UNCTAD memperkirakan nilai perdagangan barang akan turun sebesar 5 persen pada triwulan I-2020 dan turun tajam 27 persen pada triwulan II-2020. Untuk keseluruhan tahun ini, pertumbuhannya diperkirakan 20 persen.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
Dampak pandemi Covid-19 benar-benar telah memukul sektor perdagangan Indonesia. Di sektor perdagangan dalam negeri, harga bahan pangan, kecuali gula, relatif terkendali. Namun, pasar rakyat atau pasar tradisional yang menjadi kluster penyebaran Covid-19 justru semakin meluas. Di sektor perdagangan luar negeri, pertumbuhannya diperkirakan turun tajam bahkan minus.
Di tengah masifnya pandemi Covid-19, pasar sebagai medan perjumpaan banyak orang terlambat ditangani. Sejak pemerintah mengonfirmasi kasus positif Covid-19 untuk pertama kali pada 2 Maret 2020, pasar yang menjadi sumber bahan pangan tidak langsung dilindungi. Secara resmi, protokol kesehatan pasar baru pada 28 Mei 2020 melalui Surat Edaran Menteri Perdagangan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pemulihan Aktivitas Perdagangan yang Dilakukan pada Masa Pandemi Covid-19 dan Normal Baru.
Cukup disayangkan juga kenapa protokol resmi itu baru muncul setelah kasus positif Covid-19 merebak di pasar rakyat. Surat edaran ini muncul selang beberapa hari setelah gaung narasi normal baru hidup berdampingan dengan Covid-19 berkumandang.
Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) mencatat, per 12 Juni 2020, sudah ada 529 pedagang pasar yang positif Covid-19 dan 29 orang meninggal akibat Covid-19. Paling banyak kasus muncul di Jawa Timur, seperti Surabaya, Malang, DKI Jakarta, dan Mojokerto.
Belakangan ini setelah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi atau melonggarkan PSBB, kasus positif Covid-19 di pasar rakyat semakin bertambah. Ada delapan pasar rakyat di DKI Jakarta yang terpapar Covid-19 dengan jumlah totol pedagang yang positif Covid-19 sebanyak 51 orang dan 1 orang meninggal.
Sementara itu, di sektor perdagangan luar negeri, tantangannya semakin berat. Belum usai dampak perang dagang Amerika Serikat-China, pandemi Covid-19 mendera sektor tersebut. Hal ini semakin menambah banyak daftar tantangan perdagangan internasional yang perlu diantisipasi, seperti belum stabilnya harga komoditas, proteksi perdagangan, dan anjloknya harga minyak mentah dunia.
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memperkirakan, volume perdagangan barang dunia akan anjlok 13-32 persen pada tahun ini. Direktur Jenderal WTO Roberto Azevêdo mengakui, tidak akan ada jalan menghindari jeleknya angka-angka perdagangan global. Ini akan bergantung pada seberapa cepat virus tertangani sehingga perdagangan dapat kembali ke tingkat sebelum krisis.
Tidak akan ada jalan menghindari jeleknya angka-angka perdagangan global. Ini akan bergantung pada seberapa cepat virus tertangani sehingga perdagangan dapat kembali ke tingkat sebelum krisis.
Dalam skenario kedua, dengan gelombang kedua muncul di akhir tahun—yang diikuti dengan penguncian wilayah—perdagangan global diprediksi anjlok lebih dalam menjadi minus 11,4 persen.
Sementara, Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD) pada 11 Juni 2020 menyebutkan, pandemi Covid-19 masih akan menghantui pertumbuhan perdagangan global. UNCTAD memperkirakan nilai perdagangan barang akan turun sebesar 5 persen pada triwulan I-2020 dan turun tajam 27 persen pada triwulan II-2020. Untuk keseluruhan tahun ini, pertumbuhan volume perdagangan diperkirakan turun 20 persen.
Badan Pusat Statistik mencatat, neraca perdagangan Indonesia pada Januari-Mei 2020 surplus 4,31 miliar dollar AS. Namun, ekspor dan impor sama-sama turun tajam. Per Mei 2020, ekspor tumbuh negatif untuk pertanian, manufaktur, dan pertambangan, sementara impor turun curam untuk barang konsumsi, bahan baku, dan barang modal.
Di tengah kondisi tersebut, Indonesia masih harus merampungkan pekerjaan rumah untuk menghadapi proteksi perdagangan dan lonjakan sejumlah produk impor. Pada tahun ini, Indonesia tengah mendapatkan 16 kasus trade remedies atau instrumen perlindungan pasar dalam negeri yang bermula dari tuduhan sejumlah mitra dagang.
Tuduhan-tuduhan itu berasal dari India (5 kasus), AS (3 kasus), Ukraina (2 kasus), serta masing-masing 1 kasus dari Vietnam, Turki, Uni Eropa, Filipina, Australia, dan Mesir. Produk-produk Indonesia yang dikenakan tuduhan antara lain baja, produk turunan kayu, tekstil dan produk tekstil, kimia, otomotif, dan elektronik. Indonesia berpotensi kehilangan devisa negara sebesar 1,87 miliar dollar AS.
Kementerian Perdagangan mencatat, jumlah kasus tuduhan perdagangan yang dihadapi Indonesia saat ini memecahkan rekor. Rata-rata tuduhan perdagangan yang dihadapi sekitar 14 kasus per tahun.
Di sisi lain, Komisi Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) mencatat, ada tujuh permohonan baru penyelidikan pengamanan dagang dari pelaku industri selama Januari-Mei 2020 ini. Produk-produk impor itu adalah karpet, kertas sigaret, peralatan dapur dan makan, terpal, kaca lembaran, panel surya, dan garmen.
Itulah sebagian kecil dari sekian banyak tantangan di sektor perdagangan, baik dalam maupun luar negeri. Ini menjadi pekerjaan rumah yang sangat-sangat menantang. Butuh berbagai upaya ekstra dan kepemimpinan yang kuat untuk menanggani dan menggeliatkan secara lebih serius sektor tersebut.