Jelang Musim Hujan, Masyarakat Perlu Waspadai Bencana Tanah Longsor
Setelah dilanda kemarau sejak Mei lalu, sebagian wilayah pantai utara Jawa Tengah bagian barat diperkirakan akan diguyur hujan mulai pertengahan November mendatang.
Oleh
KRISTI UTAMI
·4 menit baca
BREBES, KOMPAS — Setelah dilanda kemarau sejak Mei lalu, sebagian wilayah pantai utara Jawa Tengah bagian barat diperkirakan akan diguyur hujan mulai pertengahan November mendatang. Salah satu bencana yang berpotensi terjadi di musim hujan seperti tanah longsor patut diwaspadai. Di Jateng, 30 dari 35 kabupaten/kota yang yang ada dinilai rawan longsor.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Tegal memperkirakan, wilayah pantai utara (pantura) barat, seperti Brebes, Tegal, Kota Tegal, Pemalang, Pekalongan, Kota Pekalongan, dan Batang, akan diguyur hujan pada minggu kedua dan ketiga November. Sementara puncak musim hujan diperkirakan terjadi pada Januari-Februari 2020.
”Bencana seperti banjir dan longsor di beberapa daerah patut untuk diwaspadai saat musim hujan,” kata prakirawan cuaca BMKG Tegal, Sri Nur Latifah, Jumat (25/10/2019).
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jateng memperkirakan, sekitar 642.000 keluarga dari 342 kecamatan di 30 kabupaten/kota di Jateng terancam bencana tanah longsor.
Kepala Pelaksana Harian BPBD Jateng Sudaryanto mengatakan, pihaknya sudah dan akan terus melakukan pelatihan mitigasi bencana untuk menekan risiko bencana.
Pelatihan mitigasi dari BPBD Jateng diadakan selama dua hari. Kami diajari tentang langkah-langkah menangani dan menanggulangi bencana longsor. Selain itu, kami juga dilatih untuk memiliki ketahanan mental agar bisa segera bangkit setelah terjadi bencana.
Pelatihan tersebut dilakukan di beberapa daerah, antara lain Kabupaten Brebes, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Pekalongan, dan Kabupaten Pemalang.
Camat Salem, Kabupaten Brebes, Nur Ali mengatakan, di daerahnya, pelatihan mitigasi bencana dari BPBD Jateng dilaksanakan pada sekitar dua pekan lalu. Pelatihan tersebut diikuti oleh beberapa perwakilan warga yang terdiri dari pemerintah desa, sukarelawan, Kelompok Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga, Barisan Ansor, dan lain-lain.
”Pelatihan mitigasi dari BPBD Jateng diadakan selama dua hari. Kami diajari tentang langkah-langkah menangani dan menanggulangi bencana longsor. Selain itu, kami juga dilatih untuk memiliki ketahanan mental agar bisa segera bangkit setelah terjadi bencana,” ucap Nur.
Tahun lalu, bencana tanah longsor dan banjir melanda Desa Pasir Panjang dan Desa Capar, Kecamatan Salem, yang lokasinya berada di daerah perbukitan. Lebar longsor kala itu diperkirakan 300-500 meter dan panjang luncurannya sekitar 3 kilometer. Adapun luas areal terdampak longsor saat itu 6-7 hektar.
Longsor yang dinilai merupakan yang terbesar dalam lima tahun terakhir tersebut mengakibatkan fasilitas publik rusak, belasan orang meninggal, dan ratusan orang mengungsi. Pada saat itu, Bupati Brebes Idza Priyanti mengatakan, pemerintah mewacanakan relokasi bagi warga yang rumahnya rusak terdampak longsor serta banjir bandang di Kecamatan Salem tersebut (Kompas, 26/2/2018).
Zona merah
Menurut Nur, sebanyak 21 desa yang berada di Kecamatan Salem masuk dalam zona merah atau daerah rawan longsor. Saat musim hujan tiba, longsoran kecil, sedang, hingga besar sering kali terjadi. Hal itu mengindikasikan bahwa relokasi mendesak dilakukan.
Nur menuturkan, rencana relokasi tersebut hingga saat ini belum dilakukan. Sebab, sebagian besar warga tidak ingin dipindah. Alasannya, mereka merasa nyaman tinggal di daerah tersebut.
Salah satu warga Desa Pasir Panjang, Kusneri (47), mengatakan tidak mau direlokasi, padahal dirinya tahu bahwa daerahnya merupakan daerah rawan longsor. Tahun lalu, misalnya, beberapa rumah yang berjarak sekitar 100 meter dari rumahnya rusak akibat terkena material longsoran.
”Bagi kami, longsor itu sudah biasa terjadi. Kira-kira kami sudah hafal harus bagaimana. Tahun lalu sudah longsor besar, menurut saya, tahun ini tidak mungkin akan longsor lagi,” tutur Kusneri.
Secara terpisah, Guru Besar Manajemen Lingkungan Universitas Diponegoro Sudharto P Hadi mengatakan, masyarakat yang tinggal di zona merah bencana harus direlokasi. Namun, relokasi juga tidak bisa serta-merta dilakukan. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi dan menjamin ketersediaan tempat relokasi yang aman.
”Hal itu dapat dilakukan dengan cara membuat pemetaan daerah-daerah rawan. Jika memang ada daerah rawan atau zona merah, tetapkan daerah tersebut sebagai daerah konservasi. Dengan begitu, tidak ada lagi yang tinggal di daerah tersebut kecuali yang mau dipidana,” ucap Sudharto.
Ia mengungkapkan, selama ini, penanganan bencana banjir dan longsor masih bersifat reaktif. Artinya, penanganannya hanya dilakukan saat terjadi bencana. Padahal, penanganan yang proaktif seperti pengkajian ulang terhadap tata ruang dan pemetaan daerah rawan bencana perlu dilakukan. Dengan demikian, ke depan tidak terjadi bencana serupa dan jumlah kerugian bagi harta benda ataupun korban jiwa bisa ditekan.