Tentara Pembunuh Warga Rohingya Hanya Dipenjara Kurang dari Setahun
Myanmar mengabulkan pembebasan awal tujuh tentara yang dipenjara karena membunuh 10 warga Rohingya pada 2017. Para pelaku hanya menjalani masa hukuman kurang dari 1 tahun dari putusan hukuman yang sebelumnya ditetapkan 10 tahun.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
YANGON, SENIN — Myanmar mengabulkan pembebasan awal tujuh tentara yang dipenjara karena membunuh 10 warga Rohingya pada 2017. Para pelaku hanya menjalani masa hukuman kurang dari 1 tahun dari putusan hukuman yang sebelumnya ditetapkan selama 10 tahun.
Reuters memperoleh keterangan dari 2 petugas penjara, 2 bekas narapidana, dan 1 tentara bahwa ketujuh tentara itu bebas sejak November 2018. Mereka sebelumnya dihukum selama 10 tahun penjara karena membunuh 10 orang laki-laki dan anak-anak Rohingya di Desa Inn Din, bagian barat Rakhine, ketika terjadi operasi militer.
Kepala Sipir Penjara Sittwe, Rakhine, Win Naing dan seorang pejabat senior penjara di ibu kota Naypyidaw mengonfirmasi, ketujuh tentara itu tidak lagi berada di dalam penjara selama beberapa bulan. ”Hukuman mereka dikurangi oleh kemiliteran,” kata pejabat senior yang menolak menyebutkan namanya itu.
Kedua pejabat penjara tersebut juga menolak memberikan penjelasan lebih lanjut terkait pembebasan para tentara dan mengklaim tidak mengetahui tanggal pasti pembebasan mereka—yang juga tidak diumumkan kepada publik. Sementara itu, juru bicara militer Myanmar, Zaw Min Tun dan Tun Tun Nyi, menolak berkomentar.
Myanmar mengabulkan pembebasan awal tujuh tentara yang dipenjara karena membunuh 10 warga Rohingya pada 2017. Para pelaku hanya menjalani masa hukuman kurang dari 1 tahun dari putusan hukuman yang sebelumnya ditetapkan 10 tahun.
Pembunuhan 10 warga Rohingya oleh tujuh tentara merupakan satu-satunya kasus yang diproses terkait insiden dalam operasi militer di Rakhine pada 2017. Pihak militer tidak memberikan informasi apa pun terkait nama dan peran mereka dalam pembunuhan.
Operasi militer di Rakhine membuat 730.000 penduduk Rohingya, yang mayoritas beragama Islam, melarikan diri ke Bangladesh. Para penyelidik dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan, operasi militer tersebut dilakukan cenderung bersifat genosida, terdiri dari pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pembakaran.
Myanmar secara tegas membantah tuduhan tersebut. Para pejabat menggunakan penghukuman ketujuh tentara yang terlibat dalam kasus pembunuhan di Inn Din itu sebagai bukti pihak keamanan Myanmar tidak kebal hukum.
Terkenal di penjara
Dua bekas narapidana di Penjara Sittwe menceritakan, ketujuh tentara yang dihukum itu merupakan sosok yang terkenal di antara para narapidana. Mereka mendapatkan perlakuan istimewa selama berada di penjara.
”Para tentara diberi bir dan rokok. Kemewahan tersebut dilarang bagi narapidana lain,” ujar Aung Than Wai, salah satu bekas narapidana yang juga aktivis politik.
Aung Than Wai mengatakan, dirinya berada di dalam gedung yang sama dengan para tentara itu, tetapi ditempatkan dalam sel berbeda. Aung Than Wai menghabiskan hampir enam bulan di penjara karena mengkritik pejabat negara dan mengunggah foto pejabat tersebut secara daring.
Aung Than Wai dibebaskan pada Desember 2019. Ia mengatakan ingin berbicara kepada publik mengenai pembebasan awal para tentara itu karena seorang warga desa bernama Tun Aye dari etnis Rakhine yang beragama Buddha masih dipenjara. Tun Aye dihukum 5 tahun penjara atas pembunuhan di Penjara Buthidaung.
Bekas narapidana lainnya yang menolak menyebutkan nama menyampaikan, para tentara itu juga dikunjungi sejumlah pejabat militer. Ketujuh tentara tersebut kemudian dibawa oleh kendaraan militer pada November 2018.
Pada bulan yang sama, Zin Paing Soe yang merupakan salah satu tentara yang terlibat pembunuhan membuat akun Facebook baru. Dalam salah satu unggahan di media sosial itu, Zin Paing Soe menulis bahwa dirinya menyangka akan menghabiskan akhir tahun di penjara dan merasa tahun 2018 adalah tahun yang mengubah hidupnya.
Ketika dihubungi lewat telepon, Kamis (23/5/2019), Zin Paing Soe mengonfirmasi bahwa dirinya telah bebas, tetapi menolak mengelaborasi lebih jauh. ”Kami diperintah untuk diam,” ujarnya.
Lebih cepat
Pembebasan ketujuh tentara itu jauh lebih cepat dari pembebasan Wa Lone (33) dan Kyaw Soe Oo (29), jurnalis Reuters di Myanmar, yang ditangkap karena mengetahui kasus pembunuhan tersebut. Wa Lone dan Kyaw Soe Oo mengambil gambar sebelum dan sesudah 10 warga Rohingya dibunuh serta menemukan tempat tubuh mereka dibuang.
Pembebasan ketujuh tentara itu jauh lebih cepat dari pembebasan Wa Lone (33) dan Kyaw Soe Oo (29), jurnalis Reuters di Myanmar, yang ditangkap karena mengetahui kasus pembunuhan tersebut.
Wa Lone dan Kyaw Soe Oo ditahan sejak Desember 2017. Pengacara pembela berargumen, penahanan dan persekusi keduanya bertujuan untuk menghalangi publikasi berita pembunuhan. Salah satu petugas polisi bersaksi bahwa seorang anggota polisi senior memerintah agar kedua jurnalis dijebak dan ditangkap.
Berita mengenai pembunuhan dipublikasi Reuters pada Februari 2018. Pengadilan Myanmar kemudian menghukum mereka 7 tahun penjara dengan tuduhan memperoleh rahasia negara.
Kedua jurnalis akhirnya menghabiskan total 16 bulan di balik jeruji. Wa Lone dan Kyaw Soe Oo baru bebas setelah memperoleh amnesti pada 6 Mei 2019. (REUTERS)