Privatisasi Pulau Kecil dan Pertaruhan Hidup Warga Sekitar
Isu jual-beli pulau masih ramai dibicarakan di Indonesia. Jika benar menjadi milik privat, nasib masyarakat yang mengandalkan pulau itu dipertaruhkan.
Lima hari belakangan, Bupati Penajam Paser Utara Abdul Ghafur Mas’ud ramai dikabarkan membeli sebuah pulau kecil di Kecamatan Kepulauan Bala Balakang, Mamuju, Sulawesi Barat. Melalui kuasa hukumnya, bupati termuda di Kaltim itu menepis kabar tersebut. Mengapa kabar itu ramai? Bisakah sebuah pulau dikuasai perorangan atau swasta?
Abdul Ghafur Mas’ud yang kerap disapa AGM dikabarkan oleh berbagai media membeli Pulau Malamber, sebuah pulau di Kecamatan Kepulauan Bala Balakang. Camat Kepulauan Bala Balakang, Juara, mengatakan ke berbagai media bahwa AGM membeli pulau itu seharga Rp 2 miliar dari seorang warga, Raja. AGM juga dikabarkan sudah membayar uang muka Rp 200 juta.
Melalui kuasa hukumnya, AGM menepis kabar itu. Kuasa hukum AGM, Agus Amri, mengatakan bahwa AGM memang pernah mengunjungi Pulau Malamber pada pertengahan Juni 2020, tetapi untuk melihat potensi yang ada di sana.
”Datang ke sana sebagai bagian dari Asosiasi Pemerintah Daerah Kepulauan dan Pesisir Seluruh Indonesia (Aspeksindo) untuk melihat potensi yang ada. Tidak pernah ada transaksi jual-beli pulau, tidak ada juga pembelian sebidang tanah di pulau itu,” kata Agus saat ditemui di Balikpapan, Senin (22/6/2020).
Berdasarkan informasi yang diterima Agus, pihak kepolisian di Mamuju tengah melakukan penyelidikan terkait kabar jual-beli pulau itu. Meski demikian, kliennya belum menerima panggilan polisi dan ia menyatakan siap melakukan upaya hukum untuk mencegah opini yang merugikan kliennya.
Sambil menunggu perkembangan kabar itu, ada pertanyaan mendasar yang banyak diajukan: ”Bisakah sebuah pulau kecil dimiliki atau dibeli?”
Yang dimaksud pulau kecil dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 kilometer persegi beserta kesatuan ekosistemnya. Artinya, luas maksimal pulau kecil setara dengan tiga kali luas DKI Jakarta.
Aturan di Indonesia tidak mengizinkan sebuah pulau dimiliki penuh oleh perusahaan atau pribadi. Hak atas tanah yang dimungkinkan tak lebih dari 70 persen, sedangkan 30 persen sisanya untuk kawasan lindung, area publik, atau kepentingan masyarakat.
Baca juga : Kabar Penjualan Pulau Indonesia oleh Asing Selalu Seksi
Ketentuan itu diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 39 Tahun 2004 tentang Pedoman Umum Investasi di Pulau-pulau Kecil serta Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Dalam Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), hak atas tanah di pulau kecil bisa berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak sewa yang dibuktikan dengan sertifikat tanah.
Perusahaan atau warga asing juga bisa mengelola pulau-pulau kecil dengan izin tertentu. Hak pengelolaan atas tanah oleh warga asing yang dimungkinkan hanyalah hak pakai. Hal itu diatur dalam Pasal 41 dan 42 UUPA dan dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996.
Orang asing dan badan hukum yang berkedudukan di Indonesia bisa mendapatkan hak pakai ini selama 25 tahun. Perusahaan atau warga asing bisa mengelola sebagian besar pulau jika sudah mendapat persetujuan dari Menteri Kelautan dan Perikanan.
