52 persen warga Inggris ingin agar Brexit terwujud.
Setelah menggantikan Cameron, May harus mengerjakan misi sulitnya untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Brexit atau Withdrawal Agreement Bill. Dua partai utama Inggris, Partai Konservatif dan Partai Buruh, memiliki pandangan yang berbeda mengenai apa yang harus dilakukan untuk mencapai kesepakatan dengan UE.
Ada anggota parlemen yang menginginkan ”hard Brexit” atau putus hubungan secara penuh (total) dengan UE, tetapi ada juga yang berseberangan. Rencana yang diusulkan May tidak pernah mendapatkan suara mayoritas.
Saya melakukan tugas tanpa niat jahat, tetapi dengan rasa terima kasih.
Proposal Brexit May berisi rencana menjaga program perdagangan dan bea cukai antara Inggris dan UE untuk sementara, tetapi akan memotong hubungan keduanya dengan signifikan di masa depan. Sebanyak tiga kali ia mempresentasikan rencananya ke parlemen, tetapi ketiganya ditolak mentah-mentah oleh parlemen ketika mereka melakukan pemungutan suara.
Dalam pemungutan suara pada Januari 2019, proposal pertama May ditolak mayoritas anggota parlemen. Sebanyak 432 suara menolak dan 202 suara setuju. Proposal kedua dan ketika pada Maret 2019 pun bernasib sama, masing-masing 391 suara menolak dan 242 suara serta 344 suara menolak dan 286 suara setuju.
Baca juga: Jalan Buntu bagi Theresa May
Kondisi itu membuat May terpaksa bernegosiasi dengan Partai Buruh untuk membuat rencana ”soft Brexit” atau tidak benar-benar putus hubungan dengan UE. Namun, negosiasi tidak berhasil. May akhirnya tidak dapat menawarkan rencananya untuk keempat kali dan May pun memilih mundur.
Buka jalan
May pun muncul dengan setelan jas dan rok berwarna merah dalam konferensi pers pada Jumat, 24 Mei. Dengan suara berat dan tersendat, ia menyampaikan pidato pengunduran dirinya.
”Saya akan segera meninggalkan pekerjaan yang selama ini merupakan kehormatan bagi saya untuk menjabat. Saya melakukan tugas tanpa niat jahat, tetapi dengan rasa terima kasih karena telah berkesempatan melayani negara yang saya cintai. Saya adalah perdana menteri perempuan kedua, tetapi yang pasti bukan yang terakhir,” tutur May di rumah dinas Downing Street.
May melanjutkan, dirinya mundur untuk membuka jalan bagi perdana menteri baru menyelesaikan Brexit. Isu Brexit akan terus menjadi penyesalan terdalam baginya karena tidak dapat terwujud. Sambil menahan tangis, ia bergegas menyelesaikan pidato dan kembali masuk ke rumah dinasnya.
Pengunduran May mengundang reaksi sejumlah pejabat dan pemimpin negara. Kepala Negosiator Brexit dari Komisi Uni Eropa Michel Barnier berkicau di Twitter. Ia menghormati May dan tekad May sebagai perdana menteri untuk melaksanakan pengunduran diri Inggris dari blok UE.
Kanselir Jerman Angela Merkel melalui juru bicaranya, Martina Fietz, menyampaikan, dalam pemilihan yang penting, suara penolakan yang tidak menawarkan alternatif akan menyebabkan kebuntuan. Merkel memandang keputusan May dengan hormat. Merkel berjanji tetap bekerja sama dengan May hingga selesai menjabat, dengan semangat yang sama untuk menjaga hubungan Jerman-Inggris.
Presiden Perancis Emmanuel Macron memuji pekerjaan berani May untuk mengupayakan implementasi Brexit demi kepentingan negara sembari menunjukkan penghormatan kepada UE. Namun, prinsip UE akan terus berlaku untuk memprioritaskan kelancaran fungsi UE sehingga membutuhkan klarifikasi yang cepat.
Adapun pengunduran diri May justru berbahaya bagi Irlandia. Penerus May dapat menarik diri dari UE tanpa kesepakatan. ”Politik Inggris telah dikonsumsi oleh Brexit dan akan berlanjut dalam waktu lama. Ini berarti kami memasuki fase baru Brexit dan fase itu dapat berbahaya bagi Irlandia,” tutur PM Irlandia Leo Varadkar, memperingatkan.
Baca juga: May Terus Ditekan untuk Mundur
Juru Bicara Presiden Rusia Vladimir Putin, Dmitry Peskov, mengatakan, selama May menjabat, hubungan Rusia dan Inggris berada dalam masa yang sulit. May sebagai perdana menteri menyulitkan hubungan bilateral kedua negara.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan, dirinya menyesal atas keputusan May kendati sebelumnya berkali-kali mengkritik strategi May dalam menangani Brexit.
”Saya merasa buruk karena Theresa. Saya menyukainya. Ia adalah orang yang baik, bekerja keras, dan kuat,” ucapnya.
Warisan lama
Sejarah berulang. Jika dulu Cameron yang mewariskan isu Brexit kepada May, sekarang May akan mewariskan misi sulit untuk penggantinya. Apalagi, batas waktu bagi Inggris untuk menyelesaikan proposal Brexit adalah 31 Oktober 2019.
Dalam pidato pengunduran dirinya, May mengatakan, penggantinya harus mampu meraih konsensus untuk menghormati hasil referendum yang dilakukan pada 2016. Kepergian May memperdalam krisis Brexit karena perdana menteri baru diperkirakan akan mendorong terjadinya ”hard Brexit”.
Pemilihan perdana menteri baru akan dimulai pekan depan. Salah satu sosok yang dinilai menjadi calon kuat penerus May adalah Boris Johnson. Johnson merupakan politikus dari Partai Konservatif. Ia merupakan pendukung utama Brexit dan menjadi tokoh kampanye Brexit pada 2016.
Sementara itu, calon lainnya adalah Dominic Raab yang juga berasal dari Partai Konservatif. Nama-nama lain yang muncul adalah Menteri Lingkungan Michael Gove, mantan Ketua Majelis Rendah asal Konservatif Andrea Leadsom, Menteri Luar Negeri Jeremy Hunt, Menteri Pertahanan Penny Mordaunt, Menteri Pembangunan Internasional Rory Stewart, dan Menteri Dalam Negeri Sajid Javid.
Juru Bicara Pemerintah Spanyol Isabel Celaá menyampaikan, ”hard Brexit” kemungkinan besar akan terjadi. Pemerintah Inggris akan bertanggung jawab penuh atas konsekuensi yang muncul jika tidak memperoleh kesepakatan Brexit.
Kondisi semakin rumit karena UE tetap pada pendiriannya. Presiden Komisi UE Jean-Claude Juncker mengatakan, pengunduran diri May tidak berdampak apa-apa pada blok UE itu. UE tak akan mengubah posisi terhadap kesepakatan Perjanjian Penarikan yang telah disetujui dengan Inggris pada November 2018. (REUTERS/AFP/BBC/THE GUARDIAN)