Sektor Usaha dan Wisata Merugi hingga Rp 1,045 Triliun
Banjir awal 2020 menghentikan perekonomian Ibu Kota hingga menyebabkan kerugian Rp 1,045 triliun. Puluhan pasar tradisional terimbas banjir, ribuan pedagang juga kena dampaknya. Kerugian ini seharusnya dapat dihindari.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Banjir yang melanda kawasan Jakarta pada awal pergantian tahun sempat menghentikan perekonomian di Ibu Kota. Perputaran uang tidak berjalan optimal sebagaimana mestinya karena sektor usaha terdampak banjir. Akibat bencana ini, pengusaha mengalami kerugian hingga Rp 1,045 triliun.
Nilai kerugian ini dihitung dari lumpuhnya sejumlah aktivitas perekonomian selama lima hari kebanjiran. ”Lima hari, pascahujan lebat dan banjir, pergerakan ekonomi di Jakarta tak maksimal. Apalagi, pada 5 Januari, hujan juga masih lebat, tak ada orang yang keluar. Kami melihat, ada kerugian dari sisi transaksi keuangan,” ujar Ketua Dewan Pengurus Daerah Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi) DKI Jakarta Sarman Simanjorang di Jakarta, Minggu (12/1/2020).
Saat pergantian tahun, curah hujan dengan intensitas tinggi turun di Jakarta dan sekitarnya. Banjir pun merendam sejumlah kawasan. Air berangsur surut hingga beberapa hari kemudian. Dari peristiwa itu, Hippi DKI Jakarta mencoba memotret kerugian minimal yang dialami di sejumlah sektor, seperti ritel, pariwisata, transportasi, dan restoran.
Sektor ritel, misalnya, diperkirakan 400 toko terdampak banjir sehingga tidak bisa buka untuk melayani pelanggan. Jika satu toko memiliki pelanggan sekitar 100 orang dengan asumsi belanja rata-rata Rp 250.000 per orang, kerugian diperkirakan mencapai Rp 10 miliar per hari. Ini belum termasuk toko ritel yang ada di dalam mal dan pasar tradisional.
Jakarta memiliki setidaknya 82 mal. Jika rata-rata jumlah pengunjung saat libur Tahun Baru 5.000 orang dengan asumsi belanja makan dan minum minimal Rp 200 ribu, maka transaksi mencapai Rp 82 miliar. Apabila diproyeksikan pengunjung turun sekitar 50 persen akibat banjir kemarin, kerugian transaksi bisa sekitar Rp 41 miliar per hari
Berdasarkan data dari Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) DKI Jakarta, terdapat 28 pasar tradisional yang terimbas banjir dengan jumlah pedagang sebanyak 250 orang per pasar. Berarti, total ada 7.000 pedagang. Jika rata-rata penjualan sekitar Rp 500.000 per pedagang, maka kerugian transaksi Rp 3,5 miliar per hari.
Untuk sektor pariwisata, sejumlah tempat wisata tak mencapai target maksimal pengunjung di liburan Tahun Baru 2020, seperti di Taman Impian Jaya Ancol, kawasan Kota Tua, Monumen Nasional (Monas), Taman Mini Indonesia Indah (TMII), dan Kebun Binatang Ragunan. Ada penurunan pengunjung 50-70 persen dibandingkan dengan liburan Tahun Baru sebelumnya.
Kerugian transaksi yang dialami sejumlah tempat wisata tersebut setiap harinya adalah sebagai berikut; Taman Impian Jaya Ancol (Rp 15,5 miliar), kawasan Kota Tua (Rp 3,46 miliar), Monas (Rp 10,27 miliar), TMII (Rp 3,15 miliar), dan KB Ragunan (Rp 5,4 miliar). Total kerugian di sektor pariwisata Rp 37,78 miliar per hari.
Untuk sektor restoran, dengan total 3.957 restoran di Jakarta, jika setiap restoran memiliki transaksi minimal Rp 2 juta dan mengalami penurunan omzet rata-rata 50 persen, kerugian transaksi sebesar Rp 7,91 miliar per hari.
Dari sisi transportasi, secara khusus, Hippi hanya mencatat kerugian transaksi oleh penyedia jasa transportasi dalam jaringan, baik motor, maupun mobil. Total kerugian Rp 34,85 miliar per hari.