Masalah
Meski pengelolaan pulau sudah diatur sedemikian rupa, selama ini di lapangan kerap timbul masalah, terutama bagi warga di sekitar pulau yang sebagian besar bekerja sebagai nelayan tradisional. Hal itu timbul karena hak atas tanah di pulau kecil dan pesisir berbeda dengan hak atas tanah di daratan.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati mengatakan, dalam konteks pesisir dan pulau kecil, hak atas tanah termasuk juga landas kontinen hingga 12 mil (19,3 kilometer) dari pesisir. Hal itu diatur oleh setiap pemerintah provinsi dalam rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Misalnya, jika bentang perairan itu direncanakan untuk wisata, wilayah tersebut bisa dikuasai oleh investor yang mendapat hak atas tanah di pulau kecil itu. Dengan begitu, jika individu atau perusahaan menguasai 70 persen pulau, ruang gerak untuk nelayan akan sangat sempit.
Kiara mendapati kasus yang merugikan nelayan di sekitar pulau-pulau kecil dengan adanya peraturan itu. Di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, misalnya, pada awal 2019, Kiara mencatat 86 pulau telah dimiliki oleh perorangan dari total 110 pulau kecil (Kompas.id, 28/6/2019).
Sejumlah nama disebut dalam catatan itu, antara lain pengusaha, politisi, dan tokoh ternama. ”Biasanya kalau sudah menjadi milik privat seperti itu, pulau tersebut akan dijaga oleh aparat dan ada yang membawa senjata. Nelayan tidak bisa mendekat, padahal itu sebenarnya lahan untuk mereka membudidaya rumput laut,” kata Susan.
Baca juga : Petakan Ulang Kepemilikan Lahan di Pulau Pari
Hal itu terjadi karena investasi di pulau-pulau kecil kerap kali di sektor pariwisata dan eksklusif. Nelayan-nelayan diusir dari wilayah itu karena dianggap mengganggu pemandangan dan kesunyian bagi turis yang datang. Wisata pulau privat menjadikan ruang gerak nelayan dan warga di sekitar pulau menjadi terbatas.
Pemberian hak atas tanah di pulau kecil juga kerap merugikan warga yang sudah tinggal di pulau itu puluhan tahun. Susan mengatakan, masyarakat di pesisir dan pulau kecil jarang yang memiliki sertifikat tanah. Mereka punya cara-cara unik untuk menandai lahan tempat tinggal dan lahan yang mereka garap untuk bercocok tanam.
Biasanya kalau sudah menjadi milik privat seperti itu, pulau tersebut akan dijaga oleh aparat dan ada yang membawa senjata.
Salah satu skema kepemilikan tanah di pulau kecil ditandai oleh pohon kelapa yang ditanam oleh seseorang. Dengan begitu, masyarakat yang sudah tinggal lama di pulau kecil kerap terusir karena pemerintah memberi izin pengelolaan kepada individu atau perusahaan. Masalah juga kerap timbul jika izin diberikan di pulau kecil lain di sekitar nelayan tinggal.
”Dalam konteks negara kepulauan, meski hanya 10 keluarga yang tinggal di pulau kecil, pulau kecil lain yang kosong di sekitarnya itu menjadi lahan produktif keluarga itu. Misalnya, untuk kebun kelapa karena di sana ketersediaan airnya lebih baik,” tutur Susan.
Baca juga : Dua Pulau di Sumsel Tenggelam
Kompas pernah menelusuri beberapa pulau pribadi di Kepulauan Seribu pada 2015. Dari penuturan beberapa pihak, ada pulau yang bahkan tertutup sama sekali untuk pihak luar setiap saat.
Camat Kepulauan Seribu Selatan saat itu, Arief Wibowo, mengatakan, pulau-pulau pribadi itu awalnya tidak berpenghuni. Semula, pulau-pulau tersebut milik warga setempat. ”Ada pengusaha yang datang, lalu membeli dari warga. Penjualannya sudah lama,” ujarnya (Kompas, 28/5/2015).
