Info yang kami terima malah sejak sebelum ada tangkap tangan, yang bersangkutan (Harun) memang sedang di luar negeri.
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harun Masiku, tersangka kasus dugaan suap terkait pengurusan calon pengganti antarwaktu anggota DPR, masih berada di luar negeri. Komisi Pemberantasan Korupsi sudah berkoordinasi dengan aparat penegak hukum serta Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menangkap Harun.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyampaikan, meski telah diimbau, hingga Senin (13/1/2020) pagi Harun belum juga menyerahkan diri. KPK akan terus mencari dan memasukkannya dalam daftar pencarian orang (DPO).
”Info yang kami terima malah sejak sebelum ada tangkap tangan, yang bersangkutan (Harun) memang sedang di luar negeri. Siang ini kami akan berkoordinasi dengan Menteri Hukum dan HAM untuk memastikan keberadaan Harun,” ujar Ghufron kepada Kompas.
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mengatakan, KPK sudah meminta Direktorat Jenderal Imigrasi untuk mencegah Harun bepergian ke luar negeri. ”Sudah (surat permintaan mencegah Harun ke luar negeri) untuk enam bulan ke depan,” ujar Nawawi.
Sementara Ketua KPK Firli Bahuri menyatakan, KPK bekerja bukan karena permintaan. Prinsip penegakan hukum harus menghormati asas hukum, HAM, dan tidak melanggar hukum itu sendiri.
”Beri kesempatan untuk penyidik bekerja dan kami (pimpinan KPK) memberikan dukungan. Dengan begitu, penyidik bisa bekerja untuk menyelesaikan tugas-tugasnya secara profesional,” kata Firli.
Berkait hal ini, Kepala Subbagian Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham Ahmad Nursaleh menyatakan, pihaknya belum menerima surat pengajuan permohonan dari pimpinan KPK untuk mencegah Harun bepergian ke luar negeri. ”Belum ada surat pengajuan cekal (cegah dan tangkal),” ujar Ahmad.
Harun yang merupakan calon anggota legislatif Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (caleg PDI-P) dari Daerah Pemilihan Sumatera Selatan I ditetapkan sebagai tersangka sejak Kamis (9/1/2020). Harun diduga memberikan suap kepada komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, agar diproses menjadi anggota DPR terkait pergantian antarwaktu (PAW).
Suap diberikan agar Harun dapat menggantikan posisi Nazarudin Kiemas, caleg terpilih yang meninggal pada Maret 2019. Namun, sesuai hasil pleno KPU, yang seharusnya menggantikan Nazarudin adalah Riezky Aprilia sebagai caleg peraih suara terbanyak kedua.
Untuk tetap menjadi anggota DPR PAW, Harun pun memberikan suap melalui staf Sekretariat Jenderal PDI-P, Saiful. Suap diberikan dalam dua tahap, yakni Rp 400 juta dan Rp 850 juta. Dari jumlah tersebut, Wahyu diduga telah menerima Rp 600 juta dari Rp 900 juta yang dimintanya.
Wahyu menerima suap melalui orang kepercayaannya, yaitu mantan anggota Badan Pengawas Pemilu, Agustiani Tio Fridelina. KPK sudah menahan Wahyu, Agustiani, dan Saiful, masing-masing di rumah tahanan Guntur, K4, dan C1 sejak Jumat (10/1/2020) dini hari. Sementara Harun masih dicari keberadaannya.
Penindakan lambat
Berbeda dengan kasus lain, penggeledahan dalam kasus ini harus menunggu setidaknya hingga satu minggu sejak penetapan tersangka. Padahal, lazimnya, penggeledahan dilakukan tidak lama setelah penangkapan atau penetapan tersangka.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, menyampaikan, keadaan ini membuktikan Undang-Undang KPK Nomor 19 Tahun 2019 memang memperlambat kerja penindakan KPK. Sebab, dalam Pasal 37 B Ayat 1 UU KPK baru menyebutkan bahwa tindakan penggeledahan mesti atas seizin Dewan Pengawas.
Logikanya, kata Kurnia, sederhana saja. ”Bagaimana mungkin tindakan penggeledahan untuk mencari dan menemukan bukti dapat berjalan tepat dan cepat jika harus menunggu izin Dewas? Belum lagi persoalan waktu, yang mana proses administrasi tersebut dapat dipergunakan pelaku korupsi untuk menyembunyikan, bahkan menghilangkan bukti-bukti,” tuturnya.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menilai kinerja KPK dalam menangani kasus dugaan suap kepada KPU sangat buruk. Selain karena memang UU KPK yang bermasalah, internal KPK pun tidak sigap menangani.
Salah satunya terlihat dari lambatnya pengajuan permohonan izin penggeledahan kepada Dewas. Permohonan izin penggeledahan diserahkan kepada Dewas pada Jumat (10/1/2020) malam, dua hari setelah penangkapan.
”Saya menilai ini kombinasi sempurna atas implikasi dari berlakunya Undang-Undang KPK Nomor 19 Tahun 2019. Kita tidak bisa banyak berharap kasus ini akan diusut secara tuntas, apalagi hingga menyentuh petinggi partai PDI-P,” ucap Zaenur.
Untuk itu, kata Zaenur, internal KPK harus memiliki mekanisme izin yang cepat antara penyidik ke pimpinan KPK yang kemudian diteruskan ke Dewas. Secara eksternal, Mahkamah Konstitusi diharapkan segera memutus untuk membatalkan UU KPK No 19/2019 dan mengembalikan ke UU KPK No 30/2002 agar kerja KPK dapat kembali efektif.