Tersangka Samin Tan tiga kali tidak penuhi panggilan KPK sehingga dia dimasukkan dalam daftar buronan. Kondisi ini membuat kian banyak buronan KPK. Melihat hal itu, ICW memandang KPK saat ini tak lagi disegani.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi memasukkan pemilik PT Borneo Lumbung Energy & Metal, Samin Tan, ke dalam daftar pencarian orang setelah, tiga kali dipanggil KPK, tersangka kasus suap itu tidak hadir. KPK dinilai sudah tidak ditakuti lagi menyusul semakin banyaknya orang yang lari dari pemeriksaan oleh KPK.
Masuknya Samin dalam daftar buronan KPK diumumkan oleh pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, di Jakarta, Rabu (6/5/2020) malam.
Samin telah ditetapkan sebagai tersangka sejak 1 Februari 2019 dalam perkara dugaan suap pengurusan Terminasi Kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) PT Asmin Koalindo Tuhup di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Samin diduga memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara anggota DPR 2014-2019, Eni Maulani Saragih, sejumlah Rp 5 miliar. Kasus tersebut sempat membuat Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basir ditetapkan sebagai tersangka pada 6 Mei 2019, tetapi divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 4 November 2019.
Oleh karena itu, Samin diduga melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
”Tersangka SMT (Samin) tidak menghadiri panggilan pemeriksaan sebagai tersangka sebanyak dua kali. Pertama, SMT tidak datang dan tidak memberikan alasan yang patut dan wajar atas panggilan KPK untuk hadir pada 2 Maret 2020. Padahal, KPK telah mengirimkan surat panggilan pada 28 Februari 2020,” kata Ali.
KPK mengirimkan kembali surat panggilan kedua pada 2 Maret 2020 untuk pemeriksaan pada 5 Maret 2020. Samin tidak memenuhi panggilan tersebut dengan alasan sakit yang disertai surat keterangan dokter. Dalam surat tersebut, Samin menyatakan akan hadir pada 9 Maret 2020.
Akan tetapi, pada 9 Maret 2020, Samin kembali meminta penundaan pemeriksaan dengan alasan sakit dan butuh istirahat selama 14 hari dan melampirkan surat keterangan dokter. Pada 10 Maret 2020, KPK menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Samin.
Atas dasar surat tersebut, KPK mencari tersangka ke beberapa tempat, antara lain di dua rumah sakit di Jakarta, apartemen milik Samin, dan beberapa hotel di Jakarta Selatan. Namun, hingga saat ini keberadaan Samin belum diketahui.
Sesuai dengan Pasal 12 UU No 19/2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No 30/2002, KPK berwenang meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Atas dasar itu, KPK memasukkan Samin ke dalam daftar pencarian orang (DPO) sejak 17 April 2020. Berikutnya, KPK telah mengirimkan surat kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ditujukan kepada Kepala Badan Reserse Kriminal Polri pada 17 April 2020 perihal DPO atas nama Samin.
Buronan bertambah
Masuknya Samin dalam DPO semakin menambah banyak buronan yang belum ditemukan KPK. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, Kamis (7/5/2020), mengatakan, secara perlahan, KPK semakin tidak disegani.
Bahkan, publik mulai menilai KPK tidak lagi menjadi Komisi Pemberantasan Korupsi, tetapi berubah menjadi ”Komisi Pembebasan Koruptor”. Hal tersebut terbukti dari maraknya tersangka yang melarikan diri dari jerat hukum.
Sejak pimpinan KPK yang baru dilantik pada 20 Desember 2019, ada lima tersangka yang masuk dalam DPO, yakni politisi PDI-P, Harun Masiku; bekas Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi; menantunya, Rezky Herbiyono; dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal Hiendra Soenjoto; serta Samin Tan.
Selain kelima DPO tersebut, ada dua buronan "warisan" kepemimpinan KPK sebelumnya, yang belum ditangkap, yakni Syamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, terkait pengucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
”ICW meragukan buronan tersebut akan dapat ditemukan KPK sebab selama ini memang tidak terlihat adanya komitmen serius dari pimpinan KPK terhadap sektor penindakan. Buktinya, Harun yang sudah jelas-jelas berada di Indonesia saja tidak mampu diringkus oleh KPK,” kata Kurnia.
ICW tidak terkejut melihat kondisi KPK saat ini. Sebab, sejak pimpinan KPK dilantik, ICW sudah menurunkan ekspektasi kepada lembaga antirasuah tersebut. Hasilnya sesuai dengan prediksi, KPK hanya dijadikan bulan-bulanan oleh para pelaku korupsi.