Menurut dia, bukan hanya warga yang sulit mengakses pulau-pulau itu, aparat pemerintah juga kesulitan memasuki pulau pribadi. Padahal, pengawasan terhadap kegiatan warga diperlukan. Potensi aktivitas yang melanggar hukum menjadi terbuka lebar di pulau yang tak terawasi.
Dalam konteks negara kepulauan, meski hanya 10 keluarga yang tinggal di pulau kecil, pulau kecil lain yang kosong di sekitarnya itu menjadi lahan produktif keluarga itu.
Dalam diskusi yang digelar Kompas pada 8 Mei 2015, Martinus Sitompul yang ketika itu menjabat Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya mengatakan, potensi penyalahgunaan pulau pribadi untuk kegiatan yang cenderung bertentangan dengan hukum sangat tinggi.
”Potensi penyalahgunaan narkoba, misalnya, bisa terjadi karena setiap pemilik pulau pribadi menutup akses ke pulau tersebut,” katanya.
Dalam dua dekade terakhir, kasus jual-beli pulau kecil juga pernah ramai diberitakan. Pada tahun 2009, privateislandsonline.com menawarkan pulau-pulau kecil di Sumatera Barat, yaitu Pulau Siloinak, Pulau Macaroni, dan Pulau Kandui di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat (Kompas, 28/8/2009).
Pada 2014, beberapa pulau kecil lain juga ditawarkan di situs yang sama, seperti Pulau Kiluan di Lampung dan Pulau Kumbang di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Pulau Kumbang ditawarkan dengan harga 1.880.000 dollar AS atau sekitar Rp 26 miliar dengan kurs Rp 14.200 per dollar AS, sedangkan Pulau Kiluan ditawarkan Rp 3,51 miliar.
Baca juga : Perorangan Tak Bisa Miliki Pulau
Saat itu, pemerintah daerah setempat menyangkal bahwa pulau-pulau itu dijual. Gubernur Lampung saat itu, Ridho Ficardo, mengatakan, pemerintah setempat hanya akan menjual wisatanya, bukan tanahnya. Pemerintah daerah juga menyatakan tidak mengiklankan pulau-pulau itu di situs tersebut.
Sampai saat ini, situs privateislandsonline.com masih menawarkan pulau-pulau kecil Indonesia. Saat diakses pada Rabu (24/6/2020), terdapat enam pulau diiklankan di situs itu, antara lain Pulau Tojo Una Una di Sulawesi Tenggara, Pulau Ayam di Kepulauan Riau, Pulau Panjang di Jawa Tengah, Pulau Kembung dan Pulau Yudan di Kepulauan Anambas, serta sebidang pantai di Pulau Sumba.
Bedanya, saat ini, situs berbahasa Inggris itu tidak menampilkan harga. Harga akan diberikan apabila ada yang meminta (upon request). Situs itu memberi disclaimer: ”Hukum Indonesia tidak mengizinkan kepemilikan pribadi atas sebuah pulau. Meski demikian, saham bisnis resor dapat dijual kepada siapa pun.”
Kompas mencoba menanyakan harga salah satu pulau yang ditawarkan melalui menu yang disediakan. Namun, Kompas tak kunjung mendapat surel balasan terkait harga pulau yang ditawarkan.
Baca juga : Riuh Investasi Pulau Tabuhan di Banyuwangi
Pulau Malamber
Berdasarkan catatan Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Makassar, Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Pulau Malamber merupakan satu dari 16 pulau kecil di Kecamatan Kepulauan Bala Balakang. Tidak ada data resmi mengenai luas setiap pulau di sana.
Kecamatan Kepulauan Bala Balakang dalam Angka yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 mencatat, kecamatan itu luasnya 1,47 kilometer persegi. Jumlah penduduk di kecamatan itu 2.705 jiwa. Kecamatan ini berada di Selat Makassar, antara Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi.
