Wiranto: TNI/Polri ke Papua Bukan untuk Menembak Rakyat
Pemerintah kembali menekankan, cara-cara persuasif dikedepankan oleh aparat keamanan, TNI/Polri, dalam memulihkan kondisi keamanan di Papua.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menekankan pengerahan pasukan TNI/Polri ke Papua dan Papua Barat bukan untuk membunuh rakyat. Mereka hadir untuk mengamankan unjuk rasa agar tidak anarkistis. Mereka juga hadir untuk menjaga rakyat dari serangan kelompok kriminal bersenjata.
"TNI dan Polri datang bukan untuk menembak rakyat," kata Wiranto saat jumpa pers, di Kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), di Jakarta, Jumat (30/8/2019).
Oleh karena itu, dia memastikan aparat keamanan tidak pernah menggunakan peluru tajam saat mengamankan unjuk rasa. Tak hanya itu, aparat keamanan telah diinstruksikan untuk mengedepankan dialog atau cara-cara persuasif lainnya saat menghadapi para pengunjuk rasa.
Dengan demikian, Wiranto meminta kehadiran TNI/Polri tidak dibenci oleh masyarakat Papua. Dia prihatin karena dalam sejumlah unjuk rasa di Papua, personel keamanan menjadi sasaran amuk massa.
Seperti diketahui, gelombang unjuk rasa di Papua dan Papua Barat bermula dari insiden ujaran kebencian bernada rasisme terhadap mahasiswa Papua di asrama mahasiswa Papua, di Surabaya, Jawa Timur, 17 Agustus lalu.
Kemarin, unjuk rasa di Jayapura, Papua berakhir rusuh setelah sebelumnya unjuk rasa yang berakhir rusuh juga terjadi di Manokwari dan Deiyai. Saat unjuk rasa di Deiyai, Rabu (28/8/2019), seorang anggota TNI Angkatan Darat gugur dan lima aparat keamanan lainnya terluka. Selain itu, dua warga yang diduga bagian dari kelompok penyerang dan perusuh.
"Untuk apa kita bunuh-bunuhan hanya gara-gara tersinggung dan perihal ketersinggungan itu sebenarnya sudah diselesaikan secara hukum," kata Wiranto.
Tuntutan dipenuhi
Dia menegaskan, tuntutan masyarakat Papua dan Papua Barat agar aparat keamanan mengusut dugaan kekerasan dan ujaran kebencian bernada rasisme terhadap mahasiswa Papua telah dipenuhi.
Sebanyak lima anggota TNI dari Kodam V/Brawijaya sudah diproses hukum, termasuk Komandan Rayon Militer 0831/02 Tambaksari Mayor Inf N.H Irianto dan seorang Bintara Pembina Desa (Babinsa).
“Danramil dan Babinsa dilanjutkan ke pemeriksaan karena diduga melanggar disiplin TNI. Sementara tiga lainnya masih berstatus saksi,” katanya.
Selain itu, Kepolisian Daerah Jawa Timur telah menetapkan Tri Susanti sebagai tersangka dalam insiden di asrama mahasiswa Papua, di Surabaya. Tri berperan sebagai koordinator lapangan saat unjuk rasa di depan asrama tersebut.
Terkait ketegangan yang masih terjadi di Papua, Wiranto kembali meminta masyarakat menghentikan tindakan anarkistis. Dialog adalah jalan terbaik.
Perusakan sejumlah fasilitas publik, katanya, pada gilirannya akan merugikan masyarakat. “Pembangunan itu mahal dan dibiayai dari uang rakyat. Bangunnya susah, tetapi bakarnya cepat,” katanya.
Dia pun menyebutkan, unjuk rasa di Papua dan Papua Barat tak lagi murni. Unjuk rasa telah ditunggangi. Kendati demikian, ia enggan menjelaskan pihak atau kelompok yang menunggangi unjuk rasa tersebut.
“Keterbukaan boleh, tetapi penjelasan yang tidak menguntungkan proses hukum dan pengendalian suasana, tidak perlu dijelaskan,” katanya saat ditanya pihak yang menunggangi unjuk rasa di kedua provinsi tersebut.
Usut provokator
Di tempat terpisah, Ketua DPR Bambang Soesatyo mendorong Polri bersama Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mengusut pihak-pihak yang memprovokasi pengunjuk rasa hingga memantik kerusuhan di Papua.
“Kami juga mendesak penyelidikan dan penindakan tegas pelaku penembakan dan pelaku kekerasan yang menggunakan senjata tajam, yang menyebabkan adanya korban jiwa dari pihak penegak hukum maupun masyarakat sipil,” katanya.
Untuk meredakan ketegangan di Papua, Bambang meminta pemerintah bersinergi dengan DPR, DPR Papua, kemudian tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh agama di Papua. Tidak hanya itu, sinergi dibutuhkan untuk mencari solusi dari penyelesaian konflik berkepanjangan di Papua.
Selain itu, dia meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) bersama Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) untuk tidak hanya memblokir jaringan akses layanan data telekomunikasi di Papua dan Papua Barat. "Namun penting juga untuk melakukan pemblokiran konten yang bersifat hoaks maupun propaganda yang bersifat memprovokasi masyarakat Papua dan membuat situasi semakin tidak kondusif," tambahnya.