Inspektorat Daerah Diperkuat, Indikasi Korupsi Bisa Diselidiki Tanpa Diketahui Kepala Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 membuat inspektorat lebih ”bergigi”. Salah satunya mereka bisa menyelidiki indikasi korupsi tanpa sepengetahuan kepala daerah. Namun, penguatan tidak cukup berhenti di situ.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Inspektorat di daerah dibuat lebih ”bergigi” dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perangkat Daerah. Pemeriksaan dugaan penyalahgunaan wewenang, termasuk indikasi korupsi, bisa dilakukan tanpa diketahui atau mendapat penugasan dari kepala daerah.
Namun, itu saja tidak cukup. Hasil pemeriksaan harus dipastikan dipatuhi oleh pemerintah daerah. Selain itu, peningkatan kapabilitas inspektorat juga penting agar mereka bisa lebih optimal dalam menjalankan tugas pengawasan.
Saat sosialisasi Peraturan Pemerintah (PP) No 72/2019 di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), di Jakarta, Selasa (29/10/2019), Sekretaris Jenderal Kemendagri Hadi Prabowo menyatakan, dalam PP itu, inspektorat di level provinsi atau kabupaten/kota bisa langsung memeriksa jika ada indikasi penyalahgunaan wewenang, termasuk indikasi korupsi.
Pemeriksaan oleh inspektorat tidak perlu didahului penugasan dari kepala daerah. Selain itu, pemeriksaan juga bisa dilakukan tanpa sepengetahuan kepala daerah. Ini mengubah cara kerja sebelumnya karena posisi inspektorat merupakan subordinat kepala daerah.
”Ruang lingkup dan sasaran tugas inspektorat ditentukan oleh kondisi dan keadaan di setiap daerah. Tidak lagi ditentukan oleh kepala daerah,” katanya.
Hasil pemeriksaan pun tidak wajib dilaporkan ke kepala daerah. Sebaliknya, inspektorat di level provinsi wajib melaporkannya ke menteri. Adapun di level kabupaten/kota, inspektorat wajib melaporkannya ke gubernur.
Selain itu, PP No 72/2019 memberi fungsi tambahan kepada inspektorat, yaitu menjadi koordinator pencegahan tindak pidana korupsi. Dengan demikian, inspektorat tidak semata-mata bertugas memastikan ketaatan pemerintah daerah (pemda) dalam penyusunan anggaran. Inspektorat juga harus mampu mendorong terciptanya tata kelola pemerintahan yang dapat mencegah korupsi.
Kemudian untuk mencegah inspektorat diberhentikan atau dimutasi karena memeriksa penyalahgunaan di pemda, Hadi mengatakan, PP No 72/2019 melarang kepala daerah sesuka hati memberhentikan atau memutasi inspektorat. Pemberhentian atau mutasi harus didahului konsultasi tertulis dengan menteri untuk inspektorat level provinsi dan gubernur untuk level kabupaten/kota.
”Harapannya inspektorat ke depan semakin profesional, efektif, dan independen dalam pelaksanaan tugasnya. Sebab, selama ini, berdasarkan pantauan Kemendagri dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), inspektorat belum mampu mencegah ataupun melakukan penyelesaian terhadap penyimpangan dan tindak pidana korupsi di daerah,” katanya.
Semua laporan dari inspektorat di daerah yang diterima Kemendagri selalu baik laporannya. Tidak ada indikasi penyalahgunaan. Padahal, seperti diketahui, KPK sering menangkap kepala daerah dan pejabat daerah lain.
Berdasarkan data KPK, sejak 2004, sudah lebih dari 100 kepala daerah menjadi tersangka. Bahkan, dua bulan terakhir, lima kepala daerah ditangkap. Terbaru, pada Rabu 16 Oktober 2019, KPK menangkap Wali Kota Medan Dzulmi Eldin.
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menilai, PP No 72/2019 merupakan langkah awal penguatan inspektorat atau kerap pula disebut aparat pengawas internal pemerintah untuk mencegah korupsi di daerah.
Selain melalui PP No 72/2019, KPK bersama Kemendagri sedang mengajukan ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) agar kelas jabatan inspektorat ditingkatkan sehingga setara dengan jabatan sekretaris daerah.
Ini agar inspektorat bisa percaya diri saat memeriksa pejabat teras di daerah yang terindikasi melakukan penyalahgunaan kewenangan.
Dalam Peraturan Kemenpan RB Nomor 39 Tahun 2013 dijelaskan, kelas jabatan adalah kedudukan yang menunjukkan tingkat seorang pegawai negeri dalam rangkaian susunan instansi pemerintah yang meskipun berbeda dalam hal pekerjaan, tetapi cukup setara dalam hal tingkat kesulitan dan tanggung jawab, tingkat persyaratan kualifikasi pekerjaan, dan digunakan sebagai dasar penggajian.
Sementara mengenai inspektorat dijadikan koordinator pencegahan korupsi, Pahala mengatakan, sebelum hal itu diimplementasikan, inspektorat perlu dilatih. ”Inspektorat harus mempunyai sertifikasi sebagai penyuluh antikorupsi sehingga mereka bisa menjelaskan tentang gratifikasi, suap, dan tindak pidana korupsi lainnya,” katanya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menilai, PP No 72/2019 menunjukkan adanya itikad untuk memperkuat inspektorat di daerah. ”Paling tidak proses dan bobot kerja inspektorat sudah mulai kelihatan,” katanya.
Namun, langkah penguatan diharapkan tak berhenti di PP No 72/2019. Dia mengusulkan adanya aturan yang membuat hasil pemeriksaan inspektorat dipatuhi oleh kepala daerah atau jajaran pemda. Artinya, hasil pemeriksaan inspektorat harus bersifat mengikat.
Selain itu, sumber daya manusia yang mengisi inspektorat harus lebih berkualitas. Pegawai inspektorat hendaknya memiliki latar belakang beragam. Jangan hanya merekrut pegawai dengan latar belakang akuntansi dan keuangan. Sebab, tugas pengawasan inspektorat tak hanya berfokus pada urusan akuntansi atau keuangan, tetapi juga sektor lain, seperti perizinan.
Berdasarkan kajian Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) per 30 September 2019, kapabilitas inspektorat masih rendah. Sebagian besar inspektorat masih berada di level 1 dari 5 level yang menjadi dasar penilaian.
Inspektorat di level 1 tersebar di 289 daerah atau 53,32 persen dari 542 daerah. Adapun inspektorat di 221 daerah lain masuk kategori level 2. Jadi, hanya 32 daerah yang inspektoratnya berada di level 3. Padahal, minimal inspektorat berada di level 3. Di bawah level 3, inspektorat berarti belum mampu menjalankan fungsinya.