Kebakaran Gunung Arjuno dan Kearifan Lokal Warga Majapahit
Kebakaran kawasan hutan dan pegunungan di Malang Raya terus terjadi setiap tahun. Namun, pada abad ke-14, kearifan lokal masyarakat Majapahit mampu mengatasinya.
Kebakaran kawasan hutan dan pegunungan di Malang Raya sudah kerap terjadi sejak ratusan tahun silam. Namun, pada abad ke-14, kearifan lokal masyarakat Majapahit mampu mengatasinya.
Sudah dua pekan sebagian hutan di Gunung Arjuno dilalap api. Kebakaran hutan ini disebut sebagai kebakaran terparah selama beberapa tahun terakhir. Selain api tak kunjung padam, hutan yang terbakar juga tergolong luas.
Tak kurang usaha dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Batu, BPBD Kabupaten Malang, dan Taman Hutan Raya (Tahura) Raden Soerjo untuk memadamkan api.
Pemadaman juga mendapatkan dukungan pesawat dari Pangkalan Udara Abdulrachman Saleh Malang. Sukarelawan dan masyarakat pun bahu-membahu memadamkan api. Namun, api masih menjalar.
Baca juga: Dua Pekan, Kebakaran di Arjuna Belum Bisa Dipadamkan
Api sulit dipadamkan. Titik api berada di dekat puncak pada ketinggian sekitar 3.200 meter di atas permukaan laut (mdpl), dengan tutupan lahan yang didominasi sabana.
Kondisi medan sulit dijangkau itu diperparah dengan tidak adanya sumber air dan tiupan angin yang kencang. Pemadaman api pun hanya bisa dilakukan lewat udara. Pesawat pengeboman air MI-8 mengambil air dari sejumlah sumber air tak jauh dari lokasi kebakaran untuk memadamkan api.
Hingga Selasa malam, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) masih menyiagakan sejumlah helikopter untuk melakukan patroli dan menyiramkan air di titik api. Total air untuk pengeboman di seluruh wilayah mencapai 392 juta liter.
”Di samping pengeboman air, BNPB, BPPT, dan TNI melakukan operasi udara berupa teknologi modifikasi cuaca (TMC) dengan menaburkan garam. Total garam yang telah disemai mencapai 272.000 kilogram,” kata Agus Wibowo, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB dalam siaran persnya.
Baca juga: Kebakaran Hutan Turut Memicu Angin Kencang di Batu
Kebakaran hutan menjadi kejadian yang rutin setiap tahun. Kebakaran biasa melanda hampir seluruh kawasan hutan di beberapa pegunungan di Malang Raya. Di antaranya hutan di Gunung Kawi, Arjuno, Welirang, dan beberapa gunung lain. Penyebab utamanya yakni keteledoran orang yang membuat api atau membuang puntung rokok serta gesekan ranting kering dan ilalang.
Kebakaran itu ternyata sudah terjadi sejak zaman Majapahit. Ada peninggalan sejarah yang mencatat peristiwa kebakaran hutan di Gunung Arjuno. Peninggalan itu yakni Prasasti Ketindan I dan II. Ketindan adalah sebuah desa di Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang. Adapun prasastinya saat ini berada di Museum Nasional, Jakarta.
Dwi Cahyono, sejarawan Universitas Negeri Malang, mengatakan, Prasasti Ketindan I diperkirakan ada tahun 1314 saka atau 24 April 1392 Masehi. Adapun Prasasti Ketindan II atau Prasasti Lumpang tercatat tahun 1317 Saka atau 15 Agustus 1395 Masehi.
Dua prasasti itu menerangkan tentang kebakaran hutan tahunan di Gunung Arjuna akibat terbakarnya ilalang. Kebakaran hutan itu terjadi tanpa kesengajaan atau bukan karena ulah sengaja manusia.
Disebutkan dalam prasasti itu bahwa pemerintah Kerajaan Majapahit kemudian menganugerahkan status perdikan atau sima kepada 11 desa di Gunung Lejar (sekarang bernama Gunung Mujur di Kota Batu). Hadiah diberikan akibat kesiagaan desa tersebut mengatasi kebakaran hutan di Gunung Arjuno.
”Warga dari desa-desa tersebut memiliki kearifan lokal, yaitu menjadi garda depan, yang paling sigap, terhadap bencana tahunan kebakaran hutan di sekitarnya,” kata Dwi.
Warga dari desa-desa tersebut memiliki kearifan lokal, yaitu menjadi garda depan, yang paling sigap, terhadap bencana tahunan kebakaran hutan di sekitarnya.
