Setiap anaknya bertanya tentang keberadaan ibunya, saat itu pula Jumadi (43) tak kuasa menjawabnya. Pekerja serabutan itu sama sekali tidak tahu di mana istrinya. Perjumpaan terakhir dengan istrinya delapan tahun lalu.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
Setiap anaknya bertanya tentang keberadaan ibunya, saat itu pula Jumadi (43) tak kuasa menjawabnya. Pekerja serabutan itu sama sekali tidak tahu di mana istrinya. Perjumpaan terakhir dengan istrinya delapan tahun lalu, sebelum pasangan hidupnya itu merantau ke Timur Tengah sebagai pekerja migran Indonesia.
”Anak saya sering tanya, mana mama? Saya bilang kerja. Katanya, masak enggak pulang-pulang? Saya hanya diam,” ujar Jumadi menceritakan percakapannya dengan dua anaknya, Alul (14) dan Akbar Maulana (9).
Siang itu, Minggu (24/11/2019), warga Desa Buntet, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, tersebut kembali memungut kenangan bersama istrinya, Sri Agung (32), sewindu lalu. Matanya berkaca-kaca, memerah, mengenang perjumpaan terakhir dengan istrinya, Minggu, 9 November 2011.
Jumadi tengah sibuk mengangkut pasir di galian C, dekat rumahnya, saat Sri pamit hendak merantau ke Oman. Padahal, anaknya, Alul, masih berusia enam tahun. Bahkan, Akbar baru berusia setahun, belum seharusnya dia lepas dari air susu ibunya.
Akan tetapi, pilihan bagi mereka sangat terbatas. Bekerja di luar negeri, meski dengan kemampuan terbatas, diyakini jadi jalan keluar dari kemiskinan. ”Kalau jadi kuli pasir paling Rp 80.000 per hari. Waktu kerjanya enggak tentu juga,” kata Jumadi yang sudah dua bulan terakhir menganggur.
Setelah berangkat, Jumadi selalu menanti kabar dari istrinya. Nomor teleponnya, keluarga, hingga tetangga sudah diberikan kepada Sri. Dua bulan berlalu, empat bulan, hingga kini delapan tahun, tak pernah sekali pun ia mendengar suara istrinya. Tak ada secuil kabar yang ia dapatkan.
Seorang sponsor (penghubung dengan perusahaan penyalur jasa tenaga kerja Indonesia/PJTKI) asal Ciwaringin, Cirebon, yang memberangkatkannya juga tidak tahu-menahu. Padahal, sponsor bisa dapat Rp 5 juta jika berhasil mendapatkan seorang pekerja migran Indonesia (PMI) untuk PJTKI.
Sponsor biasanya mendapatkan referensi dari seseorang yang dikenal dengan sebutan ”penunjuk”. Penunjuk ini kebagian Rp 1 juta. ”Yang penting, saat itu, istri saya berangkat,” ucapnya. Belakangan ia mendengar kabar, PJTKI di Jakarta Selatan yang merekrut Sri ditutup pemerintah pusat.
Sayangnya, Jumadi tak memegang satu pun berkas istrinya, seperti salinan paspor, perjanjian kerja, dan dokumen lain. Ia hanya punya foto dan kartu keluarga. Kondisi ini membuatnya sulit melaporkan kasus istrinya.
Sekitar 1 kilometer dari kediaman Jumadi siang itu, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah membahas masalah ini. Ia mengatakannya saat menghadiri Silaturahmi Daerah Bu Nyai Nusantara Jabar di Pondok Buntet Pesantren. Dia menegaskan, perempuan bukan second people.
”Perempuan yang bekerja di luar negeri harus punya kompetensi. (Namun) mohon maaf, TKI kita tidak punya kompetensi dan sumber daya manusianya rendah. Karena itu, negara harus lebih ke depan melindungi warga negara Indonesia,” ujarnya.
Sayangnya, belum ada solusi konkret terkait keluh kesah Jumadi yang mungkin dirasakan banyak keluarga lainnya. Ida hanya meminta calon pekerja migran Indonesia untuk tidak melayani perekrutan ilegal dari pintu ke pintu.
”Kalau dulu banyak calo. Sekarang, tidak boleh begitu. Harus mendaftarkan diri melalui LTSA (layanan terpadu satu atap),” ungkapnya.
Bupati Cirebon Imron Rosyadi mengatakan tak bisa berbuat banyak untuk melindungi PMI yang berangkat secara ilegal. ”Kami berharap kepada Ibu Menteri agar peran-peran tenaga kerja di Cirebon ditingkatkan. Di pantura, PMI masih mendominasi di Jabar karena ada iming-iming gaji lebih besar di luar sana. Tetapi, ada ibu-ibu yang hilang 21 tahun,” kata Imron kepada Ida.
Perempuan yang bekerja di luar negeri harus punya kompetensi. (Namun) mohon maaf, TKI kita tidak punya kompetensi dan sumber daya manusianya rendah. Karena itu, negara harus lebih ke depan melindungi warga negara Indonesia. (Ida Fauziah)
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Cirebon menerima laporan pekerja migran asal Cirebon yang bermasalah tahun lalu mencapai 26 kasus. Jumlah itu berkurang dibandingkan 2017, yakni 32 kasus. Masalah beragam, seperti berangkat ke negara tujuan secara ilegal, meninggal, tidak sesuai dengan perjanjian kerja, hilang kontak, dan ditelantarkan majikan.
”Harapannya, istri saya bisa ketemu. Kasihan anak-anak,” ucap Jumadi yang beberapa kali merantau ke Jakarta dan Kalimantan untuk mencari kerja, tapi gagal.
Selama Sri belum ditemukan, Jumadi bakal terus tanpa jawaban. Pertanyaan yang diajukan anak-anaknya bisa jadi hanya akan dijawab lewat tangisan.