Adaptasi Mesin Diplomasi Indonesia dalam Dunia yang Berubah
Kementerian Luar Negeri, sebagai mesin utama diplomasi Indonesia, beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan tantangan global yang semakin cepat berubah.
Oleh
KRIS MADA, B JOSIE SUSILO HARDIANTO, ADHITYA RAMADHAN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Pelaksana tugas Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Teuku Faizasyah mengatakan, transformasi besar-besaran Kementerian Luar Negeri dimulai pada 2001. Menteri Luar Negeri kala itu, Hassan Wirajuda, menilai dunia telah banyak berubah selama dekade 1990-an dan mesin diplomasi Indonesia harus disesuaikan.
Dari pendekatan fungsional, struktur Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI diubah ke pendekatan kewilayahan. Pada masa Hassan mulai dikenal Dirjen Amerika dan Eropa (Amerop), Dirjen Asia Pasifik dan Afrika, dan Dirjen ASEAN. Salah satu pemimpin pada direktorat jenderal baru itu adalah Retno LP Marsudi--menteri luar negeri saat ini--yang menjadi Dirjen Amerop.
Hassan juga membuat Direktorat Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik (IDP), yang kini dipimpin Faizasyah, sebagai cara mendekati aktor non-negara dalam proses diplomasi. Berawal dari tingkat direktorat, kini IDP menjadi setingkat direktorat jenderal. Di masa Hassan pula, Direktorat Perlindungan WNI dibentuk.
Transformasi Kemenlu RI, yang berulang tahun ke-75 pada Rabu (19/8/2020), ini juga mendorong diplomat mengubah cara belajar dan bertugas. Pada era digital--antara lain ditandai dengan arus pertukaran informasi yang deras dan cepat--diplomat saat ini harus tangkas memanfaatkan media sosial.
Seperti LN Palar dan Agus Salim, Menlu Retno dan Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kemenlu Damos Agusman juga menjaga kedaulatan Indonesia melalui rangkaian perundingan internasional. Bedanya, jika pada era Palar dan Agus Salim diplomasi dijalankan secara konvensional dari satu meja perundingan ke perundingan lain atau lewat lobi-lobi secara langsung, diplomasi pada era Retno dan jajarannya juga dijalankan melalui media sosial.
Dalam keseharian, Retno dan Damos aktif di Twitter. Lewat media sosial itu, Retno mengumumkan aneka aktivitasnya sebagai menteri luar negeri. Pandangan dan kebijakan-kebijakan luar negeri Indonesia juga bisa dilihat dari unggahan Retno dalam akun Twitter-nya. Sejumlah keputusan penting pertemuan antarnegara disampaikan Retno secara cepat.
Berbeda dari Retno yang cuitan-cuitannya mewakili posisi resmi Kemenlu atau Pemerintah RI, Damos menegaskan bahwa cuitannya di Twitter adalah pandangan pribadi, bukan pendapatnya sebagai Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional (HPI) Kemenlu. Lewat Twitter, Damos kerap menjelaskan beragam hal teknis dari penerapan hukum internasional. Hal-hal yang kadang rumit dan sulit dipahami awan, dijelaskan doktor hukum itu melalui cuitan-cuitan singkat dengan istilah yang mudah dipahami khalayak umum. Ia bisa lugas menjelaskan perkara itu karena setidaknya 20 tahun terakhir menangani hukum dan perjanjian internasional.
Meski menyebut cuitannya sebagai pandangan pribadi, kerap kali negara-negara lain gerah dengan unggahannya. Damos hanya tertawa setiap kali ditanya reaksi negara lain soal cuitan-cuitannya. “Diplomat yang berkata \'tidak\', maka dia bukan diplomat,” ujarnya.
Ia merujuk pada perkataan Charles-Maurice de Talleyrand-Périgord, diplomat Perancis abad ke-18 dan awal abad ke- 19. “Jika diplomat berkata \'ya\', bisa jadi artinya mungkin. Jika diplomat berkata \'mungkin\', bisa jadi artinya tidak. Jika diplomat berkata \'tidak\', dia bukan diplomat,” demikian kata Talleyrand.
