Capim KPK Johanis Tanak Menuding KPK Tak Tepat Menjalankan Kewenangannya
Salah satunya terkait operasi tangkap tangan. Menurut Johanis Tanak, jika penyadapan oleh KPK memang menemukan adanya orang yang hendak korupsi, seluruh pelaku yang terlibat cukup diundang dan dimintai penjelasan.
Oleh
Riana Ibrahim dan Agnes Theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK Johanis Tanak menuding KPK tidak tepat dalam menjalankan kewenangannya. Salah satunya terkait operasi tangkap tangan. Menurutnya, jika penyadapan oleh KPK memang menemukan adanya orang yang hendak korupsi, seluruh pelaku yang terlibat cukup diundang dan dimintai penjelasan.
Johanis menyampaikan hal ini saat mengikuti uji kepatutan dan kelayakan calon pimpinan (capim) KPK oleh Komisi III DPR, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (12/9/2019).
“Seharusnya kan saat tahu ada tindak pidana bukan membiarkan, disadap, lalu ditangkap. Ini suatu penjebakan namanya yang seharusnya tidak terjadi pada suatu tindak pidana. Penyadapan yang dilakukan juga memperlihatkan KPK salah menerapkan perkembangan teknologi," katanya.
"Sebaiknya, saat ada informasi dan indikasi kebenaran langsung diundang saja yang bersangkutan, meminta penjelasan. Kan belum ada kerugian negara baru mau merencanakan,” tambah Johanis.
Capim KPK yang berlatar belakang jaksa ini juga menilai operasi tangkap tangan oleh KPK hanya membuat gaduh. Kegaduhan berpotensi membuat investor enggan berinvestasi di Indonesia. Mereka disebutnya menjadi khawatir karena terlalu banyak penangkapan.
Pernyataan Johanis kontras dengan pernyataan sejumlah orang dari kalangan dunia usaha yang diwawancarai Kompas. Mereka menyatakan gerak KPK selama ini meningkatkan kualitas layanan publik, memperbaiki iklim investasi, serta mendorong transparansi anggaran pemerintah pusat dan daerah.
Selain itu, Johanis mengkritisi keterbukaan publik melalui media yang selama ini ditunjukkan oleh KPK. “Pertanggungjawaban itu kepada DPR, bukan kepada masyarakat seperti selama ini. DPR saja sudah representasi masyarakat, jadi bukan konferensi pers seperti selama ini yang membuat gaduh,” katanya.
Hal lainnya, dia menyebut jaksa di KPK tidak berhak mengeksekusi terpidana korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap. Sebab, menurutnya, berdasarkan Undang-Undang Kejaksaan, kewenangan eksekusi hanya dimiliki kejaksaan.
Sementara terkait revisi UU KPK yang diusulkan oleh DPR, Johanis menyetujuinya. “Bukan karena ikut-ikut DPR. Saya setuju karena saya melihat banyak yang perlu diatur dalam lembaga ini,” katanya.
Dia pun menyetujui poin-poin revisi di draf RUU KPK seperti akan dihadirkannya Dewan Pengawas KPK, kewenangan penghentian perkara, dan status pegawai KPK yang akan diubah menjadi Aparatur Sipil Negara.
Intervensi Jaksa Agung
Dalam uji kepatutan dan kelayakan tersebut, sejumlah anggota Komisi III DPR juga mempertanyakan dugaan intervensi perkara dari Jaksa Agung HM Prasetyo saat dia menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah.
Johanis mengaku dirinya dipanggil Prasetyo karena tengah menangani kasus yang melibatkan mantan Gubernur Sulawesi Tengah Bandjela Paliudju. Bandjela adalah kader Partai Nasional Demokrat.
“Tidak ada saya bilang Pak JA (Jaksa Agung) intervensi. Saya menyampaikan, saya dipanggil dan diminta penjelasan terkait perkara yang saya tangani. Saya tidak mengetahui kalau itu dari partai politik. Saya mengatakan siap melakukan perintah, kalau dilanjutkan ya akan saya lanjutkan. Karena dalam UU Kejaksaan, Jaksa Agung adalah pimpinan tertinggi dalam tugas kejaksaan,” ungkap Johanis.
Dalam perkara korupsi dana operasional Gubernur Sulteng tahun 2006-2011 dan tindak pidana pencucian uang, Bandjela dituntut 9 tahun penjara, denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan. Ia juga dikenakan pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp7,78 miliar subsider 4 tahun penjara.
Namun, majelis hakim Pengadilan Negeri Palu memvonis bebas. Jaksa penuntut umum selanjutnya mengajukan kasasi dan dikabulkan oleh Mahkamah Agung (MA), 17 April 2017. MA memvonis penjara Bandjela 7 tahun 6 bulan, denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan, serta wajib membayar uang pengganti Rp 7,78 miliar subsider 3 tahun penjara.