Implementasi Kenaikan Iuran Butuh Komitmen Bersama
Pengusaha sebagai pemberi kerja merasa mendapatkan beban tambahan atas keputusan penyesuaian iuran yang ditetapkan pemerintah. Beban terutama dirasakan pengusaha dengan pekerja penerima upah lebih Rp 8 juta per bulan.
Oleh
Deonisia Arlinta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyesuaian besaran iuran untuk semua segmen peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat dipastikan berlaku mulai 1 Januari 2020. Komitmen semua pihak dalam menyiapkan anggaran sangat dibutuhkan untuk mendukung implementasi kebijakan tersebut.
Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional Tubagus Achmad Choesni mengatakan, penyesuaian iuran bagi peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) harus dipastikan berjalan. Hal ini untuk mendukung keberlanjutan program yang telah mencakup peserta hingga 222 juta penduduk tersebut.
”Penetapan iuran program JKN-KIS sebelumnya berbasis persepsi kemampuan negara dan penduduk. Jadi, selama lima tahun terakhir, antara pendapatan iuran peserta dan pengeluaran untuk biaya manfaat bagi peserta tidak seimbang,” ujarnya di Jakarta, Rabu (18/12/2019).
Menurut dia, penyesuaian besaran iuran dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan kesinambungan program JKN-KIS. Aturan tersebut sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Besaran iuran yang telah ditetapkan adalah peserta mandiri atau peserta bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) kelas III sebesar Rp 42.000 per orang per bulan, peserta mandiri kelas II (Rp 110.000), serta peserta mandiri kelas I (Rp 160.000). Penyesuaian juga dilakukan pada segmen peserta bantuan iuran (PBI) yang dibayarkan lewat APBN dan APBD sebesar Rp 42.000.
Sementara iuran peserta penerima upah badan usaha juga disesuaikan yang semula sebesar 5 persen dari penerimaan upah dengan batas atas upah Rp 8 juta per bulan menjadi Rp 12 juta per bulan.
Untuk peserta penerima upah pemerintah, iurannya pun menjadi 5 persen dari seluruh upah diterima, yang sebelumnya 5 persen dari gaji pokok dan tunjangan keluarga.
Kesiapan pengusaha
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani menuturkan, pengusaha sebagai pemberi kerja merasa mendapatkan beban tambahan atas keputusan penyesuaian besaran iuran yang ditetapkan pemerintah. Beban ini terutama dirasakan oleh pengusaha yang memiliki pekerja dengan upah lebih dari Rp 8 juta.
Ia mencontohkan, satu perusahaan dengan pekerja 3.000 orang akan menanggung beban tambahan kenaikan iuran sekitar Rp 500 juta per bulan dengan rata-rata kenaikan 62 persen dari pekerja dengan penghasilan di atas Rp 8 juta.
Dari data aktuaria Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, pekerja yang menerima upah lebih dari Rp 8 juta sebanyak 840.000 orang atau sekitar 5,6 persen dari seluruh pekerja yang terdaftar.
”Kami dukung penuh prinsip gotong royong secara proporsional dalam program JKN-KIS. Namun, kami masih merasa keberatan atas kenaikan iuran ini karena pelayanan BPJS Kesehatan belum baik. Kami sarankan untuk segera dilakukan audit program dan keuangan secara menyeluruh agar program ini dilaksanakan lebih efisien,” tuturnya.
Komitmen daerah
Selain pemberi kerja, komitmen kepala daerah juga dibutuhkan untuk memastikan anggaran untuk peserta PBI APBD telah disiapkan. Jumlah peserta dari segmen PBI APBD per 30 November 2019 tercatat 17 persen dari seluruh peserta atau sekitar 38.000 penduduk. Jumlah itu belum termasuk peserta pekerja penerima upah yang ditanggung oleh pemerintah daerah, seperti pejabat negara, DPRD, dan perangkat desa.
Direktur Pelaksanaan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Bahri menyatakan, pemerintah pusat telah memberikan arahan kepada pemerintah daerah untuk mematuhi aturan terkait penyesuaian iuran bagi peserta JKN-KIS.
Dorongan itu telah disampaikan melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 900/2019 tentang Penyesuaian Iuran Jaminan Kesehatan pada Pemerintah Daerah.
”Tidak ada alasan bagi pemerintah daerah untuk tidak menanggung penduduknya yang terdaftar sebagai peserta PBI APBD. Jika keuangan daerah terbatas, anggaran untuk pembiayaan iuran bisa menggunakan dana BTT (belanja tidak terduga), dana silpa (sisa lebih perhitungan anggaran), atau menggunakan dana yang digunakan untuk kegiatan yang tidak mendesak,” ucapnya.