Adapun total kerugian transaksi dari sisi perputaran uang akibat banjir di awal 2020 sebesar Rp 135 miliar per hari. Jika dikalikan lima hari, maka total menjadi Rp 675,27 miliar.
Ini belum termasuk kerugian yang dialami langsung pelaku usaha, seperti 1.500 unit taksi yang terendam banjir dan 7.000 pedagang tradisional yang kehilangan barang dagangannya. Total kerugian dua hal itu adalah Rp 370 miliar. Dari semua itu, perkiraan kerugian sebesar Rp 1,045 triliun.
”Belanja masyarakat itu, kan, biasanya akan maksimal meningkat ketika hari-hari nasional yang libur, misal Tahun Baru. Itu, kan, perputaran uangnya tinggi karena mereka sudah punya agenda, baik wisata, tempat hiburan, acara makan bersama di hotel, mal, kafe, maupun restoran. Kemarin ini, kan, praktis enggak ada,” kata Sarman.
Butuh solusi
Meskipun demikian, Sarman menjelaskan, dengan pemaparan kerugian itu, pihaknya tak ingin serta-merta menyalahkan salah satu pihak, termasuk Pemerintah Provinsi DKI. Menurut dia, yang terpenting saat ini, semua elemen ikut bertanggung jawab mencari solusi atas persoalan banjir agar kerugian besar semacam ini tak terulang kembali.
Semua elemen itu meliputi pemerintah pusat, Pemprov DKI Jakarta, sejumlah pemerintah daerah penyangga Ibu Kota, dan masyarakat sendiri. ”Semua rugi. Masalah (banjir) ini, bukan hanya pengusaha, melainkan juga pemerintah dan masyarakat. Jangan saling menyalahkan. Kita harus duduk bersama dan betul-betul membuat solusi dan program nyata untuk antisipasi ini ke depan,” ucap Sarman.
Secara terpisah, Asisten Bidang Perekonomian DKI Jakarta Sri Haryati belum mendapatkan informasi terkait kerugian di sejumlah sektor yang dikalkulasi Hippi. Pemprov DKI, lanjut Sri, masih menghitung kerugian dampak dari banjir awal tahun 2020. ”Saat ini Pemprov (DKI) dan Bank Indonesia sedang mengkaji,” katanya.
Menggugat Gubernur DKI
Sementara itu, sebanyak 186 warga DKI ingin menggugat Gubernur DKI Jakarta ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas dalih kelalaian dalam mengantisipasi banjir Ibu Kota. Mereka tergabung dalam Tim Gugatan Class Action Banjir DKI 2020.
”Draf gugatan hari ini (Minggu), insya Allah diselesaikan. Sekarang, kami masih menyisir dan melengkapi dasar-dasar hukum yang berkaitan dengan keluhan warga. Menurut rencana, besok (Senin), kami daftarkan,” ujar anggota Tim Advokasi Korban Banjir DKI Jakarta 2020, Diarson Lubis.
Diarson menyampaikan, pihaknya tak ingin asal-asalan dalam membuat gugatan. Karena itu, warga yang melapor karena terdampak banjir pun harus terverifikasi secara jelas, seperti alamat tempat tinggal dan kerugian yang dialami. Mayoritas kerugian mereka, seperti rumah dan tempat usaha terendam banjir, serta barang-barang elektronik dan kendaraan bermotor yang rusak akibat banjir.
Adapun nilai total kerugian dari para pelapor Rp 43,32 miliar. Nilai kerugian terkecil tercatat Rp 890.000 dan nilai terbesar Rp 8,7 miliar. ”Jadi, 186 orang ini sudah terverifikasi, yang lengkap (datanya), menurut kami. Ada beberapa yang asal daftar, tetapi datanya tak lengkap, ya, tidak kami masukkan. Kami menghindari hal-hal seperti, anggapan mau bermain politik, dan sebagainya,” tutur Diarson.
Gugatan ini, lanjut Diarson, menunjukkan bahwa warga negara harus mendapat jaminan perlindungan dari pemerintah. Pemerintah juga harus bertanggung jawab atas kelalaian mereka. Dengan begitu, ke depan, kerugian yang timbul akibat banjir dapat diminimalkan.