Jika ditarik garis lurus dengan aplikasi Google Earth, pulau terluar Kepulauan Bala Balakang berjarak 104 kilometer dari Balikpapan. Jika menggunakan kapal layar cepat (yacht), salah satu pulau terluar bisa ditempuh sekitar tiga jam perjalanan dari Balikpapan.
Jika proyek pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur terealisasi, Kepulauan Bala Balakang akan menjadi salah satu kawasan yang dekat dengan calon lokasi ibu kota negara di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Kepulauan Bala Balakang akan menjadi lokasi strategis untuk pariwisata karena memiliki bentang pasir putih, terumbu karang, dan pantai biru muda.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, Pradarma Rupang, menduga, seiring dengan rencana pemindahan ibu kota negara, pulau atau tanah di sekitar Kaltim, sangat mungkin diincar oleh pengusaha karena ibu kota akan menjadi wilayah yang dikunjungi sejumlah diplomat dan wisatawan.
Apalagi sektor pariwisata di Kepulauan Bala Balakang belum tergarap. BPS mencatat, jumlah usaha penyediaan akomodasi yang terdapat di Kecamatan Kepulauan Bala Balakang pada tahun 2017 hanya satu usaha dengan jumlah kamar yang tersedia sebanyak dua buah. Sementara jumlah restoran hanya dua usaha.
Sementara di Teluk Balikpapan, tiga pulau akan dijadikan suaka orangutan dan dimungkinkan untuk dikunjungi wisatawan. Yayasan Arsari Djojohadikusumo (YAD) yang diketuai Hashim Djojohadikusumo baru saja membentuk Pusat Suaka Orangutan Arsari di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, pada akhir 2019.
Lahan seluas 19.000 hektar dan tiga pulau di Teluk Balikpapan direncanakan akan menjadi suaka bagi orangutan dan satwa Kalimantan lain. Pulau itu antara lain Pulau Kalawasan, Benawa Besar, dan Benawa Kecil (Kompas, 14/10/2019).
”Artinya, sudah ada agenda yang justru tidak mengedepankan masyarakat pesisir berdaulat. Mengisolasi satwa di pulau kecil tujuannya agar aktivitas ekstraksi seperti tambang di daratan tidak terganggu oleh keberadaan satwa,” kata Rupang.
Baca juga : Pulau di Teluk Balikpapan Disiapkan untuk Suaka Orangutan
Melihat berbagai masalah dalam pengelolaan pulau-pulau kecil, Susan mengatakan, investasi untuk pariwisata di pulau-pulau kecil masih perlu dikaji ulang. Menurut dia, negara harus memastikan masyarakat di pulau kecil dan pesisir dilibatkan dalam perumusan kebijakan. Bukan hanya sosialisasi, tetapi juga perlu ada partisipasi publik.
Misalnya, jika ada investasi masuk ke pulau-pulau kecil, masyarakat di sekitar perlu dilibatkan. ”Pelibatan masyarakat bukan dalam artian menjadi pekerja, tetapi menggandeng koperasi masyarakat untuk mengelola investasi yang ada,” kata Susan.
Dengan memberikan izin mengelola pulau kepada investor selama 25 tahun, misalnya, nelayan di sekitar pulau kecil terancam alih profesi karena ruang gerak mencari ikan jadi terbatas. Sementara untuk menjangkau perairan yang lebih jauh, nelayan harus mengeluarkan uang lebih untuk membeli bahan bakar.
Hal itu bisa terjadi lebih lama jika izin mengelola sebagian besar pulau diperpanjang. Warga sekitar bisa beralih profesi menjadi pekerja di perusahaan yang mengelola lahan di pulau itu.
”Negara kita itu negara kepulauan dengan keadaan geografis yang beragam. Artinya, pulau tidak bisa dimiliki oleh satu atau dua orang. Seharusnya itu dimiliki secara komunal. Jika ada investasi di situ, warga di sana menjadi bagian, bukan menjadi pekerja. Dorong masyarakat untuk mengembangkan koperasi. Investasi masuk menggandeng koperasi untuk mengelola investasinya,” ujar Susan.