Agus Salim, yang dikenal fasih beragam bahasa asing dan gemar bercakap, amat pandai menerapkan petuah Talleyrand dalam rangkaian perundingan untuk pengakuan kedaulatan Indonesia. Selepas era Agus Salim dan juga Palar, diplomasi kedaulatan masih terus jadi fokus Kemenlu RI. Jika dulu upayanya untuk seluruh Indonesia, kini diplomasi kedaulatan fokus pada beberapa bagian tertentu, seperti Natuna dan Papua.
Diplomasi ekonomi
Dengan tantangan dan tuntutan zaman yang terus berubah, diplomat masa kini tidak hanya harus membaca karya-karya para guru besar ilmu hubungan internasional. Mereka juga harus belajar aneka teori pemasaran dan perdagangan internasional.
Beberapa hari selepas dilantik pada Oktober 2014, Retno menegaskan bahwa diplomasi harus berdampak. Salah satu perwujudannya adalah melalui diplomasi ekonomi yang bertujuan antara lain memperluas akses pasar produk Indonesia dan mengubah cara pandang para diplomat. Retno ingin para diplomat Indonesia ligat di tempat tugas masing-masing dengan mencari peluang pemasaran produk Indonesia dan investasi Indonesia.
Informasi lapangan tersebut dipadukan dengan indeks daya saing komoditas Indonesia. Sebagian diplomat Indonesia kini lancar mengukur indeks daya saing komoditas ekspor Indonesia. Pengukuran itu sampai dibagi ke tingkat negara. Komoditas berdaya saing tinggi akan diprioritaskan dipasarkan ke negara-negara mitra.
Guru besar Ilmu Hubungan Internasional pada Universitas Pelita Harapan, Aleksius Jemadu, menyebut pilihan itu tepat. Negara seperti Indonesia memang sebaiknya fokus pada kepentingan ekonomi, bukan kepentingan politik. Diplomasi ekonomi akan membantu Indonesia meningkatkan kesejahteraan, dan pada akhirnya bisa meningkatkan kekuatan dan daya tawar negara ini di forum-forum internasional.
Seperti digariskan Retno pada Oktober 2019, para diplomat Indonesia saat ini diinstruksikan fokus pada lima hal, yakni diplomasi kedaulatan, diplomasi ekonomi, diplomasi perlindungan, penguatan kepemimpinan Indonesia di organisasi kawasan dan internasional, serta peningkatan infrastruktur diplomasi. Para diplomat tidak hanya harus pandai di meja perundingan aneka perjanjian, mereka juga harus sigap mencari peluang pemasaran produk Indonesia di luar negeri.
"Para diplomat kita disangoni oleh hal yang sifatnya praktis untuk mendatangkan investor, meningkat ekspor. Tidak hanya diajar bicara, tetapi juga bicara yang mendatangkan hasil. Untuk mendatangkan hasil, harus bergandengan dengan pemangku kepentingan di dalam negeri," kata Retno kepada Kompas, Kamis (13/8/2020).
Perdebatan di "dapur"
Dalam berbagai kesempatan, Retno menegaskan, diplomasi Indonesia selalu berdasarkan prinsip-prinsip yang pada saat yang sama ditindaklanjuti oleh tindakan konkret di tingkat lapangan. Koordinator Politik Perwakilan Tetap RI (PTRI) New York, Roy Rolliansyah Soemirat, menuturkan, betapa tidak mudah menjalankan tugas diplomatik Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB (2019-2020). Di forum itu, diplomat PTRI New York harus “bertarung” dengan diplomat negara-negara besar anggota DK PBB, seperti AS, Rusia, China, dan lain-lain, termasuk dalam menetapkan agenda-agenda sidang.
Retno mengatakan, pengambilan keputusan terkait posisi dan sikap Kemlu diambil sangat demokratis. Sebelum keputusan diambil, kata dia, biasanya didahului debat pejabat eselon satu atau dua, dengan menguji pendapat-pendapatnya. Retno mengaku sangat senang jika pendapatnya ditantang, diuji, dan dipikir bersama.
"Dalam situasi tertentu, untuk mempertahankan kepentingan kita, ini garis merahnya, ini koridornya, kalian perjuangkan, you fight for this, kamu coba berjuang di koridor ini, kalau tidak bisa kembali ke saya. Teman-teman itu diberi keleluasaan untuk berjuang dan bertarung. Dalam level dia mentok, kini giliran Ibu maju," tutur Retno menceritakan perdebatan di "dapur" Kemenlu.
-----------
Baca juga liputan khusus 75 Tahun Kementerian Luar Negeri RI: