Jadi Mendagri, Tito Karnavian Harus Adopsi Aura Kepemimpinan Sipil
Stabilitas dalam negeri menjadi prioritas Kementerian Dalam Negeri selama lima tahun mendatang. Namun, untuk mewujudkan itu, Tito Karnavian yang ditunjuk menjadi Mendagri diminta bertindak sebagai pemimpin sipil.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·4 menit baca
Stabilitas dalam negeri menjadi prioritas utama Kementerian Dalam Negeri selama lima tahun mendatang. Arah kebijakan itu diharapkan dapat menciptakan iklim investasi yang lebih ramah. Namun, untuk mewujudkan itu, mantan Kepala Polri Jenderal (Pol) Purnawirawan Tito Karnavian yang ditunjuk menjadi Menteri Dalam Negeri diminta bertindak sebagai pemimpin sipil.
Saat memperkenalkan para menteri Kabinet Indonesia Maju di teras Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (23/10/2019) pagi, Presiden Joko Widodo juga menerangkan tugas-tugas prioritas yang akan diemban setiap menteri.
Tito Karnavian yang didapuk menjadi Mendagri diminta Presiden Jokowi fokus pada tugas membina kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah guna meningkatkan kualitas iklim investasi.
”Reformasi dan sinergi dengan pemerintah daerah mengenai data kependudukan hingga e-KTP akan berada di bawah kewenangan beliau, termasuk kepastian hukum di daerah, terutama yang berkaitan dengan investasi,” kata Presiden Jokowi.
Ditemui seusai acara serah terima jabatan dengan Mendagri 2014-2019 Tjahjo Kumolo, Tito mengatakan, arahan tersebut akan diterjemahkan melalui upaya pengawasan keselarasan kebijakan dan regulasi antara pusat dan daerah.
”Jangan sampai di pusat dan di daerah kebijakannya lain lagi. Itulah fungsi Kemendagri, untuk menyesuaikan kebijakan pusat dan daerah dengan spirit utama mempermudah iklim investasi,” ucap Tito.
Selain itu, keamanan dalam negeri juga akan menjadi agenda utama Tito sebagai Mendagri. Aspek keamanan, kata Tito, menjadi unsur utama masuknya aliran investasi ke dalam negeri. ”Karena, untuk investasi, syarat utama adalah security, keamanan, itu nomor satu,” lanjutnya.
Aura sipil
Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menilai, pemilihan Tito sebagai Mendagri mengisyaratkan pemerintahan Jokowi-Amin melihat radikalisme sebagai salah satu problem utama di daerah.
Radikalisme selama ini memang menjadi salah satu permasalahan pertahanan dan keamanan. Padahal, stabilitas dalam negeri menjadi salah satu prasyarat utama dalam upaya peningkatan kualitas iklim investasi sebuah negara.
Kombinasi Tito sebagai Mendagri dan Kementerian Pertahanan yang digawangi Prabowo Subianto, Kementerian Polhukam yang dijabat Mahfud MD, hingga Badan Intelijen Negara (BIN) yang diduduki Komisaris Jenderal Budi Gunawan dirasa Robert sebagai pertanda bahwa upaya penanggulangan radikalisme menjadi fokus utama pemerintahan dalam negeri lima tahun mendatang.
”Jadi terlihat bahwa misi utama rezim dalam negeri tampaknya adalah membendung potensi radikalisme di daerah,” kata Robert.
Jika memang itu tujuannya, dia meminta Tito untuk meninggalkan aura kepemimpinan yang militeristik dan mengadopsi pendekatan sipil. Terlebih karena dia sudah menanggalkan status Polri-nya, ditambah lagi dia kini sudah masuk dalam struktur pemerintahan sipil.
”Jadi, saya harap, Pak Tito mengadopsi aura kepemimpinan yang sipil, yang mengedepankan konsensus ketimbang main gebuk seperti militer. Pak Tito, mohon dorong pemda untuk lebih adil dalam hal alokasi pendanaan dan kebijakan. Kemudian, hadirkan kesejahteraan dan keadilan. Sebab, akar dari radikalisme adalah ketidakadilan, keterasingan, dan akses layanan publik yang tidak diperoleh,” tutur Robert.
Saya harap, Pak Tito mengadopsi aura kepemimpinan yang sipil, yang mengedepankan konsensus ketimbang main gebuk seperti militer. (Robert Endi Jaweng)
Contohnya, Tito diminta untuk melakukan pendekatan kesejahteraan dalam menanggulangi radikalisme ataupun diskriminasi SARA di daerah.
Kiprah Tito pada bidang penanggulangan teror dalam negeri memang cukup panjang. Tim Detasemen 88 Antiteror yang dipimpinnya berhasil menyergap dan membunuh dua otak aksi teror bom di Indonesia, yakni Dr Azahari dan Noordin M Top.
Sebelum menjadi Kepala Polri pada 2016, Tito memimpin Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) setelah dipromosikan dari jabatan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Di bidang akademik, Tito juga memiliki kepakaran dalam bidang terorisme dan radikalisme. Pada 2013, ia menyelesaikan gelar PhD bertopik ”Terrorism and Islamist Radicalization” di Rajaratnam School of Internasional Studies, Nanyang Technological University, Singapura.
Pemilihan Tito sebagai Mendagri pada Kabinet Indonesia Maju 2019-2024 tergolong sebagai kejutan. Hal ini menandai pertama kalinya seseorang dari unsur kepolisian masuk menjadi mendagri. Dari 10 mendagri sejak dimulainya era Reformasi, tujuh menteri adalah purnawirawan perwira tinggi TNI, sedangkan dua orang lainnya adalah sipil.
Nonpartisan
Status Tito yang bukan anggota partai pun menjadi faktor pembeda dibandingkan dengan pendahulunya, Tjahjo Kumolo, yang kini menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Tjahjo adalah politikus sipil pertama yang menduduki jabatan mendagri sejak era Reformasi.
Peneliti Departemen Politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, mengatakan, Tito yang tidak berasal dari parpol menjadi penting dalam posisi mendagri.
Sebab, menurut dia, posisi mendagri menjadi vital dalam penentuan kebijakan politik elektoral dalam lima tahun mendatang. Kemendagri akan turut merumuskan undang-undang kepartaian, pemilihan kepala daerah, hingga pemerintah daerah bersama DPR.
”Itu, kan, sebagian akan direvisi. Nah, pemilihan Tito memberikan status yang lebih adil sebagai perwakilan pemerintah di antara berbagai partai di parlemen,” kata Arya.