Mereka sigap menjadi pemadam kebakaran. Sumbangsih mereka menjaga wilayah di timur Gunung Kawi (termasuk Arjuno) itu mendapatkan apresiasi dari Kerajaan Majapahit.
Baca juga: Pasuruan, Persimpangan Strategis Kerajaan Majapahit
Bebas pajak
Hadiah atau anugerah itu, menurut Dwi, berupa status perdikan atau daerah yang tak perlu membayar pajak pada kerajaan. Status perdikan juga menjadikan wilayah tersebut lebih bebas mengelola daerahnya sendiri.
Bagian depan Prasasti Ketindan II masih bisa terbaca. Narasinya berisi tentang kearifan lokal masyarakat di sekitar Gunung Lejar dalam menjaga gunung dari kebakaran. Penggalan narasi prasasti itu jika diterjemahkan berbunyi:
Itu supaya diketahui penduduk di sekelurahan sebelah timur (Gunung) Kawi di sebelah barat air, sebelah timur air, para waddhana, juru, buyut, dan juga pacatanda di Turen.
Bahwa aku meneguhkan perintah Baginda Paduka Sri Bhatara Parameswara, ia (yang) meninggal (sang mokta) di Wisnubhawana, perintahnya ia (yang) meninggal di Krttabhuwana mengenai kedudukan sebelumnya penduduk di Ketinden (yang meliputi) sebelas desa (kasawlas desa).
Oleh karena (mereka) menjaga alang-alang (hangraksa halalang) di Gunung Lejar (mereka dibebaskan dari segala macam pajak), dibebaskan dari jalang palawang, taker turun, demikian pula tahil dan segala macam titisara dibebaskan.
Petikan prasasti itu, menurut Dwi, menggambarkan bahwa kerja sama antara masyarakat tepi hutan dan pemerintah dalam mengatasi kebakaran hutan sudah berlangsung sejak dulu kala.
Prasasti itu, tambah Dwi, menunjukkan adanya mitigasi bencana kebakaran pada zaman dahulu di desa-desa sabuk Arjuno. Dua prasasti Ketindan itu sifatnya saling menguatkan.
”Model mitigasi bencana seperti itu bisa dicontoh ke depan. Bukan saja untuk Malang, melainkan juga bisa untuk daerah-daerah lain di Indonesia, terutama yang mengalami bencana menerus,” kata Dwi.
Jika dahulu desa-desa di Jawa mengenal istilah jogo boyo (penjaga keamanan dan ketertiban) ataupun jogo tirto (penjaga air), maka menurut Dwi, saat ini pun patut dibuat jogo dahono/dahana (penjaga api).
Kewaspadaan desa atas bencana kebakaran itu, menurut Dwi, bisa diterapkan dengan membentuk tim khusus, melatih, membuat tandon air, dan tindakan lain yang bisa dilakukan di tingkat desa.
Hal itu penting karena kebakaran hutan bisa saja merembet ke permukiman, apalagi permukiman masa sekarang posisinya sudah menjangkau ke pegunungan dan hutan.
Baca juga : Pemberdayaan Masyarakat Kurangi Risiko Bencana
Dana desa
Harapan Dwi tersebut cukup masuk akal. Jika desa-desa ratusan tahun lalu mampu menjaga wilayahnya dari bencana, saat ini seharusnya lebih bisa.
Pada era kekinian, desa dilengkapi dengan instrumen anggaran berupa dana desa. Sebanyak 74.000-an desa di Indonesia saat ini menikmati dana desa hampir mencapai Rp 1 miliar per desa per tahun.
Apalagi, penggunaan dana desa pun diharapkan masuk dalam kerangka prioritas. Peraturan Menteri Desa Nomor 11 Tahun 2019 tentang prioritas penggunaan dana desa tahun 2020 menyebutkan, dana desa salah satunya diharapkan digunakan untuk kesiapsiagaan menghadapi bencana.
Di Pasal 8 Ayat 1d disebutkan, kegiatan pelayanan sosial dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat 1 meliputi pengadaan, pembangunan, pengembangan, serta pemeliharaan sarana dan prasarana lingkungan alam untuk kesiapsiagaan menghadapi bencana alam, penanganan bencana alam, dan pelestarian lingkungan hidup.
Dengan rekam jejak masa lalu akan mitigasi bencana kebakaran, serta dukungan anggaran yang mencukupi, harusnya mitigasi bencana kebakaran kawasan hutan menjadi lebih gampang. Hal yang jelas butuh kerja sama pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkannya.
Baca juga : Optimalkan Dana Desa dan Digital